Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tepatkah Masuk ke Dayah . .?

 


Ini sebuah kisah singkat yang terjadi belasan tahun lalu. Potongan kisah hidup seseorang yang diceritakannya kepada kami. Ketika mendengarkannya, seketika semangat kami hidup di dayah kembali bergelora. Gundah, gelisah dan bosan seketika sirna. Warna-warni kehidupan yang sangat menginspirasi.


Kala itu, kelulusan SMA hampir tiba. Sekolahnya mendapqatkan undangan untuk mengikuti tes masuk universitas nomor satu di Aceh. Unsyiah, Banda Aceh. Ia tidak menyebutkat jelas seleksi jenis apa itu. Jumlahnya delapan undangan untuk delapan siswa pilihan, tentunya pemilik prestasi cemerlang di atas teman-teman lainnya.

Dia adalah salah satu dari yang Mendapat undangan. Sejak kelas satu ia selalu berada di peringkat pertama. Menjadi bintang di kelasnya. Karena itu, ia menjadi sangat dekat dengan para guru. Dari keseluruhan anggota kelas hanya 12 orang laki-laki, sedangkan sisanya perempuan. Kelas kelompok IPA. 

Semua guru sangat antusias mendukungnya untuk mengikuti seleksi itu. Ia sendiri belum mengambil keputusan bulat. Dikatakan suka tidak dan untuk menolaknya sama sekali juga tidak. Bimbang. Akhirnya, ia memusyawarahkannya kepada orang tua. 

Dibicarakannya perihal undangan itu, bahwa ia terpilih sebagai salah satunya. Juga guru-guru sangat mendorongnya untuk menerima undangan dan mereka bersikeras agar ia masuk kuliah. Tidak boleh lain, harus kuliah. Tegas. Tepatnya memaksa. Tapi, pilihan tetap ada di tangannya. Ayah menyimak penjelasannya dengan khidmat.

Memang benar adanya. Ayah adalah makhluk paling bijaksana dalam hidupmu. Ketika hati anaknya gamang dalam kebimbangan sebuah pilihan, ayah tak memaksakan kehendaknya agar anaknya tidak kecewa. Supaya harapan yang telah dipupuk atau tepatnya dipaksakan oleh guru-gurunya tidak pupus begitu saja. Ayah mengamini saran itu, walaupun nyatanya tak begitu suka. Walaupun hatinya menggeleng, namun kepalanya tetap mengangguk. Karena satu hal, ia tak ingin anaknya kecewa karena tak mengikuti seleksi itu. Padahal ayah sangat ingin anaknya itu masuk ke dayah.

Singkat cerita seleksi dilangsungkan. Ia mengikutinya. Mengisi centang pilihan jurusan di kolom “Fisika”. Memang dari dulu ia sangat menyukai setiap hal yang berkaitan dengan angka-angka. Hitung-menghitung. Setiap berkaitan dengan rumus dan angka seolah ia sedang bebas melayang di angkasa. Hal yang dianggap orang lain mengerikan itu adalah cita rasa terlezat yang luar biasa baginya. Sejak lama angka-angka adalah favorit dan ia mahir sangat. Ia nikmat saja mengikuti seleksi itu hingga selesai. Soal demi soal ia kerjakan. Tinggal menunggu tanggal pengumumannya. Keberuntungan sedang bertarung di langit dengan takdir.

Beruntung entah berada di pihak yang mana. Luluskah yang dinamakan beruntung atau gagal? Pasti tidak ada yang mengatakan gagal itu beruntung. Tentunya bisa kuliah di universitas nomor satu di serambi Mekkah itu adalah sebuah keberuntungan besar. Namun, walau bagaimana pun itu hanya asumsi. Yang terlihat sering kali bukan sebagaimana adanya. Yang pernah terpikir kerap kali bukan yang terjadi kemudiannya. Betapa banyak kita mencintai sesuatu padahal itu adalah penghancur hati. Dan amat sering kita membenci sesuatu yang nyatanya adalah yantg paling menenteramkan hati nantinya. Benar memang, yang terbaik adalah pilihan tuhan. Baik itu indah di pandangan maupun buruk. Diterima langsung oleh hati atau tidak.

Tanggal pengumuman telah tiba. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya jatuh juga.dia dan peserta seleksi lainya telah telah menanti. Ketika itu, di bawah kolong langit ia harus menerima kenyataan yang seharusnya pahit. Dia gagal masuk perguruan tinngi itu. Tidak lulus seleksi. Unsyiah bukan tujuan pendidikannya selanjutnya. 

Ia tidak terlalu kecewa. Setidaknya, ia telah menerima undangan itu dan mengikiti seleksinya. Ia tak sampai sakit merana. Lagi pula ia tak terlalu ambisius untuk masuk kuliah. Gurunya saja yang medorong keras agar ia masuk kuliah ke Unsiah. Memaksanya yang berprestasi itu agar menempuh jalur seleksi itu.

Kuliah tidak jadi. Akhirnya ia masuk dayah sebagai pilihan selanjutnya. Bustanul Huda, Paya Pasi atau Darul Huda, Lueng Angen adalah salah dua pilihan dayah yang akan ia tuju. Namun, atas saran sepupunya, ia malah masuk ke dayah Mudi Mesra, Samalanga. Padahal ia tidak tahu-menahu sedikit pun tentang dayah itu, apalagi Samalanga. 

Mengetahui kenyataan itu guru-gurunya sangat berang. Tidak suka. Berbagai cibiran dilayangkan kepadanya. Seorang pemilik IQ tinggi sepertinya dianggap tak layak masuk ke dayah. Seherusnya kuliahlah pendidikan lanjutan yang harus ia tempuh. Tak ada satu pun guru yang mendukung rencananya itu. Menjadi santri adalah menempuh jalan suram di masa depan kata gurunya. Hanya seorang guru pelajaran Bahasa Indonesia yang berada di pihaknya dengan amat terharu.

Usut punya usut, akhirnya ia mengetahui sebuah kenyataan yang diyakininya sebagai alasan terbesar ketidaklulusannya masuk kuliah. Ternyata, berselang waktu setelah musyawarah dengan ayah tempo hari, ayah medoakannya agar tidak lulus seleksi. Ayah sangat berharap agar anaknya itu melanjutkan pendidikan di dayah. Menimba ilmu agama. Doa ayah dikabulkan Sang Pemilik Semesta.

Ayah telah melakukan sesuatu yang lebih besar dari apa yang mungkin dilakukan orang lain terhadapnya.ayah tidak melarang anaknya untuk mengikuti seleksi, melainkan mendoakan anaknya agra tidak lulus seleksi. Luar biasa bukan?untuk merih harapan, doalah yang paling penting untuk dilayangkan.

Cita-cita ayah tercapai. Juga tidak berbanding terbalik dengan cita-citanya. Kini, belasan tahun kisah ini telah berlalu. Tak hingga banyaknya ilmu yang telah ia dapat. Bukan waktu yang sebentar. Jalan yang ia tempuh telah benar-benar tepat. Masa depan sejati telah tercerahkan. Bukan hanya semasa di dunia, tapi kelak saat bertemu sang pemilik dunia mendapat rida. Menuntut ilmu agama adalah menempuh jalan menuju rida Allah dan rasul-Nya. Berdampingan dengan para ahli-ahli ilmu agama.

Sekarang, ia telah menjadi salah satu tenaga pengajar Ma’had Aly. Lembaga pendidikan yang setara dengan perguruan tinggi. Tanpa formalitas ia telah memiliki profesionalitas. Tanpa kuliah ia tetap bisa menjadi profesional seperti dosen-dosen di luar sana, bahkan lebih menurut saya. Luar biasa bukan? Begitulah hidup. Terkadang apa yang kita lihat bukan sebagaimana adanya. Apa yang terpikirkan belum tentu seperti itu baiknya. Dunia yang penuh dengan fatamorgana.

Akhirnya, inilah potongan kisah hidup yang sangat menginspirasi saya ini juga semoga para pembaca. Harapannya agar semakin bertambahnya keyakinan. Bahwa menuntut ilmu agama adalah jalan paling tepat untuk memperoleh rida Allah dan rasul-Nya, walaupun bukan satu-satunya. Ini adalah kisah nyata. Senagaja dikemas dengan memburamkan pemilik kisahnya, biar gak perlu minta izin. Hibbik. THE END