Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jeda antara rasa dan harapan



Gadis tanggung itu nampak girang, derap langkahnya cepat terkadang terdengar irama sumbang dari bibir mungilnya, sesumbar seseorang telah menghipnotis ideologinya, meracuni logikanya yang masih belia, seutas tulisan muncul dari gadget smartphone “dik insyaallah aku akan melamarmu”, tertera pengirim yang dibubuhi sebutan “my beloved”, wanita mana yang tak bahagia kala sang kecintaan ingin mengikat hubungan menuju pelaminan, hal itu menggema keras dihati novia saat ini, nampak raut kegembiraan terbias bersemburat dari tingkahnya, meski berbagai dalih ia berkilah dasar gelagapan tak dapat membantah seutuhnya, siapapun akan tahu ia sedang bahagia di alam khayalnya, seorang pemuda yang nampak mapan dari usia meski dari materi masih mendulang kepada orang tua telah membuat novia rengguh, batinnya kerap bergemuruh menikmati terbakar oleh rasa rindu yang menyiksakan, lah bukankah gadis itu masih kelas 1?, baru juga mengenyam rihlah keilmuan agamanya, ilmunya masih dasar-dasar pengenalan metode mempelajari kitab bukan mempelajari isi kitab, udah kepikiran menikah?, berbagai lengkingan bersemburat dari benak kolega dan karibnya, hingga kelamaan hawa tersebut terendus olehnya, aroma yang agaknya sedikit menyentil hati kecil gadis itu, kendatipun kini ia telah memiliki suatu stateman kuat atas apa yang ia pilih kali ini, “kami kan enggak menikah tahun ini, paling tidak tahun depan”, setidaknya kalimat ini menjadi peneguh atas kemenangannya akhir-akhir ini. 

…….

Waktu merangkak begitu cepat tak terasa tenggat waktu yang diucap oleh tengku hadi hampir dekat, tepatnya setahun setelah ucapan lamarannya, gadis belia itu saat ini tengah menghitung kepingan hari selagi terkukuhnya sesumbar yang telah membuat ia terlena sepanjang detik, namun dibalik kegirangan itu pucuk hatinya masih terapung dalam seciut kegamangan, sudah siapkah aku menikah,? Sudah siapkah membina rumah tangga?, bagaimana nanti jika aku tidak siap?, pertanyaan-pertanyaan itu terkadang berkelebat dibenaknya, tapi ditepisnya cepat-cepat disisi lain ia ingin tetap terus bersama pujaan hatinya, Tgk Hadi yatma. Novia melangkah tegar menuju kediaman hubabah fatimah yang merupakan istri dari habib muhadhir al habsyi, pemimpin pesantrennya saat ini, ia berkeinginan untuk meminta izin menyudahi belajar dan merajut layar ke samudera rumah tangga,setelah menyunggingkan salam dikecupnya tangan sepuh yang mulai mengerut dimamah usia, tatapannya teduh menenangkan, seakan beban dapat terleraikan kala itu juga, “ada apa novia, ada yang dapat hubabah bantu” tatapannya lekat menatap gadis itu, seakan seluruh perhatiannya ia curahkan, “hmm..” novia tidak berani membalas tatapan hubabah dan memilih merunduk menatap kekosongan, “hubabah, novia mau minta izin menikah, beberapa hari lagi seorang teungku akan melamar via” sontak wanita sepuh itu terperanjat, rumannya tiba-tiba berubah tidak setenang tadi, namun dengan kepiawaiannya sekejap ia telah memperbaiki gelagatnya, ”kamu yakin novia,?”, “insyaallah hubabah” responnya tegar meski nampak sedikit rada ragu di hati kecutnya, hubabah tersenyum “via jika benar kamu menikah dan meninggalkan pesantren hubabah punya satu pertanyaan kepada kamu, “ ada yang tidak mengenakkan menyusup relung novia, tapi ia tetap berusaha menguasai diri, “ia hubabah akan coba via tanggapi sebisa”, “selama 2 tahun mengaji sudah tahukah kamu tuhan kita itu dimana?”, sontak bergetar tubuh novia, degupnya kencang, deru nafasnya kian memberat, tak disangka ia akan beroleh pertanyaan ketuhanan, belum lagi ilmu tauhidnya baru bermodalkan hafalan I’tiqad 50, bisa-bisanya hubabah menanyakan ilmu yang belum dikuasainya, “bagaimana ini” ia membatin, berjumpa dan meminta izin saja membutuhkan keberanian yang luar biasa, lantas sekarang ia harus memutar otak mengingat ingatan yang belum pernah ia ketahui, sesungging senyum dikulum hubabah, “ananda tau dasar agama itu adalah mengenal Tuhan, dimana dianggap atau tidaknya sebagai seseorang yang beriman ditentukan oleh ilmu ini, jika dasar agama belum mampu menguasai bukankah suatu kemaksiatan meninggalkan rihlah keilmuan, bahkan tidak hanya keilmuan keimanan saja mesti dipertanyakan”, novia tertunduk malu dengan sindiran hubabah, keringat mulai bersimbah kuyup di keningnya, “hari ini ananda mau meminta izin tidak lagi mengaji sama hubabah, sedangkan ananda sendiri tau ilmu yang ananda miliki belumlah seberapa, bahkan sekedar untuk dikatakan seseorang yang mempunyai keimanan sejati, keimanan sejati bukannya sekedar menghafal I’tiqad 50, tapi bagaimana I’tiqad 50 itu mampu kita pertanggung jawabkan dengan logika dan tekstual, hari ini bisa saja ananda tidak sedikitpun ragu kepada Allah, ini lantaran kita tinggal dalam komunitas beragama islam, coba jika suatu hari nanti ananda Allah tempatkan di suatu daerah yang tak mempercayai tuhan, mereka mengubah argumentasi yang tidak dapat ananda bantahkan meski sekedar berkilah untuk diri sendiri, karena tidak mustahil logika kita bisa saja sesuai dengan argumen mereka, pada akhirnya ada setitik kegamangan disudut hati mengenai tuhan, nah jika sampai demikian meski terdapat 0 koma sejuta persen keraguan kepada tuhan secara spontan ananda telah dikategorikan sebagai orang yang keluar dari islam, karena keimanan, baru dianggap jika sampai tingkatan yakin atau 100%, sedikit saja keraguan meski dengan berbagai alasan sudah dikatakan dzan, iman berdasarkan dzan atau sangkaan tidak sah!” gadis itu terperanjat hebat, spontan menelungkupkan tangannya ke mulut, “astaghfirullah” ucapnya lirih, akhirnya butiran bening mulai menggenang di pelupuk nya, batinnya terasa didera ucapan yang merajam keegoisannya, iya tau secara tersirat hubabah sungkan mengizinkannya, memang seharusnya ia tidak terlalu berlarut dulu dengan cinta di usianya yang sangat belia dalam hal ilmu,namun nafsu telah menggerogoti otaknya kala itu, panorama tgk hadi yang membius arteri pembuluh darah di setiap degup hatinya, gadis itu kian merunduk tak berani lagi menatap wanita yang semakin senja itu, dalam sesenggukan ia pun akhirnya berujar dengan nada terputus-putus, “jadi novia harus bagaimana?”, gadis itu mulai sedikit mendongak ke arah hubabah fatimah, “jika ananda mau mendengar saran dari hubabah, pilihan kepada ananda dua, menikah dan terus mengaji, ataupun ananda minta tangguhan kepada calon untuk menunggu beberapa tahun lagi sampai keilmuan ananda sudah mumpuni” tiba-tiba seakan setitik kehangatan meresupi relungnya, secercah harapan atas kemelutnya, sambil menyeka kesedihan sesungging senyum dikulumnya lebar, spontan ia merengkuh hubabah “terima kasih hubabah, semoga Allah selalu menyertaimu” bisiknya kecut. 

…….

“jika ada yang bertanya Tuhan itu dimana?, maka jawaban yang tepat ialah, pertanyaan anda sangat keliru tuan! sama halnya jika saya mengatakan kepada tuan, hari ini cuacanya panas ya!, lantas tuan bertanya, kira-kira panasnya berapa kilo yah? Nah, bukankah pertanyaan demikian salah besar, begitu pula jika menanyakan Tuhan itu dimana, logikanya gini ya, setiap entitas yang terdapat dijagat raya tercipta dari dua objek, adakala ia berupa materi(atom/molekul/jauhar) atau sifat(corak/aradh) keduanya saling berkontribusi, tiada materi tanpa ada sifat, juga tanpa sifat yang tidak menetap pada sebuah materi, sama halnya sebuah bola(materi) bersifat bulat,berwarna putih dan hitam, dan sebagainya, dan kedua entitas ini membutuhkan tempat, tanpa tempat kedua entitas ini tidak pernah diperdapatkan, padahal jelas sejelas-jelasnya kedua hal ini ada. Sedangkan Tuhan bukanlah materi juga bukan sifat, sehingga Tuhan tidak membutuhkan kepada tempat. Belum lagi zat Tuhan ialah zat yang tidak membutuhkan kepada ciptaanNya, tidak ada satupun makhluk diciptakan untuk memenuhi kebutuhanNya, seperti halnya kita membuat rumah karena membutuhkan, Tuhan tidak demikian, nah diantara makhluk Allah ialah TEMPAT DAN WAKTU, sehingga secara spontan akal kita menyanggah pertanyaan tadi, Tuhan tidak membutuhkan tempat, maka tidak bisa kita tanyakan Tuhan dimana?” Uraian panjang lebar mengucur deras dari seorang wanita piawai tengah duduk khidmah didepan sebuah aula, rona kecantikan terbungkus rapat dalam burqanya, tiada seorangpun tau wajah aslinya melainkan kekasih halalnya, audien nampak khusyuk terkesima larut kedalam gubahan ilmu keimanan dari wanita itu, pilihan berat, sebuah jeda dan pengorbanan membunuh rasa telah ia pilih yang membuat ia menjadi seorang ulama wanita seperti hari ini, novia anggriani pernah lebur dan tersungkur lantaran rasa cinta yang ia kubur dan timbun disudut hatinya yang terdalam, berminggu-minggu air mata berderai melintasi pipinya, atas keputusan yang ia buat, sampai pada sebuah garis waktu keilmuan mengisi relungnya, membikin ia candu dengan ibarahnya, ia pun tenggelam dalam hayatan keilmuan, sehingga sesosok pemuda membangunkannya, seorang hafidz yang telah menjalani 12 tahun rihlah agama sekaligus menyelesaikan gelar Masternya, mengajak gadis itu mengkaji ilmu dan keimanan bersama, tatkala novia merasa keilmuannya sudah agak memadai, yaitu 6 tahun setelah keputusan sakral hidupnya ia putuskan, kurang lebih setelah 8 tahun mondok, gadis itu mengiyakan, Tuhan ternyata tidak pernah menyia-nyiakan hambanya, kini ia tidak hanya bahagia dengan cinta yang diharap-harapkan juga bahagia dengan keilmuan, jodoh datang sesuai kapasitas, kecantikan hanyalah sebatas kualitas yang diidam-idamkan penafsu, jika berharap berjodoh dengan yang benar-benar berilmu, intropeksi diri dan luahkan usaha menjadi pencari ilmu, 


ah… biarlah rindu digerus waktu tak usah berkilah, redupkan segenap resah fokus dengan menuntut ilmu didayah, karena jika memang ia tertakdir untukmu pasti ia kan lebur syahdu dipucuk mayang senja mendekap ujung cakrawala penantian, seterusnya terpadu dalam dekapmu hingga maut menjemput. 

Nismul elfadhil