Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam Rahmatan Lil-‘Alamin & Toleransi Agama

Islam Rahmatan Lil-‘Alamin & Toleransi Agama

majalahumdah.com - Tidak dapat dipungkiri bahwa di antara keistimewaan agama Islam adalah jati dirinya yang membawa misi rahmatan lil-‘alamin yang diterapkan dan menjadi karakteristik Nabi saw dalam setiap langkah dan dakwahnya. Akhir-akhir ini kita juga semakin sering mendengar slogan Islam rahmatan lil-‘alamin (Islam membawa rahmat kepada semesta alam). Hanya saja slogan rahmatan lil-‘alamin ini seringkali dieksploitasi secara berlebihan, sehingga mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang sebenarnya seperti yang telah dipaparkan oleh para ulama tafsir Al-Qur’an.

    Tidak jarang, slogan rahmatan lil-‘alamin, dijadikan justifikasi oleh sebagian kalangan yang memberikan khutbah dalam acara kebaktian agama lain, kalangan yang menjaga keamanan tempat ibadah agama lain, doa bersama lintas agama dan lain sebagainya. Oleh karena itu tulisan ini akan berupaya mengupas makna rahmatan lil-‘alamin serta kaitannya dengan interaksi umat Islam dengan non Muslim.

Makna Rahmatan Lil-‘Alamin

    Sebagai umat Islam, tentu kita harus meyakini slogan rahmatan lil-‘alamin, karena istilah rahmatan lil-‘alamin ini telah diproklamirkan oleh al-Qur’an sebagai salah satu karakteristik risalah dan kepribadian Nabi Muhammad saw, yang harus dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh setiap Muslim. Hanya saja, apa sebenarnya makna rahmatan lil-‘alamin yang menjadi salah satu ciri khas dan karakteristik dakwah Islam tersebut?

Istilah rahmatan lil-‘alamin ini dipetik dari salah satu ayat dalam al-Qur’an yang berbunyi, “wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-‘aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS. al-Anbiya’ : 107). Dalam ayat ini, kalimat rahmatan lil-‘alamin secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw. Dalam artian, Allah tidak menjadikan Nabi saw sebagai rasul, melainkan kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Oleh karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi saw, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi saw yang merupakan pakar dalam bidang tafsir berkata: “Orang yang beriman kepada Nabi saw, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi saw, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.” Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya, al-Durr al-Mantsur.

Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-‘alamin telah menjadi karakteristik Nabi saw dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi saw menjawab: “Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).

Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-‘alamin memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kerasulan Nabi saw. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab tafsir yang ada, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-‘alamin dengan sikap toleransi seorang Muslim yang berlebih-lebihan dengan komunitas agama lain. Hal ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-‘alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi saw. Sebagaimana dimaklumi, rasul adalah seseorang yang mendapatkan wahyu dari Allah tentang suatu ajaran yang harus disampaikan kepada umatnya. Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-‘alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri, seperti dengan memberikan khutbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan alasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Karena, hal itu selain mengaburkan makna rahmatan lil-‘alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam, juga dapat mereduksi pesan-pesan al-Qur’an dalam ayat-ayat yang lain.

Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-‘alamin, Nabi saw diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-‘aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam). “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. al-Furqan : 1). “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28). Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-‘alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-‘alamin.

Baca Juga: Syukur dan Sabar

Interaksi Dengan Non Muslim

Oleh karena seorang Muslim bertanggungjawab menjalankan misi rahmatan lil-‘alamin, Islam tidak melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat kita sampaikan kepada umat lain jika komunikasi kita dengan mereka tidak berjalan baik. Oleh karena itu, para fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang muslim memberikan sedekah sunah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim. Para fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberikan nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.

Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-‘alamin, Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka. Mayoritas fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Ma’idah : 2).

Baca Juga: Kemuliaan Nama Nabi Muhammad SAW

Doa Bersama Lintas Agama

Doa bersama lintas agama dewasa ini juga agak marak dilakukan dengan alasan Islam rahmatan lil-‘alamin. Padahal sebenarnya jika kita amati agak mendalam, karakter rahmatan lil-‘alamin, dari dekat maupun dari jauh, tidak ada kaitannya dengan doa bersama lintas agama. Doa merupakan inti dari pada ibadah (mukhkhul ‘ibadah), yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhan. Tidak jarang, seorang Muslim berdoa kepada Allah, dengan harapan memperoleh pertolongan agar segera keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.

Ada dua pendapat di kalangan fuqaha tentang hukum menghadirkan kaum non Muslim untuk doa bersama dalam shalat istisqa’. Pertama, menurut mayoritas ulama (madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali), tidak dianjurkan dan makruh menghadirkan non Muslim dalam doa bersama dalam shalat istisqa’. Hanya saja, seandainya mereka menghadiri acara tersebut dengan inisiatif sendiri dan tempat mereka tidak berkumpul dengan umat Islam, maka kita tidak berhak melarang. Pandangan ini beralasan, bahwa kaum non Muslim itu musuh-musuh Allah yang telah kufur, yang sudah barang tentu jauh dari terkabulnya permohonan. Dan seandainya Allah menurunkan hujan setelah itu, dikhawatirkan mereka akan berkata, “Hujan ini turun berkat doa kami.”

Kedua, menurut madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Maliki, bahwa non Muslim tidak boleh dihadirkan atau hadir sendiri dalam acara doa bersama shalat istisqa’, karena mereka tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa. Doa istisqa’ itu memohon turunnya rahmat dari Allah, sedangkan rahmat Allah tidak akan turun kepada mereka. Demikian kesimpulan pendapat fuqaha’ dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian, jika dalam berdoa kita mengharapkan turunnya rahmat dari Allah, sebaiknya kita mendatangkan orang-orang saleh yang dekat kepada Allah, bukan orang-orang yang jauh dan atau justru menjadi musuh Allah, agar doa kita benar-benar dikabulkan oleh Allah. Wallahu a’lam.