Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sehari di Dayah

Sehari di Dayah


 كُنْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا وَلَا تَكُنْ خَامِسًا فَتَهْلِكَ

“Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka” (HR Baihaqi)

Siapa kita dan apa yang kita miliki ? kenapa Allah memilih kita berdiri pada  shaf pelajar ilmu. Shaf yang diberkati disetiap detik yang dilalui. Mendengar ilmu, menjadi pewaris para Nabi nabi, dan mendapat istigfar dari penduduk langit dan bumi. Bukankah kita adalah manusia berdosa dan bukan keturunan mulia ! Pertanyaan dan kenyataan ini hendaknya menumbuhkan rasa syukur kerana besarnya karunia Allah ini. Dayah pergeseran jarum jamnya adalah ridha Allah dan catatan senyum penuh kagum dari para malaikat. 

Dayah dan Fitrah

Selanjutnya tidak berlebihan kita berasumsi bahwa dayah adalah titian menuju fitrah insan. Fitrah dari namanya saja cukup melukiskan bahwa dia adalah muara dari segala kebaikan. Fitrah yang kemudian sanggup membuat berat serta besar gunung cobaan dalam setiap edisi kehidupan menjadi seringan biji zarrah, bukan karena cobaan itu sirna binasa namun karena fitnah membuatnya setiap kaum sarungan yakin akan hikmah dari skenario buatan Tuhan.

Sehari dayah menjadikan para santri bukan hanya mengenal wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Namun mereka bersahabat dekat, iya sangat dekat. Si wajib dan sunnah akan memanggil dengan panggilan penuh rindu. Haram dan makruh akan menutup pintunya agar dia tidak dimasuki.  Berbeda dengan sebelum gerbang ma’had dijejaki, mungkin mereka hanya kenal saja dan saling diam. Sebelum mondok mereka kenal dengan Shalat fardhu dan Tahajud. Sekali lagi ! sekedar kenal dan tidak menyapa, namun sehari di Mudi misalnya mereka bersahabat.  Bifadlillah semuanya menyapa, mengingatkan ketika amalan terlewatkan, lalu amalan itu berkata “ Wahai sabahatku mengapa kamu tak menyahuti nyanyian muazin, padahal itu adalah alarm agar kau segera hadir untukku ? Tajahud juga kadang mengeluh kepada santri dia berkata “ Duhai sahabat mengapa malam ini kamu tidak bagun untukku ? padahal aku adalah waktu waktu teristimewa dalam mahabbah sujud dan do’a. Sebuah persahabatan yang akan mengantarkan santri menuju surga yang dijanjikanNya. 

Hari hari didayah menjadikan thullab lantang menjawab tentang apa, bagaimana dan untuk apa mereka diciptakan. Disaat sebahagian manusia lain sedang tengah menikmati musikal zaman seolah olah dia adalah senyum dan tawa yang sebenarnya. Pahamilah dalam urusan ini kaum sarungan bukan pihak yang dirugikan lantaran mereka tidak menikmati kebebasan, dan bukan komunitas kaku serta menutup dari nada zaman itu. Justri ini adalah strategi jitu untuk memenangkan peperanagn melawan zaman, mereka sedang mempersiapkan irama abadi dinegeri yang abadi pula. 

Dayah dan Dakwah

Dengan suara serak dalam balutan isak tangis, waled Nuruzzahri menceritakan kisah keteladanan Abon yang luar bisa yang sangat sayang kepada muridnya. Abon bahkan berkhidmat kepada santrinya. Abon mengatakan “Lagee nyoe cara takhadam ureung beut”. (Biografi Abon Abdul Aziz, Guru Para Ulama Aceh)

Dayah juga furniture perancang miniatur kehidupan masa depan yang penuh rahasia. Dengan bimbingan para guru, santri ditempa untuk menciptakan miniatur yang indah dan kokoh supaya kelak nafas mereka adalah khadim lil ummah rahmah (pembantu umat). Pengkhadam yang selalu patuh kepada pemiliknya, sebab pada dasarnya santri adalah mereka yang siap memberikan pencerahan dan perlindungan kepada orang banyak, sebagimana falsafah yang diwariskan oleh ulama dan ambiya.

Khadim lil ummah membuat kaum sarungan tidak enggan menjemput bola walau keadaan mereka dengan sarung dan peci. Sebab itu tidak menurunkan derajat. Duduk, mendengarkan keluh kesah sahabat,  kerabat lalu menjawabnya dengan suara kesejukan, suara dari sabda Baginda, suara dari firman-firmanNya. “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.” (Hasan Bashri)


Dayah dan Ketahanan Nasional 

 "Para kiai dan santri itulah yang berjuang memerdekakan bangsa ini, bukan TNI! Karena saat itu TNI belum lahir. Perjuangan mereka tidak bersifat kedaerahan dan tidak di suatu tempat saja, melainkan di seluruh wilayah Indonesia. Marilah kita memahami sejarah bangsa, khususnya sejarah jauh sebelum bangsa ini merdeka. " (Jenderal TNI Gatot Nurmantyo)

Setiap zaman ada masanya, setiap masa ada zamannya. Perjalanan panjang bangsa ini sebelum kemerdekaan tidak terlepas dari andil ulama dan santrinya, semangat itu lahir dari suara takbir. Peran yang begitu mendalam dari kalangan dayah merupakan implementasi dari transformasi ilmu yang sempurna. Pesantren selalu mewarisi keramahan wajah pesantren dalam karakter pesantren itu sendiri, yaitu  tawassuth (tidak memihak atau moderasi), tawazun (menjaga keseimbangan dan harmoni), tasammuh (toleransi), tasyawwur (musyawarah), dan adil. 

 Berawal dari turash turash yang Muktabar sebagai rujukan dan bimbingan guru  menjadikan dayah sedari dulu telah mengajarakan pendidikan karakter dan etika. Sebuah metode yang diharapkan sebagai solusi terhadap moral anak bangsa yang kian memprihatikan pada masa sekarang. Dengan sistem belajar yang on time (24 jam) dan strukturalisasi dari sanad ilmu yang begitu mengakar membuat pemahaman Aswaja tidak luntur dikikis paham sempalan yang kian ramai. Sumber ilmu yang valid telahlama terjaga didayah terus mengkaderisasi santri sebagai manifestasi kekuatan bangsa mengibarkan prinsip “Rahmatan lil Alamin” untuk kemudian mempertahankan stabilitas NKRI dari pemikiran dan aksi radikalisme.