Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Toleransi Fikih

MEMAHAMI TOLERANSI FIKIH

 

majalahumdah.com - Pada dasarnya, umat Islam merupakan saudara-saudara yang saling mencintai dan tolong-menolong. Selama beberapa abad kaum muslimin telah lama disatukan dalam cakupan bingkai agama Islam yang luas, ajaran yang penuh toleransi dan prinsip-prinsip yang benar. Tidak ada yang mampu mengeruhkan barisan persatuan umat Islam atau memecah-belah keutuhan mereka sampai kemudian tiba suatu masa timbul berbagai gesekan perpecahan dalam tubuh umat Islam yang terus berlanjut sampai saat ini. Terlepas dari keyakinan kita bahwa hal tersebut merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan kepada makhluknya, kita harus jujur untuk mengakui secara lapang dada bahwa sebagian kaum muslim saat ini justru semakin sibuk mengurusi masalah furu’iyyah ibadah (masalah yang tidak  pokok dalam ibadah) dan meninggalkan masalah pokok yang seharusnya diberi perhatian yang lebih besar.

Agama Islam yang menjadi sebab terpadunya hati, bersatunya barisan serta kokohnya sendi ukhuwah islamiah, pada hari ini, sudah menjadi sebab terjadinya perselisihan, permusuhan, perpecahan, pertengkaran dan terlepasnya hubungan persaudaraan iman yang telah diikat oleh Tuhan dengan ikatan agama. “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu”. (QS.49:10)

Ironisnya, sebagian kaum muslimin yang lebih banyak menghabiskan waktu berpikirnya untuk mengkritisi hal-hal furu’iyyah tersebut bukanlah masyarakat awam, melainkan orang-orang yang mendapat gelar intelektual. Kondisi seperti ini menjadi pertanda yang sangat jelas bagi kemunduran kembali kaum muslim dan keterbelakangan peradaban umat Islam di tengah upaya membangkitkan kembali kejayaan umat Islam masa lalu. Alangkah dahsyatnya musibah memprihatinkan yang menimpa umat Islam saat ini. Sebagian ulama mengungkapkan: ”Hai cerdik pandai masa ini, wahai garamnya negara, apa yang dapat disedapkan oleh garam, jika garam itu sendiri telah rusak”.

Memahami Fikih Furu’iyyah

Permasalahan timbulnya khilafiah furu’iyyah ibadah tidak terlepas dari peranan fikih sebagai sebuah “proses” dalam menyimpulkan legitimasi ibadah itu sendiri. Kesadaran fikih dalam arti memahami kedudukan fikih dalam struktur keilmuan Islam, perlu ditempatkan kembali pada posisinya yang wajar, sehingga tidak melampaui batas yang seharusnya. Fikih sendiri lahir dari dialog antara teks dan konteks kehidupan nyata umat manusia. Karena itu, watak dasar fikih sesungguhnya sangat dinamis dan bersifat praktis. 

Fikih memang tumbuh dan berkembang begitu cepat serta memberikan pengaruh yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam. Salah seorang ulama sepuh NU, KH. MA. Sahal Mahfudz mengungkapkan bahwa pengembalian fikih agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etik dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan maqasid al-syar’iyyah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik fikih. (Wajah Baru Fiqh Pesantren:2004). Berpijak dari hal ini, jelaslah bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk tujuan pengembangan fikih, para pengembangnya tetap dituntut harus memiliki wawasan yang tinggi tentang dimensi etik dan formal legalistik fikih itu sendiri. Penempatan kedua dimensi ini harus dilakukan secara proporsional agar pengembangan fikih benar-benar sejalan dengan fungsinya, yakni sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permasalahan kehidupan praktis, baik bersifat individual maupun sosial. 

Memang, suatu pemikiran tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia muncul ke permukaan sebagai refleksi kehidupan yang melingkupinya. Akan tetapi bila kita terlalu memaksakan proposisi ini sebagai suatu acuan kebenaran dalam melihat fikih maka kita akan  terjebak dalam pola pemahaman yang menempatkan fikih di luar konteksnya dan diobok-obok sebebasnya. Padahal, semenjak masa pembentukan sampai masa pengembangannya, ilmu fikih tidak pernah terlepas dari “intervensi” pemilik syariat sehingga menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang unik dan berbeda, dimana ia mampu memadukan unsur “samawi” dan kondisi aktual “bumi”.

KH. MA. Sahal Mahfudz kembali mengutarakan bahwa untuk tujuan pengembangan fikih ini, para ulama mujtahid mazhab muktabar masa lalu sebenarnya sudah cukup menyediakan landasan kokoh sebagaimana tergambarkan dalam kaidah-kaidah ushuliyyah maupun fiqhiyyah.  Hingga kini, nampaknya belum ada suatu metodologi (manhaj) dalam memahami syariat yang sudah teruji keberhasilannya dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial selain apa yang telah dirumuskan oleh para ulama terdahulu. (Wajah Baru Fiqh Pesantren:2004).

Pentingnya Toleransi

Hampir seluruh lembaga pendidikan Islam berbasis dayah (pesantren) di Aceh -bahkan di Indonesia sekalipun- sejak awal berdirinya telah mengambil sikap dasar untuk bermazhab dengan salah satu mazhab yang muktabar. Hal ini terlihat dalam kurikulum dan kepustakaan pesantren yang diasuhnya. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum fikih dari referensi kitab-kitab fikih mazhab muktabar terhadap persoalan-persoalan fikih furu’iyyah. Namun, bukan berarti salah satu lembaga pendidikan tertua di Aceh ini menolak apalagi antipati terhadap ulama lain. Pepatah Arab berbunyi : “Khudz ma shafa, wa utruk ma qadhara” (ambillah yang jernih dan tinggalkanlah yang keruh). Di sinilah pola pikir dan sikap dalam ilmu fikih “kaum sarungan” menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, temporal dan tidak kaku.

Sering muncul kritik bahwa “mazhab” lembaga dayah di negeri ini bersifat statis. Namun pada kenyataannya, perbedaan-perbedaan hasil simpulan fikih furu’iyyah dari masing-masing lembaga dayah tidak menjadikan para masyarakatnya saling bermusuhan apalagi saling menyesatkan dan mengkafirkan. Disadari atau tidak, lembaga-lembaga pendidikan dayah telah lama berhasil mendidik warganya untuk membentuk sikap toleran dalam menghadapi dan menyikapi permasalahan khilafiah dalam konteks fikih furu’iyyah.

Sayangnya, sikap toleransi yang dicontohkan oleh kalangan dayah ini tidak diikuti oleh sebagian masyarakat dalam menyikapi permasalahan khilafiah ibadah. Semakin gencarnya vonis bid’ah dan musyrik bagi umat Islam yang berziarah kubur, melakukan zikir dan doa berjamaah ataupun mencium tangan ulama ketika bersalaman justru semakin menampakkan kebekuan dalam berpikir. Bahkan tradisi-tradisi yang sudah mengakar dalam masyarakat muslim Nusantara, seperti kenduri kematian, maulidan ataupun tepung tawar (peusijuek) juga tidak luput dari klaim sesat sepihak hanya dengan alasan yang telah dijadikan sebagai propaganda, tidak ada nash dari al-Qur`an dan al-Hadits. Pandangan-pandangan ganjil dan aneh seperti ini justru semakin menyalakan api permusuhan dan perpecahan di antara kaum muslimin hanya karena masalah yang mudah dan biasa-biasa saja. 

Beranjak dari kondisi inilah, penulis setuju dengan pandangan dan ajakan untuk menghormati tradisi-tradisi Islami yang telah ada pada suatu tempat karena semuanya masih dalam lingkup mengamalkan dan mengikuti ajaran dan sunnah Rasulullah Saw.

Allah SWT berfirman: ”Dan berpeganglah kalian dengan agama Allah dan janganlah terpecah-belah dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, ketika kamu semua saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan hatimu, dan dengan nikmatnya, kalian menjadi bersaudara”. (QS.3:103) 

Oleh karena itu, marilah memperbaiki sikap dan pola pikir kita sebagai masyarakat muslim yang mencontohi perilaku para salafush-shalih yang telah mewariskan berbagai rumusan dan konsep berkehidupan sehari-hari.

* H. ‘Afifuddin H. Ibrahim, Mudir LPI Bahrul ‘Ulum Diniyah Islamiyah Putri (BUDI MESJA) Lamno, Aceh Jaya.