Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Merajut Akhlak Lewat Tradisi Mencium Tangan



Kehidupan di era globalisasi saat ini, realisasi dengan pendekatan nilai-nilai tauladan dan takriman (kemulian) seperti mencium tangan sering dilupakan dan dianggap sesuatu yang ‘aneh” dan “tidak pantas”. B erbagai label lainnya bahkan dinilai menyimpang dari nilai syariat yang dibawa oleh  Rasululah SAW dengan slogan bid’ah dengan asumsi mengkultuskan seseorang. Padahal mencium tangan merupakan sebuah bentuk penghormatan dan ketakdhiman terhadap orang yang mulia baik dari segi ilmu, umur dan lainnya. Mencium tangan merupakan salah satu sunnah Rasulullah dan para sahabat, mereka melakukannya dalam setiap kesempatan. Mencium tangan ulama, orang tua dan sejenisnya merupakan amalan syar’i dan sangat dianjurkan dalam islam, budaya yang sesuai syariah ini harus dilestariakan sebagai sunnah rasulullah SAW.

 

Mencium Tangan dalam Persfektif Agama Islam

Mencium tangan merupakan salah satu hal yang pernah dipraktekkan oleh rasulullah saw. Banyak literatur hadist yang menyebutkan tentang kesunahan mencium tangan. Pernah suatu ketika baginda rasulullah saw tiba di kota Madinah, para sahabat termasuk masyarakat di sana berebutan untuk mencium tangan beliau, seperti disebutkan dalam sebuah hadist ;“Sewaktu kami tiba di Madinah, kami berlumba-lomba (bersegera) dari perjalanan kami lantas kami mencium tangan nabi SAW.” (HR. Imam Bukhari dan Abu Daud no. 5225). Dalam hadist lainnya diungkapkan, dari Ka’ab bin Malik :“Sesungguhnya sewaktu beliau ditimpa keuzuran, nabi saw tiba, maka beliau terus mengambil tangan baginda s.a.w kemudian menciumnya.”. (HR. Imam Tabarani di dalam kitabnya Mu’jam al-Kabir, no. 186). Syekh Nawawi menyebutkan sunat hukumnya mencium tangan seseorang yang disebabkan oleh faktor  zuhud, kebaikan, ilmu atau karena kedudukannya dalam agama. (Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fathul Bari, Syekh Ibrahim al-Bajuri: 2: 116). Tradisi mencium tangan di antara satu sama lainnya telah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan sahabat, tentu saja indikatornya semata-mata hanyalah untuk memuliakan. kondisi  ini telah dipraktekkan oleh Abu Ubaidah mencium tangan Umar Bin Khattab, begitu juga Ka’ab radhiaullahu ‘anhu mencium tangan Rasulullah SAW, disamping itu salah seorang penulis ayat Al_Quran pun pernah mencium tangan Ibnu Abbas ketika Ibnu Abbas mengambil tali kekangan kuda karena beliau salah seorang ahlu bait. (Syekh Said Abdurrahman, Bughyah Al-Murtasyidin, hal 296).

Diceritakan bahwa salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah SAW meninggal yakni ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah SAW lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit ingin keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah SAW. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. (HR. Ibnu Sa’dan dalam Tabaqat: 2: 360). Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bahri mengomentari hadist ini dengan isnadnya jayyid. Melihat fenomena ini seharusnya Ibnu Abbas yang harus mencium tangan Zaid, sebab Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Namun tujuan Zaid Bin Tsabit tiada lain selain untuk menghimpun diantara kemuliaan dan kebaikan  dari beliau. Hal sama juga dilakukan oleh salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Umar juga pernah mencium tangan Rasulullah SAW seprti disebutkan dalam hadist: “Kami telah mengahmpiri kepada nabi saw, kemudian terus mencium tangannya”.(HR. Imam Abu Daud no.5223)

                                                                                                                                                                  Namun tidak selamanya mencium tangan itu disunatkan, apabila mencium tangan seseorang dengan tujuan duniawiyah seperti karena kekayaann atau lainnya, hukumnya dimakruhkan disebakan berpedoman dengan hadits “Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah dua pertiga agamanya”. (Asna al-Mathalib: 3: 114, Ibnu Hajar, Fathul Bari:11:57)

Imam Malik, beliau berpendapat makruh mencium tangan orang lain baik itu orang alim, ayah, suami atau lainnya.(Abu Hasan Al-Maliky, Kifayah At-Thalib). Menelaah dan menafsirkan komentar Imam Malik tersebut bukan berarti dilarang secara mutlak, namun yang dilarang itu mencium tangan orang sombong dan bodoh. 

Sedangkan dikalangan ulama mazhab Hanbali juga membolehkan mencium tangan, kaki, kepala, jidat,  bibir dan diantara dua mata dengan maqasid (tujuan)nya untuk takriman (memuliakan), namun dilarang mencium  dan sebagainya dengan syahwat kecuali suami terhadap isrtinya.(Syekh abu Jakfar At-Thawi, Hasyiah Maraqil Falah:1:216). Bahkan disebutkan tidak mengapa mencium tangan hakim yang baik agamanya dan  pemimpin yang adil, dan juga disunatkan mencium  kepala orang alim. (Imam Muhammad bin Ali al-Hambali, Durr Al-Mukhtar: 6 :383). Berdasarkan pembahasan di atas mencium tangan, berjabat  tangan dan sejenisnya dalam lintas mazhab merupakan sebuah perbuatan yang dianjurkan dengan niat yang di benarkan dalam syariat, seperti untuk kemulian, penghormatan, kealiman dan lainnya.      

Orang Tua Mencium Tangan Anaknya

Menciumi tangan orang tua suatu perintah dan keharusan yang harus dilakukan oleh seorang anak dan ini lazim terjadi dalam masyarakat. Puteri  Rasulullah SAW Fatimah ketika masuk dan bertemu Rasulullah SAW, beliau berdiri dan terus mencium tangan baginda Rasulullah SAW. (HR. Abu Daud, no. 5217). Begitupun Rasulullah  SAW terhadap anaknya Fatimah, disebutkan bahwa apabila  Fatimah masuk bertemu Rasulullah SAW, baginda terus berdiri dan mengambil tangan puterinya dan menciumnya serta duduk bersamanya di dalam satu majlis. (HR. Imam Turmudzi, no. 3872).

Dalam hadist yang lain disebutkan bahwa Abu Bakar Ash-Siddiq ketika mendapati puterinya Aisyah RA demam, lantas beliau mencium puterinya. (HR. Abu Daud, no. 5222).  Fenomena di atas merupakan salah satu bentuk metode untuk membangun komunikasi dalam keluarga dengan pendekatan psikologi yang harus diteladani oleh orang tua untuk memberi semangat dalam penyembuhan kepada anak selain dengan berobat. Salah satu ibrah lainya yang dapat dipetik dari keangungan akhlakul karimah baginda Rasulullah  SAW dan sahabat beliau Abu Bakar di atas, anak mencium tangan orang tua sebagai wujud realisasi birrul walidain kepada mereka, sedangkan ciuman orang  tua kepada putera dan puterinya sebagai wujud aplikasi rasa kasih sayang dan mahabbah (kecintaan). Prakrek itu sedikit demi sedikit telah hilang dan terkikis oleh gemuruh riuh “tsunami” akhlak di era globalisai.
 

Mencium dan Merangkul

Sebuah realita yang sering kita lihat ketika dua sahabat yang telah lama tidak bertemu atau orang yang dipandang lebih dalam agama, tentu saja mencium dan merangkul, dan ini bukan dalam katagori yang dilarang dalam syariat. Sahabat Rasulullah SAW yang sangat dekat dengan beliau Abu Bakar Ash-Siddiq pun dicium dan dipeluk oleh baginda nabi SAW, juga kepada sahabat yang lainnya, padahal kedudukan Rasulullah SAW lebih tinggit dibandingkan dengan para sahabat baik Khulafaur Rasyidin maupun lainnya. Suatu pemandangan yang sangat mendidik untuk diteladani, hal ini digambarkan dalam hadist: “Sesungguhnya nabi saw mencium saidina Abu Bakar r.a selepas memeluknya di sisi saidina Ali r.a dan para sahabat r.a yang lainnya.”( hadist ini disebutkan oleh Ibnu A’bid Al-Anshari didalam kitabnya “Al-Majmu”.). Didalam hadist lainnya disebutkan juga: “Sesungguhnya nabi saw mencium Zaid bin Haritsah r.a ketika tiba di Madinah selepas memeluknya. (HR. Imam Turmuzi, no.2 732, beliau berkata: hadist ini merupakan Hasan Gharib). Pada kesempatan yang lainnya Rasulullah SAW pun mencium diantara dua belah mata saudara beliau yang bernama Ja’far Bin Abi Thalib sebagaimana dinukilkan dalam sabda-Nya: ”Sesungguhya rasululah saw mencium sepupunnya saidina Ja’far bin Abi Thalib ra diantara kedua belah matanya”. (HR. Abu Daud dan Baihaqi, Syua’ib Al-Imam: 6:477). Rasulullah SAW sebagai seorang yang menjadi ikutan dan panutan umat, tentunya dalam setiap kesempatan menyuguhkan prilaku dalam membangun sebuah komunkasi non verbal untuk merealisasikan dakwah, salah satunya dengan memeluk atau merangkul sambil menciumnya, tentunya efektifitasnya akan melahirkan sikap sopan santun dan ketakdhiman (penghormatan) akan melahirkan kasih sayang dan akan menghilangkan sifat yang tidak terpuji seperti  dengki, iri dan lainnya sebagai jurang pemisah dan sumber malapetaka yang melanda manusia dimuka bumi ini, dengan cara ini akan memperkuat ukhuwah islamiah sesama muslim diantara kita.

Mencium Kaki dan kepala

Dalam masyarakat sering terjadi dalam bentuk penghormatan kepada orang yang dipandang mulia dalam agama, penghormatan itu dilakukan dengan mencium anggota badan seperti kaki atau lutut dan sejenisnya, tentu saja sebagaian orang menganggap hal ini dapat menjerumuskan kedalam kesyirikan, karena disitu akan terjadi seperti rukuk dan sujud dalam shalat. Melihat fenomena ini dapat kita kaji dengan kaidah “lil wasail hukmu al-maqasid”. Maqasid disini adalah iktiraman (penghormatan), sedangkan wasail (perantaraan)nya adalah menciumi anggota badan (tangan, kaki dan sejenisnya) seperti rukuk dan sujud. Salah seorang ulama terkemuka dalam ushul fiqh Syekh al-qarafi menyebutkan bahwa mauridul ahkam itu berkisar pada maqasid dan wasail, dimana hukum wasail baik haram atau halal berpedoman pada maqasidnya, namun derajat amalnya saja yang menjadi perbedaaannya. (Imam Qarafi, Anwar Al-Buruq fi ‘Anwa’  Al-Furuq: 3: 46).

Ketika mencium anggota tubuh seseorang sehingga berbentuk seperti sujud dan rukuk di sini walaupun hampir sama dengan shalat namun itu hanyalah  wasail untuk menyampaikan  maqasid ikraman, ini tidak dilarang, yang dilarang ketika ada unsur ikraman kepada seseorang melebihi dari pada ikraman kepada Allah SWT. hal ini sepertit diutarakan dalam kitab Bughyah: “Mencium badan, tangan atau kaki orang-orang yang dianggap mulia dengan maksud mendapatkan berkah, adalah perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya”. (Said Abdurrahman Ibnu Muhammad, Bughyah Al-Mustarsyidin: 296). Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menyebutkan hukum mencium kepala dan kaki seperti mencium tangan, yaitu sunat, pendapat ini didukung oleh perkataaan Syekh Mubarakfuri, beliau menyatakan bahwa dari pemahaman hadist boleh mencium tangan dan kaki (Tuhfatul Ahwazi: 7: 556, Darul Ihya).

Memperkuat argumen diatas, telah diceritakan dalam sebuah hadist lain bahwa Rasulullah SAW dicium tangan dan kaki oleh lelaki tersebut, hadist itu berbunyi: “Sesungguhnya seorang lelaki telah datang kepada nabi saw lantas mencium tangan dan kaki baginda saw.” (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak. Beliau mensahihkan hadist ini.). Larangan rukuk dan sujud kepada manusia seperti yang dipaparkan oleh Syekh Ibrahim Bajuri, beliau berkata:”Misal sujud rukuk bagi selain Allah maka dikafirkan jika dikasad takdhimnya seperti takdhim kpd Alllah, dan jika tidak maka haram hukumnya. (Kitab Al-Bajuri: 2: 256-257). Pendapat ini disokong oleh Syekh Ibnu Hajar dalam risalahnya, beliau menyebutkan: “Pekerjaan yang sering dilakuan oleh mayorits orang jahil yang sesat dengan sujud dihadapan guru itu haram hukumnya secara qat’i dengan setiap kondisi”.( Syekh Ibnu Hajar, Tuhfah Muhtaj: 9:107, Darul Fikri, 2009). Menalaah dan mengkaji dari penjelasan dan uraian diatas, sepintas terlihat kontradiksi, padahal  tidak, tentu saja yang dilarang itu sujud dan rukuk semata-mata untuk memuliakan seseorang, tetapi disitu maqasidnya mencium tangan, lutut dan kaki sehingga tubuh membungkuk seperti rukuk dan sujud, tanpa ruku dan sujud tidak mungkin bisa diimplementasikan hal ini. Jelas hal ini tidak dilarang, kalaupun dilarang pasti Rasulullah SAW sudah lebih dulu melarang ketika ada sahabat yang berprilaku demikian kepada beliau.

Imam Nawawi menaqalkan komentar Syekh Al-Anshari bahwa Imam Muslim mencium diantara dua mata Imam Bukhari dan kaki beliau sebagai penghormatan terhadap ilmu, kemuliaan dan kebaikan sang gurunya.(Imam Nawawi, Tahzib Al-Asma). Juga dikisahkan dari Safwan mengenai kisah dua orang Yahudi yang bertanya kepada nabi saw berkenaan tentang sesuatu, maka baginda menjawabnya. Lantas kedua-dua orang Yahudi tersebut mencium tangan dan kaki baginda nabi saw. Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i (no. 4078), Ibn Majah (3705) dan Tirmizi, berkata Hadist Hasan Shahih (2733 & 3144), juga disahihkan hadist ini oleh Imam al-Hakim. Dalam hadist lain disebutkan juga bahwa saidina Ali bin Abi Thalib ra mencium tangan dan kaki saidina Abbas r.a. (HR. Imam Bukhari, no. 976)   Berdasarkan paparan diatas jelas bahwa dibolehkan mencium kaki, anggota tubuh lainnya untuk kemulian dan ketakdhiman serta merupakan salah satu sunnah Rasulullah SAW dan bukan perkara yang dilarang dalam agama.

Bolehkah Membungkuk dan Berdiri ?

Seseorang berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat dengan bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan merupakan hal yang dibolehkan dan dianjurkan. (Ibnu Hajar , Talkish Al-Habir). Saidina Abu Bakar menyuruh kepada puterinya Aisyah untuk berdiri dan mencium dikepala rasulullah (HR. Imam Thabrani, Kitab al-Mu’jam al-Kabir: 23: 108-114). Dalam hadist yang lain juga disebutkan tentang berdiri untuk menghormati, Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.(HR. Abu Daud, Turmizi dan Nasai). Jelaslah bahwa tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan. (Syekh  Ibn Hajar dalam kitab Talkhish al-Habir)

Rasulullah SAW juga pernah tidak menyukai para sahabat untuk berdiri dalam sebuah  hadits yang diriwayat oleh Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi, pemahaman hadist  tersebut tidak menyukainya Rasululllah SAW karena ditakutkan hal itu dianggap wajib oleh para sahabat. Kita sudah memaklumi dan mengetahuinya bahwa Rasulullah  SAW terkadang suka melakukan sesuatu namun beliau meninggalkannya meskipun baginda menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi umatnya. Ketidaksukaan baginda nabi tersebut tidak menunjukkan hukum kepada makruh, sebab banyak hadist lain yang Rasulullah sendiri melakukannya berdiri untuk memuliakan seseorang sebagaimana penulis sebutkan hadist tersebut di atas. Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmuzi tentang larangan berdiri, berdiri disini dimaksudkan seperti yang  dilakukan oleh bangsa Persia dan Romawi untuk raja mereka, penghormatan ini dilakukan saat sang raja memasuki suatu tempat, maka mereka berdiri hanya untuk raja dengan cara “bertamasul” (berdiri terus sampai  raja meninggalkan majlis tersebut). Larangan disini yang dimaksudkan berdiri hanya semata-mata untuk sang raja. Beranjak dari paparan diatas jelaslah bahwa berdiri itu tidak dilarang selama dilakukan untuk  tujuan  yang diridhai oleh syara, seperti memuliakan, menghormati dan sejenisnya.  Wallahua’lam.                                 

 Oleh: Tgk. Helmi Abu Bakar (Staf pengajar di Pesantren MUDI Mesjid Raya, Samalanga, Aceh)