Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Abuya Muda Waly, Bapak Pendidikan Aceh

Abuya Muda Waly, Bapak Pendidikan Aceh

majalahumdah.com - Abuya Muda Waly adalah salah seorang ulama dari Aceh Selatan, nama aslinya adalah Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy. Isterinya yang bernama Hajjah Rabi’ah Jamil menuliskan namanya dengan Syeikh Haji Muhammad Waly, Asyafi’i Mazhaban, wal Asy’ari Aqidatan, wan Naqsyabandi Thariqatan. Sedangkan gelar “Muda Waly” beliau dapatkan saat menjadi ulama di Sumatera Barat. Beliau lahir pada tahun 1917 di desa Blangporoh, kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan. Beliau adalah putra bungsu dari Syeikh Haji Muhammad Salim bin Malin Palito (Dai asal Batukarang, Sumatera Barat) dan siti Janadat.

Abuya Muda Waly belajar dan mendapat pendidikan dasar keagamaan dari ayah kandung beliau sendiri, Haji Muhammad Salim,  yang meliputi Al-Qur’an dan kitab-kitab kecil mengenai tauhid, fiqh dan sedikit dasar ilmu bahasa Arab. Di samping itu beliau sekolah di Volks-School (setara SD). Setelah beliau menamatkan Volks-School, lalu melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Ibukota Labuhan Haji, yakni Pesantren Jami’iyyah Al-Khairiyyah di bawah pimpinan Tengku Muhammad Ali sambil sekolah di umum Vervolg-School (sekolah sambungan), lama belajar sekitar 2 atau 3 tahun.
Kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blang Pidie, yang dipimpin oleh  Syeikh Mahmud -Ulama Islam mazhab Syafi’i- seperti I’anatut Thalibin, Tahrir dan Mahalli dalam ilmu Fiqih; Alfiyah dan Ibnu ‘Aqil, dalam ilmu bahasa Arab.

Konon, di pesantren itu beliau termasuk santri yang cerdas. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya selama 1 hari di Krueng Kalee Lau ke pesantren Indrapuri (Banda Aceh) yang dipimpin oleh Tengku Syeikh Hasballah Indrapuri. Terakhir beliau belajar di normal Islam -sekolah persiapan untuk ke kairo- selama 3 bulan. Kemudian sambil menunaikan ibadah haji beliau menimba ilmu pada para ulama di Masjidil Haram dan Madinah.


Beliau adalah salah satu ulama yang mengambil tarekat Naqsabandiyah. Menurut putranya karena tarekat ini lebih  mengutamakan dzikir qalbi daripada dzikir jahar (dengan suara yang terdengar). Apalagi melihat bahwa tujuan tarekat itu ialah bagaimana hati dan batin kita senantiasa menghayati ‘ubudiyah dan muraqabah terhadap Allah SWT yang tidak serupa dengan sesuatu. Beliau belajar tarekat tersebut dari Syeikh Haji Abdul Ghani Al-Kamfari. Setelah beliau mendapat ijazah tarekat.
Beliau kembali ke Padang dan mendirikan sebuah Pesantren bernama Bustanul Muhaqqiqien di Lubuk Bagalung Padang. Beliau kembali ke Aceh setelah Jepang menduduki Padang. Beliau kembali ke Aceh Selatan, sekitar akhir tahun 1939 dan mendirikan pesantren di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Yang merupakan pangkal dari hampir seluruh pesantren di Aceh. Di pesantrennya inilah beliau mengajarkan tarekat Naqsabandiyah.

Ketika meletus pemberontakan DI/TII, Abuya Muda Waly termasuk ke dalam golongan ulama yang menolak pemberontakan ini. Diantara wasiat beliau adalah “untuk menjadi seorang ulama tidak cukup dengan hanya mempelajari ilmu syariat, terutama ilmu fiqih, harus dibarengi dengan mempelajari ilmu tasawuf”. Beliau wafat pada hari Selasa 11 Syawal 1381 Hijriyyah, bertepatan dengan 20 Maret 1961, pada jam 15.00 WIB, di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Beliau dishalatkan dan dimakamkan di dayah (pesantren) Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.