Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Reduplah Pelitaku


  

Reduplah Pelitaku

majalahumdah.com Bersumber dari kisah nyata, dimana sahabatku Muna yang sangat penyabar dan lemah lembut menurutku. Dia sahabat kecilku yang lebih lembut daripada aku, jika aku pembalap sepeda dia hanya jadi penontonnya. Terkadang aku menjadikannya sebagai motivasi untuk menjadi lebih kalem dan feminim. Terkadang aku juga belajar sabar dengan keadaan darinya, dia mengajarkan untuk bangkit ketika dunia ini terasa hancur. Muna bagiku begitu disukai oleh masyarakat karena sifatnya, hari-harinya selalu dihiasi dengan senyuman indahnya itu. Suatu hari seperti biasanya Muna berpamitan untuk pergi ke pengajian, hari yang begitu indah seperti tidak ada yang mencurigai sama sekali, Muna menyalami ibunya dan menciumi pipi yang sudah mulai menua itu. Hari pun sudah sore, muna sudah pulang dan menemui ibunya sedang duduk santai di balai belakang rumahnya, ia menyalami ibunya dan duduk di sampingnya sambil bersenda gurau seperti biasanya karena Muna anak bungsu ya otomatis dia sangat dekat dengan ibunya. Di sela-sela itu ibunya berkata “nak, tolongkan ambilkan air putih untuk ibu, rasanya ibu haus!”, Muna menjawab “nanti aja boleh bu? Entah kenapa rasanya muna pengen banget bareng ibu terus, pengen bicara lama-lama dan di pangku sama ibu”, ibu Muna menggeleng pelan sambil tersenyum mendengar keinginan muna, ibunya tetap menyuruh muna untuk mengambil air putih, muna pun bangkit dari duduk dan mengambil air putih. Begitu kembali Muna melihat ibunya sudah tertidur pulas, muna menatap lekat wajah penuh kedamaian itu, wajah yang begitu lelah namun tenang, Muna tidak tega membangunkan ibunya. Setelah beberapa menit ia kembali namun ibunya masih tertidur juga “tumben ibu tidur pulas itu, apa mungkin ibu terlalu kecapean sehingga ga bangun dari tadi,hmm tapi ini sudah sore banget” batin muna penasaran. Dengan hati-hati Muna mencoba membangunkan ibunya, sedetik dua detik ibu Muna belum juga bangun, ia mulai khawatir apakah ibunya pingsan karena terlalu kecapean seharian..Muna terus mencoba membangunkan ibunya, namun usahanya sia-sia. Ibunya tak kunjung bangun juga, Muna panik tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba pikirannya zonk da menerawang jauh. Muna mengecek denyut nadi ibunya, tubuh Muna layu...harapannya pupus, tubuh didepannya kini tinggal jasad saja, ibunya sudah menghembuskan nafas terakhirnya, wajah ibu sudah mulai pucat, ia pasrah...pelitanya telah meredup. Dengan tabah Muna pergi menemui neneknya yang tidak jauh dari rumahnya. Muna memberitahu kabar duka tersebut tetapi mereka tertawa tidak percaya “jangan bercanda nak, itu bukan hal untuk di buat bercanda, ibu kamu baru saja pulang dari sini tadi malam dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada tanda yang aneh”. Muna tetap sabar mengulangi kalau ibunya sudah tiada namun mereka malah terkekeh tidak percaya, untuk pertama kali seorang muna meninggikan suaranya terhadap nenek “nek! Ibu benar-benar sudah meninggal!”. Air mata yang sedari tadi ditahan Muna akhirnya tumpah tanpa ia sadari. Semua tercengang kaget lalu bergegas menuju rumah Muna, ia hanya terdiam, mulutnya seakan-akan kelu, hanya matanya yang tak henti menangis. Mereka membopong jenazah menuju rumah nenek dengan kondisi masih syok “anakku, cepatnya kamu meninggalkan ibu” lirih nenek. Muna tak berdaya, ia dan keluarga seakan-akan mereka itu seperti mimpi buruk tapi nyata. Muna membaca surat yasin sebagai hadiah kepada ibunya, dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti, semua kagum di buatnya. Seorang anak berusia 14 tahun yang begitu kuat dan tabah.
Seketika kabar itu terdengar sampai ke telingaku, aku terpengaruh dan lari menuju kediaman sahabatku itu, aku ingin menghiburnya di ketika dia sedang rapuh begitu, sebagai sahabatnya aku merasa kagum terhadap sosok yang begitu tabah, di sela-sela kebisingan pilu, tiba-tiba abang Muna pulang dengan meronta-ronta tidak menerima saat melihat tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku. “bu!!! Bangun ... jangan bercanda, maafin aku yang sudah membuat ibu sakit hati. Bangun bu bangun!”. Semua orang mencoba menenangkannya namun nihil, abang muna tetap memanggil histeris ibunya. Muna sudah tidak tahan menahan kekesalan “abang, kalau memang kehadiranmu disini membuat ibu tersiksa lebih baik kamu pergi! Tapi kalau kamu sayang ibu maka baca ini” teriak Muna gemetaran menahan emosi dan tangisannya, aku kembali menenangkan. Persiapan demi persiapan telah selesai, suasana yang begitu haru ketika kakak Muna yang di pesantren pulang, setelah beberapa bulan tidak melihat ibunya kini kakak melihat tubuh tubuh lemah itu untuk terakhir kalinya. Dengan setengah sadar kakak Muna di bopong warga untuk melihat jasad ibunya yang sudah tenang itu, tanpa aba-aba kakak Muna tersungkur lemah tepat di hadapan ibunya. Air mata sudah habis tak tersisa, ini adalah pertemuan terakhir setelah lama tak bersua, pertemuan yang tidak di harapkan “aku pikir pulang ini akan berkumpul bersama-sama dan tertawa bersamamu ibu, namun takdir berkata lain, senyuman yang ku nantikan berbulan kini telah sirna” gumam kakak Muna yang mendalam pelita telah meredup, sunyilah suasana tanpa sapaan dan teriakan karena ulah kita, tidak ada lagi tangan yang membangunkan dan menyeka air mata ketika hancur. Pelita itu telah meninggalkan sejuta kenangan indah. Semoga Allah SWT selalu memberikan orang tua kita umur panjang dan keberkahan, hargai selagi ada karena jika sudah tiada tidak ada yang dapat menggantikan walau emas permata. Bahagiakan dan banggakan mereka karena tidak ada senyuman yang paling indah selain senyuman mereka, bahkan senyuman kekasih pun tidak dapat menggantikanya. Perpisahan itu memang menyakitkan namun tidak untuk diratapi, tetap salurkan dan kirimkan doa untuk mereka karena doa seorang anak itu mustajab. Orang tua adalah harta paling berharga yang diberikan tuhan yang harus kita jaga dan berbakti kepadanya, karena kehilangan mereka bagaikan kehilangan separuh jiwa, cintailah mereka seperti kita mencintai orang yang kita sukai. Karena cinta mereka adalah sebenarnya cinta.
OLEH: SITI FATIRA SA 3E