Sisi Kemukjizatan Alquran dan Sejarah singkat Sastra Arab
Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw 14 abad silam. Meskipun bukan merupakan suatu peristiwa atau kejadian yang luar biasa sebagaimana mukjizat-mukjizat lainnya jika dilihat sekilas, Al-Quran memiliki ciri dan cara tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat lainnya.
Al-Quran tidak bersifat sementara (temporal) seperti halnya mukjizat-mukjizat lainnya (baik yang dialami Nabi Saw. ataupun nabi-nabi yang lainnya) yang hanya bisa dinikmati dan disaksikan pada zamannya saja.
Sejak pertama kali diturunkannya, Alquran telah mengubah arah dan paradigma peradaban bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Berbagai sisi kehidupan manusia mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik dengan hadirnya Al-Quran. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam Al-Quran. Di sisi yang lain ada pihak yang mengatakan bahwa semua ilmu dan pengetahuan yang ada di dunia dan akhirat sudah terangkum semua di dalam Alquran."
Alquran memang mempunyai banyak dimensi yang sangat menarik untuk dikaji. Munculnya beragam kajian tentang Al-Quran dari dahulu sampai kini menandakan bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang mempunyai daya pikat yang luar biasa. Di Saudi Arabia, terbit buku yang berjudul “Mu'jam Mushannafat al-qur’an” karya Dr. Ali Syaukh Ishaq. Lalu muncul kitab “Mu'jam al-Dirasat al Qur'aniyyah” oleh Hindun Syalabi. Karl Brockelman juga menulis buku berjudul “Tarikh al-Adab al-Arabi” yang berisi beragam kajian Al-Quran. Namun kali ini kita tidak akan membahas kajian-kajian itu, tetapi lebih menekankan aspek kehebatan Alquran melalui pendekatan ilmiah dan Historis.
Guru Kami Abi Zahrul Fuadi pernah menerangkan bahwa kemukjizatan alquran sangat sulit untuk dapat dilihat oleh orang awam. Karena mukjizat seperti halnya membelah lautan, membelah bulan, tongkat berubah jadi ular, menghidupkan orang mati, unta yang lahir dari batu dan sebagainya yang lebih tampak sebagai mukjizat bagi mereka. Namun, Alquran yang disebutkan sebagai mukjizat terbesar Baginda Rasulullah yang mengalahkan ribuan mukjizat lainnya justru tidak begitu tampak sisi i'jaz-nya.
Bagi yang sudah mondok di pesantren salaf dan
belajar fan balagah pasti tahu betul bagaimana epic-nya bahasa Alquran dan itu
sebenarnya sudah cukup membuktikan bahwa Alquran adalah pamungkasnya segala
mukjizat. Namun, bagi orang awam mereka harus tahu dulu tentang sejarah panjang
sastra arab sebelum Alquran diturunkan agar mukjizat Alquran bisa tercium
begitu wangi dan kentara.
Menguak Sisi Historis Sastra Arab
Jika orang-orang Yunani berekspresi melalui seni dalam bentuk patung dan arsitektur, orang-orang Ibrani dalam bentuk lagu-lagu keagamaan yang disebut “psalm”, maka orang-orang Arab menuangkannya dalam bentuk syair. Menurut peribahasa Arab, “Keelokan seseorang, terletak pada kefasihan lidahnya”. Hal ini memberi arti kefasihan sebagai kemampuan untuk mengungkapkan jati diri secara elegan dalam bentuk prosa dan ungkapan puitis. Bahkan muncul suatu peribahasa sebagai bentuk penggambaran dunia, “Kebijakan muncul dalam tiga hal: otak orang Prancis, tangan orang Cina, dan lidah orang Arab”.
Lantas jika mereka sudah sangat lihai dan fasih dalam berbahasa dan menyusun syair yang begitu luar biasa indahnya, kenapa nama “Jahiliyah” disematkan kepada mereka? Jahilyah yang berarti bodoh, bukanlah julukan yang disematkan kepada bangsa arab karena kebodohan mereka akan ilmu-ilmu pengetahuan. Julukan tersebut didasarkan atas kelemahan etika mereka pada saat itu sebab belum mengenal Islam.
Bukan sebuah kebetulan Allah menjadikan bangsa Arab sebagai salah satu bangsa yang cinta bahkan gila sastra. Al-qur’an Allah turunkan di tengah-tengah bangsa Arab (Makkah-Madinah). Al-qur’an pun diturunkan dengan berbahasa arab dan bersastra kualitas super. Maka mungkin saja, sastra arab, Al-Mu’allaqāt salah satunya, adalah bentuk persiapan yang telah Allah rencanakan untuk menyambut kedatangan Al-qur’an.
Apa itu Al-Mu’allaqāt?
Al-Mu’allaqāt (yang digantung) merupakan kumpulan puisi para penyair terbaik jahiliyah yang ditulis dengan tinta emas dan digantung di kakbah sebagai bentuk penghormatan kepada penyairnya. Maka pantaslah andai kita mengatakan bahwa kakbah merupakan saksi bisu betapa diagungkannya syair-syair Al-Mu’allaqāt itu. Tercatat ada 7 penyair yang namanya diabadikan sebab syair mereka lolos seleksi super ketat dan menjadi yang terbaik di antara yang terbaik, yakni Umru al-Qais, Tarafah bin Abid, Harits bin Khilizah, Amru bin Kultsum, Zuhair bin Abi Sulma, Antarah bin syaddad dan Labid bin Rabi’ah.
Nama terakhir, Labid bin Rabi’ah adalah satu-satunya penyair yang menjadi bukti betapa hidupnya sastra arab masa jahiliyah sebab ia hidup dalam dua masa yaitu masa jahili dan Islam sampai-sampai ia memiliki julukan “Al-Mukhadramun”. Setelah Islam hadir, ia pun memeluknya dan tak melupakan sejarah hidupnya dahulu sebagai penyair jahiliyah.
Sebelum Allah mengutus Baginda Nabi Muhammad dan menurunkan Alquran kepadanya, terlebih dahulu Allah mendidik jiwa kepenyairan masyarakat arab agar mereka dapat membandingkan karyanya dengan Al-qur’an. Jika Allah tak menjadikan mereka sebagai bangsa yang paham mendalam soal sastra, niscaya sulit bagi mereka memahami sifat kesastraan Al-qur’an.
Bukankah Al-qur’an diturunkan salah satunya untuk meng-i’jaz (melemahkan) kaum pagan arab itu? Seperti kisah Labid bin Rabi’ah, nama terakhir dari tujuh penyair Al-Mu’allaqāt, konon ia berhenti menulis puisi setelah memeluk agama Islam dengan alasan bahwa Tuhannya (Allah) telah menurunkan Al-qur’an yang begitu puitis dan agung sampai membuatnya terkesima. Kesadarannya menuntun akalnya bahwa syair-syair terbaik pada masanya dulu kalah telak dengan wahyu suci itu.
Lantas di manakah Aspek I'jaz (Kemukjizatan) Alquran?
Para ulama berbeda pendapat dalam melihat aspek-aspek kemukjizatan
al-qur’an. Akan tetapi, secara umum setidaknya terdapat empat aspek
kemukjizatan al-qur’an.
Kedua, aspek balaghah (keindahan bahasa). Qadhi Abu Bakar Muhammad Ibnu Tayyib Al-Baqilani, dalam kitabnya “Ijazul Qur’an” dan “at- Taqrib wal Irsyad”, berpandangan bahwa bahasa Arab yang digunakan dalam Al-qur’an dipandang sebagai bahasa yang istimewa, baik dari segi gaya bahasanya, susunan kata-katanya, maupun ketelitian redaksi yang digunakannya. Keindahan bahasa al-qur’an jauh melebihi keindahan bahasa yang disusun oleh para sastrawan Arab.
Ketiga, aspek kandungan isinya. Perihal aspek kandungan isi, al-qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu berita tentang hal-hal yang gaib dan isyarat-isyarat ilmiah.
Perihal berita gaib, isi kandungan al-qur’an banyak menginformasikan tentang berita gaib yang terjadi sebelumnya, yaitu berita tentang orang-orang terdahulu. Juga berita gaib yang akan terjadi (sesudah turunnya wahyu), seperti kemenangan yang akan diperoleh tentara Romawi dalam menghadapi bangsa Persia dalam QS. Ar-Rum: 1-6, kemurnian al-qur’an yang akan tetap terpelihara dalam QS. Al-Hijr: 9, serta berbagai masalah gaib lainnya yang ditunjukkan oleh Al-Quran, baik secara eksplisit maupun implisit, hingga berita gaib yang sedang terjadi di tempat lain, seperti maksud jahat orang-orang munafik dengan membangun masjid Dhirar dalam QS. At-Taubah: 107.
Adapun perihal isyarat-isyarat ilmiah, isi kandungan al-qur’an banyak menginformasikan tentang permasalahan ilmiah yang mungkin hanya diketahui oleh para ilmuwan. Ayat-ayat al-qur’an yang sudah dibuktikan kebenarannya melalui penemuan di bidang ilmu pengetahuan alam. Hukum Toricelly yang ditemukan pada abad XVII M misalnya, menyatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah tekanan udara yang ada di tempat itu, sebagaimana dalam QS. Al-An’am: 125. Selain itu, hukum siang dan malam yang tidak selalu sama lama waktunya. Terkadang malam lebih panjang daripada siang, dan terkadang terjadi sebaliknya, sebagaimana dalam QS. Yunus: 6.
Keempat, aspek kesempurnaan syariatnya. Syariat Islam menunjukkan bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan mana pun yang pernah ada di dunia ini. Selain itu, syariat Islam juga diakui sebagai syariat yang sesuai dengan kebutuhan manusia, karena berasal dari pencipta manusia itu sendiri. Sedangkan tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari dunia gelap gulita menuju dunia yang terang-benderang, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 257.
|||
Sedangkan Ali ibn Isa ar-Rummani (w. 384/994), seorang teolog yang juga beraliran Muktazilah, berpendapat bahwa i’jazul qur’an terletak pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an itu sendiri. Pertama, status Al-qur’an sebagai bahasa Tuhan. Kedua, struktur serta gaya tutur yang dimiliki Al-qur’an itu sendiri.
Lebih dari itu, I’jazul Qur’an terletak pada harmoni yang menakjubkan antara statusnya sebagai firman Tuhan dan gaya tutur yang digunakan, serta aspek-aspek linguistik lainnya yang tersusun dengan cermat di dalam Al-qur’an.
Abu Bakar al-Baqillani, seorang ulama yang anti terhadap Muktazilah, menegaskan bahwa i’jazul qur’an terkandung di dalamnya, dan bukanlah i‘jaz itu muncul dari intervensi Allah terhadap manusia berupa sharfah atau tindakan untuk mengalihkan bangsa Arab agar tidak mampu membuat yang semisal dengan Al-qur’an.
Meskipun ia tidak menafikan keunggulan Al-qur’an dalam mengungkap berita-berita gaib, akan tetapi, al-Baqillani lebih menyoroti bahwa I’jazul Qur’an lebih jelas terlihat dari sisi kebahasaan dan susunan kata-katanya. Dalam hal ini, al-Baqillani masih dipandang belum tuntas untuk menjelaskannya, sehingga terlihat ia hanya mengungkap keindahan bahasa Al-qur’an.
وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Artinya: “Dan jika kamu meragukan (Al-qur’an) yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal
dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar.” (Al-Baqarah ayat 23)
Oleh: Tgk. Farid Maulana