Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tolong, Jangan Rampas Identitas Kami, Aceh Darussalam!

Tolong, Jangan Rampas Identitas Kami, Aceh Darussalam!


majalahumdah.com Sudah cukup hasil alam daerah kami yang diambil, sudah cukup dengan banyak tanah di tempat kami dikuasai oleh pihak luar, tetapi tolong jangan rebut otoritas keagamaan di tanah kami, biarkan itu otoritasnya ulama sebagaimana dulu leluhur kami para Raja Aceh membangun negeri ini dengan penuh kemakmuran. Tolong jaga soal ini, karena ini adalah identitas kami yang tidak layak dirampas dan dihilangkan. 


Apa yang menjadi keistimewaan dari Aceh, yaitu harmoninya Umara dengan Ulama telah pernah ditulis oleh Ibnu Bathuthah, seorang penjelajah Islam asal Maroko abad 14 masehi dalam kitab catatan perjalanannya yang diberi nama Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār. Salah satu hal yang diangkat sebagai kenangan perjalanannya ke Aceh adalah perjumpaannya dengan Sultan Malik Az-Zhahir.


[ذكر سلطان الجاوة]

وهو السلطان الملك الظاهر ، من فضلاء الملوك وكرمائهم، شافعي المذهب، محبّ في الفقهاء، يحضرون مجلسه للقراءة والمذاكرة، وهو كثير الجهاد والغزو، ومتواضع يأتي إلى صلاة الجمعة ماشيا على قدميه، وأهل بلاده شافعية محبون في الجهاد، يخرجون معه تطوعا، وهم غالبون على من يليهم من الكفار، والكفار يعطونهم الجزية على الصلح.


{ Cerita tentang Suthan Jawa (Masa itu Nusantara seluruhnya dikenal dengan nama Jawa) }

"Dia adalah Sultan Malik Az-Zhahir, termasuk bagian dari Raja yang agung dan mulia. Dia bermazhab Syafi'i, sosok yang begitu cinta pada para Alim Ulama (Fuqaha'), Ulama hadir ke Majelisnya untuk mengajar dan berdiskusi. Dia adalah raja yang suka berjihad, sosok yang rendah diri yang pergi menunaikan shalat Jumat dengan berjalan kaki. Penduduk negerinya bermazhab Syafi'i yang suka untuk berperang dan keluar ke medan perang bersama Sulthan secara sukarela (tanpa dibayar). Mereka mengalahkan lawan-lawan mereka dari orang kafir, dan orang kafir terpaksa harus membayar pajak sebagai kompensasi perdamaian dengan mereka." (Diterjemahkan dari kitab Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār pada bab Zikru Shulthan al-Jawah.


Dari catatan Ibnu Bathuthah itu dapat dipahami beberapa hal yang menjadi karakter orang Aceh dan bagaimana hubungan umara, ulama dan rakyat.


1. Sinergitas antara Ulama dan Umara.

Karakter Raja Aceh adalah cinta kepada para Ulama sebagaimana yang termaktub di dalam kitab Tuhfatun Nuzhzhar, Muhibbun fil Fuqaha'. Raja Aceh, Sulthan Malik Az-Zhahir memberikan otoritas keagamaan dipegang sepenuhnya oleh para Ulama. Ulama menyampaikan pencerahan di istana, mereka diajak muzakarah dan diminta pertimbangannya dalam pengambilan kebijakan. 


Hal itu bukan hanya dapat dipahami dari tulisan Ibnu Bathuthah, akan tetapi di beberapa kitab yang ditulis oleh Ulama Aceh dijelaskan di muqaddimahnya bahwa alasan kitab itu ditulis adalah karena permintaan Sulthan sebagai bekal bagi mereka dalam pengambilan kebijakan. 


Hal ini dapat dilihat dalam muqaddimah kitab Mir-atut Thullab karya Syaikh Abdurrauf As-Singkily, yang menjelaskan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan Sulthanah Shafiyatuddin Syah. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam kitab Hidayatul Awam karya Faqih Jalaluddin Al-Asyi, salah seorang ulama Aceh asal Pidie yang makamnya di Batee dimana kitab tersebut kemudian dikumpulkan bersama 7 kitab lainnya oleh Ismail Abdul Muthallib Al-Asyi (Ketua Persatuan Mahasiswa Melayu Pertama di Mesir) untuk dicetak dan diterbitkan dengan nama Jami'ul Mushannafat (Kitab Lapan). Faqih Jalaluddin menulis dalam muqaddimah kitabnya bahwa kitab itu ditulis pada 5 Muharram tahun 1140H atas permintaan Sri Sultan Baginda Raja.


Maka jika ada orang luar yang berkata mencintai Aceh, lalu kemudian ditunjuk untuk memimpin Aceh dalam bidang apapun, satu hal yang Saudara harus paham bahwa sifat pemimpin Aceh itu adalah cinta kepada para ulama, menjadikan fatwa ulama sebagai dasar pengambilan kebijakan, dan mereka sama sekali tidak pernah merebut otoritas keagamaan dari tangannya para ulama. Apalagi anda orang Aceh, anda punya tanggung jawab untuk menjaga keistimewaan Aceh yang mendudukkan ulama dalam posisi yang mulia di hati Anda serta pelibatan mereka dalam kebijakan yang Anda jalankan.


Satu hal yang disayangkan dari Aceh pada hari ini adalah ulama, khususnya MPU hanya diminta fatwanya untuk memperkuat apa yang sudah ingin dijalankan oleh pemerintah. Giliran covid yang terkadang sebagian upaya pencegahannya agak berlebihan dan kontroversial, MPU diminta berfatwa dan ikut membantu mensosialisasikan program pemerintah. Sekarang misalnya, saat pemerintah ingin menyusun aturan tentang perlindungan terhadap satwa liar, MPU diminta bermuzakarah. Ini bagus sebenarnya. Namun yang sedikit disayangkan, giliran MPU menyampaikan fatwa atau tausiyah yang ingin menjaga agar syariat tetap terjaga dalam dunia pariwisata, olahraga atau yang berhubungan dengan selera anak muda, fatwa MPU Aceh terkesan diabaikan.


2. Sifat rakyat Aceh adalah berani, serta loyal kepada pemimpin dan agamanya.

Lihat apa yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah tentang sifat dari rakyat Aceh,


وأهل بلاده شافعية محبون في الجهاد، يخرجون معه تطوعا، وهم غالبون على من يليهم من الكفار، والكفار يعطونهم الجزية على الصلح. 


Penduduk Aceh yang bermazhab Syafi'i suka untuk berjihad. Bukankah ini lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa orang Aceh punya watak pemberani. Dan yang luar biasa, dalam berperang mereka tidak mengharapkan imbalan apa-apa, yakhrujuna ma'ahu tathawwu'a, keluar ke  Medan Perang bersama pemimpinnya secara sukarela. Coba lihat, bagaimana ikhlas dan loyalnya penduduk Aceh saat itu kepada pemimpin mereka, khususnya dalam membela agama dan negeri mereka.


Orang Aceh itu luar biasa kesetiaannya, siap berkorban apa saja walau terkadang bersentuhan dengan harga dirinya. Hal itu tergambar dalam hadih maja.


"Ureung Aceh nye hate ka tupeh, bu leubeh bek neu peutaba. Tapi menyo hate hana teupeh, Aneuk k*eh jeut ta raba."

Orang Aceh itu kalau hatinya sudah dilukai, maka tak ada gunanya ditawarkan nasi tambahan untuknya. Mau ditawarkan otonomi, ditawarkan ini itu mereka tidak mau menerima. Tetapi jika hati mereka tidak dilukai, tersentuh alat vital pun tidak dipermasalahkannya. tentu saja ini bukan dalam artian sebenarnya. Ini hanya bentuk majaz hiperbola atau mubalaghah untuk menggambarkan betapa orang Aceh itu mau memberikan segalanya asalkan hati mereka tidak dilukai. 


Sebenarnya saya mau tulis lebih panjang tentang Aceh. Ada catatan dari Ulama Aceh tentang apa sebenarnya yang menjadi faktor kemunduran Aceh, dimana intinya Aceh mundur dan merosot ketika terjadinya disharmoni antara Umara dan Ulama, dua elemen vital yang menjadi faktor penting maju dan makmurnya Aceh mulai tidak akur. Hal itu kemudian ditambah dengan krisis kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya, dan pemimpin bertindak semena-mena kepada rakyatnya. Karena mau masuk jadwal seumeubeut, InsyaAllah tulisan tentang ini dilanjutkan di waktu lainnya. 


Tulisan ini hanya ingin membangkitkan kesadaran kita semua tentang identitas Aceh yang tidak boleh dihilangkan, yaitu ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan dan pemberi pertimbangan dalam penentu sebuah kebijakan. Jika hasil alam Aceh diambil, tanah-tanah Aceh dikuasai, meski satu sisi kita rugi dan terjajah secara ekonomi, akan tetapi selama identitas keislaman Aceh tidak hilang maka Aceh masih ada. Namun jika identitas ini kemudian ikut dirampok, maka kita tidak punya apa-apa lagi untuk dibanggakan. Jika ini terjadi, tidak berlebihan rasanya jika ada yang mengatakan bahwa Aceh hanya tinggal nama.


Oleh : Tgk H Muhammad Iqbal Jalil