Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berjuang dalam rindu




   Suara sunyi tanpa sajak terpaku dalam lamunan, hatinya tertampar dengan keputusan ayahnya. Muhammad Latief adalah sosok anak kebanggaan dari keluarga kaya raya, dan selalu dimanjakan dengan harta yang berlimpah, dia adalah anak tunggal yang memiliki wajah tampan, tetapi ayahnya sangatlah tegas dalam mendidik Latief, saat ini Latief baru menginjak umur 13 tahun. Saat itu ayahnya memutuskan agar ia segera dikirim ke salah satu pondok pesantren di Aceh.

   “Latief! Ayah ingin kamu segera berkemas mala mini, karena besok ayah akan mengantar Latief ke bandara! Ini sudah menjadi keputusan bulat”, tegas ayahnya Latief. Dengan muka polos, Latief tertunduk bisu dan lesu, “tapi ayah, Latief gak mungkin bisa tinggal disana. Latief gak mau jauh dari ayah dan bunda”. Perlahan tetesan air mata Latief mengalir di pipinya. “Latief, ayah hanya ingin kamu hidup mandiri, bukan manja seperti ini, kamu harus bisa hidup tanpa kami, lalu siapa lagi yang akan menjadi harapan ayah bunda, kalau bukan kamu nak!”, tegas ayahnya. Dengan hati yang terpaksa , Latief pun menyetujui perkataan ayahnya.

   “tapi ingat! Peraturan yang ayah berikan, Latief tidak boleh pulang kerumah sebelum kamu selesai mendapatkan gelar disana, sebagai orang alim sekaligus orang yang sukses di dunia. Ayah tidak akan pernah menelpon Latief dan begitu juga sebaliknya, kamu harus bisa mandiri!”, tegas ayah dengan tatapan yang penuh harap. “ayah bagaimana mungkin anak kita satu-satunya engkau buang jauh dari kita?”, tangisan bunda memecahkan suasana. “bunda, ingatlah satu hal, karena anak kita hanya ada satu maka kita tidak boleh sampai salah dalam mendidiknya, semua persiapan akan ayah sediakan, soal kehidupan di sana sudah ayah siapkan dengan matang, pokoknya bunda tenang saja, uang sudah ayah atur semuanya, dia tidak akan kelaparan disana, tenanglah bun”, jelas ayah.

   Keesokan harinya, semua telah disiapkan dengan teratur dan rapi, Latief yang mengenakan baju kemeja hitam, serta celana longgar dan tidak lupa peci hitam di kepalanya. Ayah bundanya pun mengantarkannya ke bandara, tepatnya dari Batam ke Aceh. Langkah Latief pun terhenti, lalu bunda memeluknya dengan erat dan tangisan yang tersendu. “nak, jaga diri mu baik-baik ya!, mungkin ketika kamu pulang nanti, ayah dan bunda tak sekuat sekarang lagi, sudah tua renta, doa kami selalu menyertai langkahmu nak, ayah tidak membencimu, ayah sangatlah sayang kepadamu, kami ikhlas nak, wujudkanlah impian ayah dan bunda”, pinta sang bunda sembari mengecup kening Latief dengan memberikan sajadah indah untuknya.

   “sayang, kebanggan ayah, mungkin ketika kamu pulang dari perantauan, kami sudah tak ada didunia ini lagi, maka kita akan berjumpa kelak di surga, tidak ada penyesalan, semua akan baik-baik saja, ayah dan bunda menunggu kabar indah dari mu, Latief”, jelas ayah dengan penuh pengharapan sambil meneteskan air mata. Latief mulai menarik kopernya, dengan senyuman kecil di bibir mungilnya, dan tangan kecilnya menghapus air mata ayah bundanya, dan mengatakan kalimat penuh makna, “ayah, Latief tak pernah berfikir sejauh ini, Latief sangat menyayangi ayah dan bunda, selalu kirimkan doa ya Latief, ayah jaga bunda baik-baik, bunda juga jaga ayah, Latief tidak ingin ada yang kurang sewaktu kembali, Latief akan bawa kebahagian untuk ayah dan bunda, meskipun Latief tak tau apakah ini adalah pertemuan terakhir atau tidak, terima kasih ayah untuk segalanya, terimakasih banyak bunda juga untuk semuanya.

   Ustadz Rizki datang menghampiri Latief, lalu mengajaknya segera naik ke pesawat “ayo Latief”, ucapnya sambil berpamitan dengan keluarga Latief. Setibanya di Aceh, langkah Latief terhenti di sebuah pondok pesantren, tepatnya di sebuah gerbang pondok pesantren yang sangat luas dan indah, mata Latief menatap kosong gerbang tersebut dengan meneteskan air mata, “ya Allah, mengapa engkau berikan ujian seberat ini? Apakah aku berbuat salah?” gumamnya dalam hati, “Latief, disini adalah gudang ilmu, surganya ilmu, disini kita bisa membantu orangtua kita untuk masuk surga, Latief pasti bisa, Insya Allah semua akan indah pada waktunya”, kata ustadz Rizki kepada Latief sebagai  motivasi agar semangatnya kembali bergejolak untuk menetap di pesantren, Latief hanya mengangguk lemah, mukanya  pucat tanpa aura semangat hidup, “jika Latief ingin cepat-cepat pulang ke Batam, maka rajinlah belajar, serius dan bersungguh-sungguh agar kamu sukses dengan cepat, ingatlah Latief, di sana ada mereka yang menunggumu!”, nasehat ustadz Rizki kepadanya.

   Hari berganti hari, rasa rindu pun terlalu berat untuk ditahan, air mata yang tak bisa ditahan lagi membuat Latief mengadu kepada Allah di sepertiga malam. “ya Allah, Latief rindu, sangat merindukan ayah bunda, mudahkanlah segalanya ya Allah”. Setelah melalui beberapa tahun, Latief sekarang telah menginjak usia 23 tahun, kini ia telah tumbuh dewasa, kulit putih bersih, mata coklat serta tubuh yang gagah telah menjadi sosok yang sukses , selama itu pula Latief tak pernah menelpon atau berkomunikasi dengan ayah bundanya. Latief hanya bisa bertanya kepada sang ustadz tentang kabar keduanya, seiring berjalan waktu, Latief kini sudah mendapatkan gelar sarjana dan menjadi salah satu guru di pesantren tersebut, dan kini ia bertekad untuk pulang ke Batam.

   Angin yang berhembus kencang di lantai 5 gedung pesantren, Latief telah banyak mengikuti ajang perlombaan baik nasional maupun internasional, suara merdunya membuat orang-orang kagum melihatnya, ia juga ahli berbahasa asing dan cerdas dalam seluruh bidang, bahkan ia pernah mengikuti ajang tarik suara “MTQ Internasional” dan mendapatkan tiket naik haji untuk kedua orang tuanya. Pengorbanan tidak akan pernah dibalas dengan kegagalan, tapi pengorbanan akan menghasilkan kesuksesan yang nyata.

   Pesawatnya pun mendarat ke Batam , dengan muka yang sangat bahagia, ia mencoba mengatur nafasnya yang sedari tadi tidak karuan, sampai akhirnya matanya terarah ke rumah besar dan tua yang terlihat sepi, “Latief, tunggu apa lagi, ketuklah pintunya”, senyum ustadz Rizki  menyakinkan hatinya, “tok..tok..tok..”, tangannya kelu, matanya berkaca-kaca, tiba-tiba  dibukalah pintu oleh perempuan tua dengan suara pelan, air mata Latief tidak bisa ditahan lagi, “Assalamualaikum bunda”, Latief langsung bertekuk sujud di hadapan bunda, mencium kakinya, “waalaikumsalam, putra kecil bunda”, bunda langsung memeluk Latief untuk melepaskan kerinduan.” Kamu sudah sukses nak, mata bunda sudah rabun, lama sudah menunggu senyuman mu nak, bunda sangat merindukanmu “, ucap bunda sambil tersendu-sendu, “bunda, ayah dimana?”, Tanya Latief, bunda langsung memanggil ayah dengan nada yang perlahan-lahan, “ayah, lihatlah anak kebanggaan kita sudah pulang”, langkah demi langkah, ayah mendekati Latief lalu memegang tangannya, menatap lekat wajah Latief.

“Latief, kebanggaan ayah?”, Tanya sang ayah.

“ia ayah, ini Latief, aku disana tersiksa batin ingin melihat wajah ayah dan bunda, rindu suara ayah yang tegas, rindu segalanya, tapi berkat ketegasan ayah yang buat Latief begini. Latief sayang sama ayah”, ucap Latief memeluk ayahnya yang sudah menua.

“ayah dan bunda hampir hilang harapan nak, tubuh kami tak sekuat dulu lagi, mata yang rabun dan buram, tangan kami telah berkerut kusam, tapi ayah dan bunda bangga pada mu nak”, ayahnya tersenyum bahagia melihat Latief yang kini sudah tumbuh dewasa.

   Inilah yang di harapkan oleh ayah dan bunda Latief, kerinduan yang membuat perjuangan Latief sampai ke titik finish keberhasilan, semua usaha telah ia kerahkan untuk impian yang berharga. Semua harapan kini telah jadi kenyataan, waktu telah di korbankan untuk sesuatu yang pantas untuk di perjuangkan. Terkadang melepaskan itu sulit tapi yakinlah Allah akan menggantikan yang lebih baik lagi untuk kita, walaupun rindu datang tak bertepi.

   “Ayah terimakasih telah menjaga bunda, bunda juga terimakasih telah menjaga ayah, ya Allah terimakasih telah menjaga mereka untukku”.

Oleh: Sarkia Nurhadiati Simamora binti Adi Syahputra Simamora

Santriwati dayah Baitul Ihsan Al-Hanafiah

Berasal dari Longkib, Darul Aman, Subulussalam