Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masjid Raya Poe Teumeureuhom, Masjid Sentuhan Iskandar Muda



majalahumdah.com-Masjid bukanlah sekedar bangunan bisu. Dalam sejarahnya ia bercerita tentang orang-orang yang mendirikannya, tentang alam pikiran yang melahirkannya. Masjid-masjid megah yang didirikan sekarang akan bertutur kepada anak cucu kita nanti meski mereka tidak hidup di alam dan zaman kita. Begitu pulalah penuturan yang kita bisa simak dari masjid-masjid tua yang masih berdiri kokoh saat ini. Jika kita mencoba menyimaknya kita akan mencerna harapan mereka atas kehidupan beragama generasi sekarang. 

Coba perhatikan pembangunan masjid di masa lalu selalu terkait dengan pemukiman di sekitarnya, selalu terkait dengan pendidikan yang digelar di dalamnya. Masjid selalu hadir untuk satu mukim dan selalu ada Tengku Chik yang mengajar disana. Tak ubahnya seperti masjid peradaban di Masjid Raya Poe Teumeureuhom yang terletak di jantung Dayah Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Masjid Raya Samalanga. Pembangunannya yang selaras dengan pendirian Dayah MUDI membuktikan adanya keterkaitan kuat antara pendidikan dengan masjid. Tak heran bahwa saat ini telah lahir banyak ulama terkemuka di Aceh yang bermula dari dua kehadiran bangunan utama yaitu Masjid Raya Poe Teumeureuhom dan Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga. 

Masjid Raya Poe Teumeureuhom yang peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1607-1636) ini, merupakan salah satu bukti peninggalan sejarah era peradaban Islam di Aceh. Dibangun langsung oleh Sultan Iskandar Muda dengan arsitektur sederhana atas dasar ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ia tidak sekedar menjelma sebagai sarana ibadah dan pendidikan saja saat itu melainkan sebagai bangunan yang berperan penting untuk masa kejayaan Islam di era pemerintahan Sultan Iskandar Muda. 

Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat pendidikan dan perdagangan Islam. Hal ini tidak luput dari peran masjid-masjid di Aceh yang dijadikan tempat untuk mengatur strategi dan taktik perang. 

Kanwil Kemenag Aceh mencatat bahwa Masjid Raya Poe Teumeureuhom tersebut dibangun tahun 1620 masehi. Waktu itu tutur pimpinan Dayah Ummul Ayman Samalanga Waled Nuruzzahri Yahya atau lebih dikenal dengan panggilan Waled Nu keterangan dari orang tua dan kakeknya dan sejumlah tokoh di Samalanga yang sempat didengarnya, saat itu Sultan Iskandar Muda datang ke Samalanga. Dalam suatu kunjungan kerja dicetus dan langsung dimulai pembangunan satu masjid besar di Mideun Jok. Setelah masjid dibangun diberi nama Masjid Raya Poe Teumeureuhom. Informasi tersebut terus berkembang ke penjuru Aceh. Awalnya hanya Masjid Raya Poe Teumeureuhom yang berada di Samalanga. Jamaah masjid saat itu adalah masyarakat yang bertempat tinggal mulai dari Bugeng Peudada sampai ke Ulim sekarang wilayah Pidie Jaya , tutur Waled Nu 

Demi menunaikan ibadah salat jum'at para jamaah masjid mulai berangkat pada Kamis pagi. Umumnya mereka menempuh perjalanan panjang ini hanya dengan berjalan kaki saja. Kemudian mereka menginap di rumah-rumah warga kawasan Desa Mideun Jok. Waled Nu yang sekarang menjadi raja imam masjid tersebut menambahkan bila tidak salah nama imum syik atau pengurus masjid yang masih diingatnya antara lain orang tuanya sendiri almarhum Tengku Haji Yahya Ali kemudian Teungku Hanafiah, Tengku Haji Jamaludin Hanafiah dan sejumlah tokoh lainnya baik sebagai imam masjid maupun panitia pembangunan masjid. Masjid yang dibangun saat itu terbilang cukup megah dan menawan pada masanya. Terdapat sejumlah kubah yang indah meskipun tampak sederhana, tutur Waled Nu dan beliau tidak ingat betul berapa jumlah kubah saat pertama kali masjid ini dibangun. 

Masjid Raya Poe Teumeureuhom tersebut kemudian dilakukan renovasi pada tahun 1970. Di masa lalu semua keindahan arsitektur masjid ini bermunculan dari kesederhanaannya. Pada tahun 2000 Masehi ini kembali direnovasi. Banyak perubahan yang terjadi seiring bergantinya tahun. Dulunya luas lahan hanya sekitar 30x36 m, kata Waled Nu. Dan kini Masjid Raya Poe Teumeureuhom telah menjelma menjadi bangunan indah dan cantik berlantai 2 dengan 1 kubah besar berwarna biru.

Meninggalkan jejak semangat meskipun tak lagi mewarisi arsitektur Masjid peninggalan Sultan Iskandar Muda, namun masjid ini masih menyisakan semangat perjuangan. Generasi muda santri Aceh sekarang umumnya hanya mengetahui bangunan fisik Masjid Poe Teumeureuhom yang sekarang dan sebagian mereka meyakini inilah masjid warisan peninggalan era kejayaan pada Sultan Aceh masa lampau. 

Namun tidaklah sesederhana itu, dibalik sejarah yang dimilikinya masjid ini tidak hanya sekedar dilahirkan. Iya sekaligus hadir menjadi tempat pengembangan pengetahuan Islam. Dulunya ia menjelma sebagai sosok yang sederhana dan kini ia berhasil menjadi tempat ibadah sekaligus tempat pendidikan yang sangat berpengaruh di Aceh. Betapa banyak ulama sepuh Aceh saat ini pernah menjalani cerita panjang pengembaraannya mencari ilmu di mana masjid raya Poe Teumeureuhom tak luput dari bagian utama dari cerita itu. 

Kekaguman terhadap masjid ini tak hanya datang dari keindahan arsitekturnya yang sederhana, tak hanya melahirkan alam pikiran yang cerdas di dalamnya, Masjid Raya Poe Teumeureuhom tidak ada masjid yang telah tua ya tidak hanya menjadi cerita masa lalu saja. Pengaruh penting dari berdirinya masjid ini dalam komplek Dayah MUDI telah menjadikannya sebagai sebuah masjid yang tidak pernah sepi pengunjung. Santri-santri dengan genggaman keikhlasan di dalam hatinya belajar dan beribadah di sini. Mereka adalah para penuntut ilmu yang selagi akan menceritakan pengalaman belajar mereka kepada anak didiknya kelak. Tentunya pengalaman itu lahir dari sebuah kesederhanaan yang telah mereka jalani dengan penuh perjuangan. 

Oleh: Tgk. Muhammad Fajar Isnaini