Empat Mazhab Fikih serta Perbedaan Mendasarnya Oleh: Zulkarnaini Ar
Perbedaan pendapat fikih adalah bentuk ekspresi jati dirinya sebagai ilmu yang dihasilkan lewat ijtihad. Perbedaan hasil ijtihad bukan saja karena standar kemampuan mujtahid yang bersifat relatif, tetapi juga karena kerangka berpikir yang telah disusun dengan langgam yang berbeda. Selain itu, fakta-fakta sejarah yang ditapaki oleh masing-masing mujtahid juga tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa pola pikir yang dibangun acap kali dipengaruhi oleh peradaban yang mereka saksikan. Fakta ini wajar terjadi, mengingat pola pikir memang sering dipengaruhi oleh apa yang disungguhkan di depan mata.
Perbedaan fikih serta mesin produksinya telah kontras terlihat sejak masa Tabi'in dengan hadirnya dua mazhab besar saat itu. Di antara para Tabi'in terdapat seorang ulama besar di Kufah (Irak) bernama Nu'man bin Tsabit, yang kemudian dikenal dengan Abu Hanifah. Ia lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Asalnya dari Persia, kemudian menetap di Kufah, dekat Bagdad.
Pada waktu yang hampir bersamaan (93 H-179 H), di Madinah juga muncul seorang ulama besar dalam ilmu fikih, yaitu Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki. Beliau hidup pada masa Tabi'in dan Tabi' Tabi'in. Pada saat itu, Madinah bisa dikatakan tidak ramai penduduk; hanya diisi oleh para pemangku hadis, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, dan beberapa ulama dalam bidang lain.
Sementara itu, Kufah, meskipun banyak ulama, juga dipadati oleh ahli politik dan sangat mungkin terdapat banyak kepentingan elektoral di sana. Bisa dikatakan bahwa saat itu telah terjadi akulturasi di Kufah. Sementara pemangku hadis dari kalangan Tabi'in maupun Tabi' Tabi'in banyak yang tinggal di Madinah. Kenyataan ini jelas sangat membantu Imam Malik dalam mengumpulkan hadis dan relatif lebih mudah dibandingkan dengan Abu Hanifah.
Sebelum menjadi mujtahid mutlak, Imam Malik bahkan telah menghafal hadis sahih sejumlah 100.000 yang dikumpulkan dari gurunya. Selain itu, Imam Malik juga memiliki banyak hadis serta fatwa-fatwa sahabat yang kemudian digunakan untuk menyelesaikan problem umat. Atas dasar inilah mereka disebut dengan “ahl al-hadis” di mana porsi hadis dalam menyelesaikan dan menjawab kasus jauh lebih besar dari pada menggunakan qiyas yang cenderung diperankan oleh akal.
Sekali lagi, kota Madinah pada waktu itu boleh dikatakan didiami oleh para sahabat, kemudian oleh Tabi'in, dan Tabi' Tabi'in. Itu penting untuk digarisbawahi karena Imam Malik memakai dasar “amalan orang Madinah” sebagai dasar hukum.
Pada tahun 150 H, Muhammad bin Idris lahir dan kemudian mendirikan Mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i memiliki ciri khas sendiri dalam menuntut ilmu. Beliau sangat sering berpindah-pindah untuk menimba ilmu, bahkan bertemu dengan para Tabi'in di negeri-negeri yang menjadi tujuannya. Madinah, Yaman, Irak, dan Persia adalah di antara tempat yang pernah beliau tapaki untuk belajar dan berjumpa dengan banyak Tabi'in di sana.
Pada tahun 164 H, lahir Imam Ahmad bin Hanbal di Bagdad (Irak). Anaknya pernah berkata, “Ayahku telah menghafal di luar kepala 10.000.000 (sepuluh juta) hadis.” Dalam kitab Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal mengumpulkan 40.000 hadis, yang telah disortir dan diverifikasi dari sepuluh juta hadis itu.
Empat mujtahid di atas memiliki persamaan dan perbedaan metode dalam menggali hukum (istinbath). Persamaannya adalah bahwa mereka semua memfungsikan Al-Qur'an dan hadis sebagai dasar hukum setiap mereka pertama kali mencari hukum dalam Al-Qur'an dan baru pindah kepada hadis jika tidak terdapat hukum dalam Al-Qur'an.
Hanya saja, karena keadaan hadis berbeda dengan Al-Qur'an—yakni Al-Qur'an sudah tertulis saat itu sementara hadis belum—hadis hanya tersimpan dalam dada para ulama dan berpindah ke ulama lainnya. Di sini terbuka potensi besar untuk melakukan manipulasi atau bahkan menciptakan hadis palsu karena berbagai macam kepentingan. Maka dalam memfungsikan hadis, terdapat perbedaan antara mereka.
Bagi Imam Hanafi, hadis yang dipakai sebagai dasar hukum adalah yang sahih saja. Kalau mungkin, hadisnya harus mutawatir. Jika tidak terdapat hadis sahih, menurutnya lebih baik memutuskan hukum dengan ra'yu (qiyas). Menurutnya, qiyas lebih terjamin dari pada hadis yang diragukan validitasnya, terutama hadis-hadis yang kurang kuat, apalagi dha'if.
Menurut Imam Hanafi, "ra'yu" didahulukan dari hadis yang kurang kuat karena "ra'yu" telah diberi izin oleh Nabi dalam hadis Mu'adz yang populer itu. Oleh karena kecenderungan ini, Mazhab Hanafi dikenal sebagai Ahli Ra'yi (Golongan Rasional).
Kecenderungan kepada ra'yi tidak lepas dari kondisi Kufah saat itu yang ditempati oleh berbagai kalangan. Sehingga, menggunakan hadis sebagai dasar memiliki pertimbangan yang super ketat. Selain itu, Abu Hanifah juga sedikit mendapatkan hadis, ditambah lagi jumlah yang minim itu juga diragukan karena keadaan perawi di Kufah.
Selain itu, Mazhab Hanafi juga menggunakan istihsan (kebaikan umum), yaitu mendahulukan qiyas khafi dari pada qiyas jaliy pada sebagian tempat. Sebagai contoh, dalam hadis disebutkan bahwa wanita setelah bersetubuh dilarang membaca Al-Qur'an. Dalam hal ini, timbul masalah: bagaimana keadaan wanita yang sedang haid? Bolehkah ia membaca Al-Qur'an atau tidak?
Ada yang mengatakan tidak boleh karena diqiyaskan kepada wanita junub tadi. Tetapi dengan konsep istihsan, Mazhab Hanafi mengatakan boleh, karena yang lebih baik baginya adalah dibolehkan, mengingat durasi haid itu lama. Jika dilarang terlalu lama, maka dalam waktu yang lama itu ia tidak membaca Al-Qur'an.
Adapun kasus wanita berjunub, statusnya bisa dihilangkan dengan cepat, yaitu dengan mandi, dan ia bisa segera membaca Al-Qur'an. Jadi, dalam Mazhab Hanafi, dalam qiyas terkadang perlu mempertimbangkan mana yang lebih baik. Sementara mazhab lain tidak memakai dalil ini.
Imam Malik berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadis. Namun, jika terdapat silang pendapat antara hadis dengan "amalan orang Madinah", maka amalan orang Madinah yang menjadi pegangan.
Bagi Imam Malik, amalan orang Madinah setara validitasnya dengan hadis, bahkan lebih tinggi, karena hadis diriwayatkan dengan "perkataan" dari orang ke orang lain. Sementara amalan orang Madinah diriwayatkan dengan "perbuatan"—yakni "perbuatan" Nabi dilihat oleh sahabat, lalu diikuti dan dikerjakan, kemudian diturunkan oleh sahabat dengan "perbuatan" kepada generasi setelahnya, dan seterusnya dikerjakan oleh orang Madinah.
Menurut Imam Malik, "Mana yang lebih kuat antara perkataan dengan perbuatan? Tentu perbuatan lebih kuat."
Sebagai contoh, dalam kasus meletakkan tangan pada dada saat berdiri salat, ada hadis ahad yang menyatakan bahwa Nabi meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di atas dadanya. Tetapi Imam Malik melihat para Tabi'in di Madinah semuanya melepaskan tangan ke bawah ketika salat. Menurutnya, cara tersebut diambil dari ibadah para sahabat Nabi yang diambil dari ibadah (perbuatan) Nabi ketika salat.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika tidak terdapat hukum dalam Al-Qur'an, maka carilah dalam hadis. Seandainya perbuatan sahabat Nabi atau Tabi'in atau dari siapa pun berbeda dengan hadis, maka hadis tetap menjadi pegangan.
Imam Ahmad pernah menyungguhkan bahwa memakai hadis lemah dalam menetapkan hukum lebih baik dari pada menggunakan ra'yi, asalkan bukan hadis maudhu'. Langgam metode Imam Ahmad jelas berbeda dengan Imam Syafi'i, yang tidak memakai hadis lemah sebagai dasar hukum.
Sumber:
- المدخل إلى مدرسة المذاهب الفقهية
- الإمام الشافى حياته و عصره في المذهب القديم و الجديد
- المدخل إلى مذهب الإمام الشافعي