Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Substansi Bermazhab Dalam Fikih

SUBSTANSI BERMAZHAB DALAM FIKIH


majalahumdah.com - Pendapat dan pemikiran para imam mazhab merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab moral mereka atas berbagai persoalan umat yang membutuhkan kejelasan hukum. Hasil kajian mereka bukanlah semata-mata penalaran bebas yang tidak memiliki sandaran dalam agama, tetapi semuanya bersumber kepada al-Qur`an dan Sunnah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya, setelah pendapat dan jalan pikiran para imam mazhab dijadikan sebagai pegangan dalam fikih oleh para pengikutnya, pendapat dan jalan pikiran tersebut menjadi seperti doktrin dan begitu mengkristal di kalangan para pengikut. Saat itulah berbagai mazhab fikih mulai dikenal dengan menyandarkannya kepada nama daerah tertentu atau nama imam mazhab yang diikuti.

Sejak mazhab itu berdiri, dikenal luas dan dijadikan ikutan dalam bidang fikih, umat ini merasa nyaman dan tenang dalam menjadikan mazhab-mazhab fikih sebagai acuan mereka dalam amaliah sehari-hari. Namun kenyamanan ini mulai terusik sejak munculnya tokoh-tokoh Islam yang melarang bertaklid kepada salah satu mazhab yang telah ada dengan mewajibkan semua umat Islam untuk berijtihad langsung kepada al-Qur`an dan Sunnah. 

Situasi ketidak-nyamanan ini semakin bertambah setelah munculnya kelompok radikal yang anti terhadap mazhab, dan memvonis sesat serta bid’ah terhadap orang-orang yang bermazhab. Mereka menjadikan slogan ‘’kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah’’ sebagai senjata untuk mengeroposkan legitimasi umat terhadap ulama, mencaci orang yang bertaklid, dan mengajak orang-orang awam untuk melepaskan diri dari ikatan mazhab, untuk ‘’nekat’’  menggali hukum-hukum sendiri. 

Menurut mereka, bermazhab adalah berpaling dari al-Qur`an dan Sunnah, maka bermazhab termasuk salah satu bentuk penyimpangan dalam agama. Kehadiran dan eksistensi kelompok tersebut telah menimbulkan keresahan bahkan kekaburan terhadap masalah bermazhab di kalangan sebagian umat Islam khususnya orang-orang awam, bahkan orang-orang terpelajar yang tidak begitu memahami substansi bermazhab dan sejarah pembentukan hukum-hukum fikih serta tata cara pemahamannya yang dimulai sejak era sahabat Nabi. Mereka mengira bahwa bermazhab bukanlah suatu kebenaran dalam agama, tetapi tidak lain adalah suatu penyimpangan.

Pada hakikatnya, ‘’kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah’’ merupakan prinsip utama dan ideal yang diakui oleh seluruh umat Islam. Secara sederhana, ‘’kembali kepada al-Qur`an dan Sunnah’’ dapat dimaknai sebagai kembali kepada ‘’hukum Allah’’. Siapakah di antara umat ini yang tidak ingin kembali kepada ‘’hukum Allah’’. Semua umat Islam tentu saja mengiginkan hal ini. Tetapi pertanyaan yang perlu dijawab sekarang adalah: apakah dengan bermazhab berarti tidak kembali kepada hukum Allah, apakah bermazhab merupakan suatu penyimpangan, apakah mayoritas umat Islam yang hidup berabad-abad yang lalu semuanya telah sesat, dan apakah para imam mazhab yang telah berjasa meletakkan pondasi metode perumusan hukum-hukum Islam dan memberikan kontribusi luar biasa dalam menjaga kemurnian syariat dianggap sebagai orang-orang yang telah mencetuskan dasar-dasar penyimpangan dalam agama.

Beranjak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tulisan ini berusaha mengungkapnya sekedar kemampuan dan keterbatasan penulis, dengan tetap mengacu kepada kaidah-kaidah ilmiah.

    SUBSTANSI BERMAZHAB

Seluruh umat Islam sejak masa Rasulullah sampai hari ini meyakini bahwa syari’at Allah merupakan satu-satunya yang memberi putusan hukum pada manusia. Hanya syari’at Allah yang menjadi pedoman dan panduan perilaku mereka. Hanya saja, sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia secara umum berbeda-beda dalam memahami syari’at. Hal ini meniscayakan bahwa orang yang tidak tahu harus berpegang pada ilmu para ulama, dan para ulama pun mengikuti orang yang lebih tahu dari mereka. Sehingga semuanya bersatu dalam jalan syari’at yang sama, yakni jalan syari’at Allah yang maha agung.

Ketika mengikuti imam mazhab dalam berbagai persoalan hukum, pada hakikatnya bukanlah mengikuti karena kepribadian mereka, tetapi karena mereka merupakan orang-orang yang menyampaikan syari’at yang bersumber dari al-Qur`an dan hadis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketika ditelusuri dalam berbagai kitab dari mazhab empat, pada ketika menjelaskan dan menulis sebuah hukum, para imam mazhab selalu menyandarkan hukum-hukum tersebut kepada dalilnya yang tak lain adalah al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas. Hukum-hukum yang disampaikan bukanlah sebuah pemikiran lepas dan liar yang tidak memiliki dasar dalam syari’at. Begitu juga mengenai teori istinbath hukum yang mereka gunakan. Semua mazhab, khususnya mazhab empat menjadikan  al-Qur’an, hadis, ijma, dan qiyas sebagai dalil yang mereka sepakati. Hanya saja kadang mereka berbeda mengenai teknis penggunaannya. Perbedaan teknis ini tidak merubah substansi bahwa dasar pengambilan hukum mereka adalah empat dalil tersebut.

Pada saat muqallid mengikuti imam mazhab, hal yang tampak adalah muqallid mengikuti pendapat dan hasil kajian imam mazhab. Namun karena hasil kajian imam mazhab bersumber dari dalil al-Qur`an dan hadis, serta  diperoleh melalui proses ijtihad yang matang, maka pada hakikatnya muqallid juga mengikuti dalil al-Qur`an dan hadis. Perbedaannya, imam mazhab mengikuti kedua dalil tersebut secara langsung, sedangkan muqallid mengikutinya secara tidak langsung. Dengan ini, bermazhab bukanlah meninggalkan al-Qur`an dan hadis demi mengikuti pendapat imam mazhab, tetapi semata-mata mengikuti al-Qur`an dan hadis dengan menjadikan imam mazhab sebagai tangga menuju kepada keduanya. Hal ini wajar karena muqallid memiliki kelemahan dan keterbatasan untuk mendaki langsung kepada keduanya. Dengan demikian, jelaslah keliru pernyataan yang menyebutkan bahwa bermazhab adalah mengabaikan al-Qur`an dan hadis. 

Sebagian orang memberikan pernyataan bahwa mengikuti al-Qur`an dan hadis berarti mengikuti yang terhindar dari kesalahan (ma’shum), sedangkan mengikuti imam mazhab adalah mengikuti sesuatu yang tidak terhindar dari kesalahan (tidak ma’shum). Karenanya, ikutilah yang ma’shum dan tinggalkan yang tidak ma’shum. Secara sepintas, pernyataan ini benar adanya. Tetapi yang perlu dipahami di sini, sebenarnya yang ma’shum pada al-Qur`an dan hadis adalah makna yang dikehendaki oleh Allah dan Nabi. Sedangkan pemahaman manusia, baik itu imam mazhab, ulama, apa lagi orang awam jelas tidak ma’shum, karena pemahaman merupakan sebuah usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan. 

Tetapi pemahaman yang dilakukan oleh imam mazhab telah diakui dan disahkan oleh syara’ meskipun pada hakikatnya pemahaman itu salah. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis berikut ini:

إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر واحد (رواه الشيخان)

Artinya: Apabila seorang hakim berijtihad, lantas ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala (H.R. Al-Syaikhani). 

Dalam hadis tersebut jelas bahwa jika pun hasil ijtihad seorang hakim salah, tetap saja ia mendapatkan pahala, hanya saja satu pahala. Hakim yang dimaksudkan di sini bukanlah dari seluruh tingkatan manusia, tetapi seorang mujtahid karena dalam semua mazhab fikih disyaratkan bahwa hakim itu mesti mujtahid. Dengan demikian, seorang mujtahid tetap mendapatkan pahala meskipun hasil ijtihadnya itu salah. Hal ini merupakan penegasan tentang keabsahan dan pengakuan tentang hasil ijtihad para imam mazhab. Meskipun hasil ijtihad mereka salah dalam ilmu Allah tetapi mereka tetap mendapatkan satu pahala.

Para Imam mazhab yang sudah diakui hasil ijtihadnya oleh Nabi masih mungkin mengalami kesalahan dalam berijtihad, padahal mereka sudah memiliki perangkat ijtihad secara sempurna. Lalu bagaimanakah jika ijtihad dilakukan oleh orang yang tidak memiliki perangkat ijtihad, apakah ini akan terhindar dari kesalahan, apakah orang-orang ini ma’shum?. Jawaban yang rasional adalah kesalahan orang ini akan lebih besar, bahkan membawa kepada kerusakan tatanan hukum itu sendiri. Jika pemahaman imam mazhab saja tidak ma’shum, maka pemahaman orang-orang ini akan lebih tidak ma’shum. Lantas mengapa perlu meninggalkan pendapat imam mazhab lantaran mereka tidak ma’shum?. Bukankah berijtihad sendiri bagi orang yang tidak memeiliki syarat ijtihad akan lebih menambah ketidak-ma’shum-an?. 

Jadi, dalam konteks ma’shum dan tidak ma’shum, bermazhab berarti mengikuti hukum Allah melalui orang-orang yang sudah mendapatkan pengesahan dari Nabi sendiri. Para imam mazhab merupakan orang-orang mulia yang telah berjasa dalam memberikan kontribusi luar biasa bagi kemudahan mayoritas umat ini. Karenanya, jika orang yang tidak mampu berijtihad, lantas meninggalkan imam mazhab dan berijtihad sendiri, maka ia akan mengikuti hukum Allah dari pihak yang tidak mendapat pengakuan dari syara’. Dengan demikian, tidak ada alasan meninggalkan pendapat imam mazhab bagi orang yang tidak memiliki persyaratan ijtihad

Pada sisi yang lain, Kewajiban terhadap setiap muslim adalah meyakini dan mengamalkan apa yang telah disampaikan Rasulullah dalam al-Qur’an dan hadis  secara benar. Bagi para mujtahid, dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka dapat menggali hukum sendiri dari Al-Quran dan hadis bahkan bagi mereka tidak boleh mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan bagi orang awam betapa berat bagi mereka untuk memahami dan mengambil hukum dari Al-Quran dan hadis. Jika perkara ini dibebankan atas mereka maka akan terjadi pembebanan sesuatu yang tidak sanggup dilakukan (taklif ma la yuthaq). Hal ini tidak terjadi dalam agama karena bertentangan dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa “Allah tidak membebani seseorang kecuali apa yang sanggup dilakukannya…” (Q.S. Al-Baqarah:286). Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur’an dan hadis. 

Selain itu, jika ijtihad dibebankan kepada setiap orang, akan banyak sektor yang menjadi kebutuhan manusia menjadi terbengkalai, karena untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad tersebut tentu perlu menghabiskan waktu yang lama dalam mempelajarinya. Hal ini akan mengakibatkan kepada rusaknya tatanan hidup dalam alam ini, karena tidak ada lagi orang yang berpikir untuk memiliki keahlian dalam berbagai profesi selain mencari ilmu untuk dapat mencapai derajat ijtihad. Hal ini pula berlawanan dengan sunnatullah yang telah menciptakan manusia dan memberinya berbagai bakat yang berbeda untuk mengatur alam ini.

Dari logika tersebut, maka bermazhab bagi orang yang tidak memiliki keahlian ijtihad merupakan suatu keniscayaan. Hal ini bukan untuk memalingkan mereka dari pencarian hukum langsung kepada dalilnya, tetapi semata-mata memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an, hadist, Ijma’, dll, namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Malah bila mereka mencari hukum langsung kepada dalilnya, yang terjadi justeru kerusakan tatanan hukum itu sendiri karena dilakukan oleh orang yang buta terhadap tata caranya.

Sebagian orang mungkin mengira bahwa ijtihad pada masa sekarang lebih mudah dengan alasan bahwa semua hadis yang dibutuhkan dalam berijtihad mudah didapatkan, karena kitab-kitab hadis semua telah terkodifikasi. Perlu diketahui bahwa berijtihad tidak semudah itu. 

Imam Ahmad bin Hanbal pernah memberikan jawaban kepada orang yang bertanya sebagai berikut: 

“Apa bila seseorang  menghafal seratus ribu hadis apakah ia sudah menjadi seorang ahli fikih, lalu Imam Ahmad menjawab tidak. Jika dua ratus ribu, Imam Ahmad menjawab tidak. Jika tiga ratus ribu, Imam Ahmad menjawab tidak. Jika empat ratus ribu, lantas Imam Ahmad menggerakkan tangannya sebagai isyarat menyetujuinya”.


Jawaban Imam Ahmad di atas, menunjukkan bahwa bukanlah perkara mudah untuk menjadi seorang ahli fikih (mujtahid). Mengahafal hadis sebanyak tiga ratus ribu belum menjadikan seseorang sebagai ahli fikih. Barulah seseorang menjadi ahli fikih jika ia menghafal empat ratus ribu hadis, ini pun tentu saja batas minimal. Perlu dipahami juga, maksud Imam Ahmad dengan menghafal empat ratus ribu, bukanlah semata-mata mengahafalnya, tetapi harus memahaminya sesuai kaidah-kaidah istinbath hukum. 

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa berijtihad langsung kepada al-Qur`an dan hadis bukanlah perkara yang mudah. Perlu menguasai dulu perangkat ijtihad yang memadai, dan bukan hanya dengan menghafal al-Qur`an, hadis dan mengoleksi berbagai kitab hadis. Kalau seseorang mendapatkan hadis shahih al-Bukhari atau shahih Muslim, hadis tersebut tentu tidak diragukan tentang keshahihannya. Tetapi pemahaman seseorang ketika mendalami hadis tersebut apakah pemahaman yang shahih/benar?. Pemahaman yang shahih tidak dimiliki oleh setiap orang, pemahaman ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang telah menguasai perangkat ijtihad secara sempurna. Jika orang awam dipaksakan berijtihad langsung kepada al-Qur`an dan hadis maka pada hakikatnya adalah memaksakan mereka untuk merusak pemahaman hukum Islam, karena memaksakan suatu perkara kepada bukan ahlinya.  

Dalam perbandingan yang lain, bermazhab dapat kita ibaratkan dengan mengkonsumsi makanan siap saji yang telah di masak oleh ahlinya. Bila kita ingin memasaknya sendiri tentu saja kita harus terlebih dahulu menyiapkan bahan-bahan makanan tersebut dan harus mempelajari cara-cara memasaknya serta mempunyai pengalaman dalam memasak. Hal ini tentu saja membutuhkan waktu bahkan kadang-kadang hasil yang diperoleh tidak memuaskan, dan tidak menjadi makanan yang lezat. Demikian juga dalam ijtihad, tentu saja ia harus dahulu mempelajari dan menguasai syarat-syarat ijihad. Bisa saja karena kemampuan yang masih kurang, hukum yang dihasilkan adalah hukum yang salah dan merusak kemurnian syariat. 

    KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa bermazhab bagi orang yang tidak mampu berijtihad merupakan suatu kewajiban. Dengan ini berarti bermazhab bagi mereka adalah suatu kebenaran, bukan penyimpangan, bid’ah, apalagi diberi label sesat. Bermazhab merupakan hal yang diperintahkan oleh al-Qur`an, diakui oleh Rasulullah dan dipraktekkan pada masa sahabat Nabi.

 Substansi atau hakikat bermazhab adalah mengikuti hukum Allah melalui perantaraan para ulama yang memiliki kapasitas dan kompetensi menggali hukum langsung dari dalil-dalilnya, dan hasil ijtihad mereka telah mendapat legitimasi langsung dari Rasullah SAW. Bermazhab bukan berarti berpaling dari al-Qur`an dan hadis, tetapi hakikatnya adalah semata-mata mengikuti al-Qur`an dan hadis dengan menjadikan imam mazhab sebagai tangga menuju kepada keduanya, karena mereka merupakan para ahli dalam memahami keduanya. Oleh karena itu, bermazhab merupakan suatu keniscayaan yang harus dijalani.

Oleh: Tgk. Sari Yulis, S.H.I