Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Penting Tentang Menghormati dan Mencintai Keluarga Nabi

 

Catatan Penting Tentang Menghormati dan Mencintai Keluarga Nabi Oleh: Al-Mazlumi Kala itu, Imam Ahmad bin Hanbal telah melewati masa suramnya, masa di mana ia harus dipenjara, disiksa, dicambuk, sampai nyaris mati hanya gara-gara mempertahankan prinsip ideologinya itu: Alquran adalah kalamullah, bukan makhluk. Dari tiga pimpinan dinasti Abbasiyah yang terpengaruh ideologi Mu’tazilah adalah Al-Ma’mun, Al_Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Bisa dikatakan, sosok yang paling keras dan zalim menyikapi imam Ahmad adalah Al-Mu’tashim. Ialah yang memerintahkan agar imam Ahmad dicambuk ratusan kali sampai beliau pingsan nyaris menjemput ajal. Perlu diketahui, Daulah Abbasiyah adalah dinasti yang memegang tampuk kekuasaan setelah runtuhnya dinasti Umayyah. Mereka ini mempunyai tali kekerabatan dengan Rasullah Saw, karena kakek buyut mereka adalah Abbas bin Abdul Mutallib. Kembali ke Imam Ahmad, waktu itu beliau mengeluhkan rasa sakit tak terhingga di salah satu bagian punggungnya yang melebihi rasa sakit di bekas-bekas cambukan lainnya. Setelah ditelusuri, ternyata terdapat sepotong daging mati di punggungnya akibat cambukan-cambukan ganas itu. Daging mati itu harus dikeluarkan, jika tidak nyawa beliau bisa terancam. Untuk mengeluarkan daging mati itu, akhirnya Imam Ahmad sepakat untuk memanggil tabib untuk melakukan operasi tanpa memakai obat bius. Operasi pun dimulai, mereka merobek punggungnya dan dengan sangat hati-hati mulai menarik keluar gumpalan daging mati itu. Anehnya, di setiap tarikan yang begitu menyakitkan itu, disertai rintihan-rintihan perih, Imam Ahmad selalu mengulang-ulang doa,”Allahummaghfir Lil Mu’tashim (ya Allah Ampunilah Al-Mu’tashim).” Dokter-dokter yang menangani operasi keheranan, siapa yang kenal nama itu? Bukannya Al-Mu’tashim adalah biang kerok utama dalam masalah ini? Bukankah ia yang hampir saja membuat nyawa Imam Ahmad terenggut. Setelah operasi selesai, mereka bertanya kepada beliau perihal doanya saat operasi tadi. Dengan santai beliau menjawab,” Al-Mu’tashim itu keturunan paman Rasulullah, aku tidak mau kelak di akhirat bertikai dan mempunyai masalah dengan salah satu kerabat nabi. Oleh karena itu aku sudah memaafkannya di kehidupan dunia ini.  Di lain kesempatan, Imam Ahmad berjalan bersama rombongan muridnya. Di pintu masuk ia berpapasan dengan seorang bocah kecil yang kebetulan juga hendak masuk, dengan penuh ta’zim Imam Ahmad berkata kepadanya,”Silahkan masuk duluan, wahai Tuanku.” Melihat murid-muridnya keheranan dengan sikapnya beliau berkata,”Anak kecil itu adalah seorang syarif, keturunan nabi, jadi tidak mungkin aku berjalan mendahuluinya.” Dari sini kita menyimpulkan bahwa menghormati dan mencintai keturunan Rasulullah Saw itu tidak mengenal kata pilih, besar-kecil, tua-muda, dari mana pun, seperti apapun kelakuan mereka selama darah Rasulullah Saw mengalir dalam diri mereka , maka kita tetap diperintahkan untuk mencintai dan menghormatinya, tanpa kecuali. Karena itu, jelas sebuah kesalahpahaman jika ada yang mengatakan kita hanya diperintahkan memuliakan habaib yang berilmu dan yang berakhlakul karimah saja, (biasanya ini adalah dalih yang digunakan orang yang memuji-muji habaib jika sesuai dengan selera dan keingina mereka, yang tidak seperti itu tidak akan mereka sebut habaib, bahkan mereka buli dan caci habi-habisan.) Habib Zein Bilfaqih pernah berkata,”Ketulusan kita mencintai aahlul bait itu baru terlihat ketika menghadapi ahlul bait yang biasa-biasa saja atau bahkan berperilaku tidak baik. Kalau kayak Habib Abdul Qadir As-Segaf dan Habib Umar bin Hafidz gak usah disuruh pun kita sudah menghormatinya.” Di sini kita baru lihat-lihat dulu habibnya, jika ia seorang yang jelas alim dan kebaikannya, maka ikuti mereka sebagai panutan. Namun, jika sebaliknya, maka kita nasihati dia, kita beri tahu mana yang benar dan salah sambil tetap berbaik sangkadanmeyakini, bahwa sebagai seorang keturunan nabi, dia pasti memiliki potensi taubat yang lebih besar daripada yang lain. Tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta kita, dan tentunya tanpa membuli dan sikap merendahkan. Kunci utama dakam menjaga rasa cinta dan ta’zim terhadap ahlul bait adalah mengingat jasa kakek mereka, Rasulullah Saw, yang sangat besar atas diri kita yang setetes pun tak akan bisa kita bayar dengan harta atay amal sebanyak apapun. Dengan jasanya yang menggunung dan tak terbalaskan itu, Rasulullah tak pernah menuntut balasan apa-apa. Hanya satu hal saja, cinta kita kepada keluarganya dan kerabatnya.

majalahumdah.com - Kala itu, Imam Ahmad bin Hanbal telah melewati masa suramnya, masa di mana ia harus dipenjara, disiksa, dicambuk, sampai nyaris mati hanya gara-gara mempertahankan prinsip ideologinya itu: Alquran adalah kalamullah, bukan makhluk.


Dari tiga pimpinan dinasti Abbasiyah yang terpengaruh ideologi Mu’tazilah adalah Al-Ma’mun, Al_Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Bisa dikatakan, sosok yang paling keras dan zalim menyikapi imam Ahmad adalah Al-Mu’tashim. Ialah yang memerintahkan agar imam Ahmad dicambuk ratusan kali sampai beliau pingsan nyaris menjemput ajal. Perlu diketahui, Daulah Abbasiyah adalah dinasti yang memegang tampuk kekuasaan setelah runtuhnya dinasti Umayyah. Mereka ini mempunyai tali kekerabatan dengan Rasullah Saw, karena kakek buyut mereka adalah Abbas bin Abdul Mutallib.

Kembali ke Imam Ahmad, waktu itu beliau mengeluhkan rasa sakit tak terhingga di salah satu bagian punggungnya yang melebihi rasa sakit di bekas-bekas cambukan lainnya. Setelah ditelusuri, ternyata terdapat sepotong daging mati di punggungnya akibat cambukan-cambukan ganas itu. Daging mati itu harus dikeluarkan, jika tidak nyawa beliau bisa terancam.

Untuk mengeluarkan daging mati itu, akhirnya Imam Ahmad sepakat untuk memanggil tabib untuk melakukan operasi tanpa memakai obat bius. Operasi pun dimulai, mereka merobek punggungnya dan dengan sangat hati-hati mulai menarik keluar gumpalan daging mati itu. Anehnya, di setiap tarikan yang begitu menyakitkan itu, disertai rintihan-rintihan perih, Imam Ahmad selalu mengulang-ulang doa,”Allahummaghfir Lil Mu’tashim (ya Allah Ampunilah Al-Mu’tashim).”

Dokter-dokter yang menangani operasi keheranan, siapa yang kenal nama itu? Bukannya Al-Mu’tashim adalah biang kerok utama dalam masalah ini? Bukankah ia yang hampir saja membuat nyawa Imam Ahmad terenggut.

Setelah operasi selesai, mereka bertanya kepada beliau perihal doanya saat operasi tadi. Dengan santai beliau menjawab,” Al-Mu’tashim itu keturunan paman Rasulullah, aku tidak mau kelak di akhirat bertikai dan mempunyai masalah dengan salah satu kerabat nabi. Oleh karena itu aku sudah memaafkannya di kehidupan dunia ini. 

Di lain kesempatan, Imam Ahmad berjalan bersama rombongan muridnya. Di pintu masuk ia berpapasan dengan seorang bocah kecil yang kebetulan juga hendak masuk, dengan penuh ta’zim Imam Ahmad berkata kepadanya,”Silahkan masuk duluan, wahai Tuanku.” Melihat murid-muridnya keheranan dengan sikapnya beliau berkata,”Anak kecil itu adalah seorang syarif, keturunan nabi, jadi tidak mungkin aku berjalan mendahuluinya.”

Dari sini kita menyimpulkan bahwa menghormati dan mencintai keturunan Rasulullah Saw itu tidak mengenal kata pilih, besar-kecil, tua-muda, dari mana pun, seperti apapun kelakuan mereka selama darah Rasulullah Saw mengalir dalam diri mereka , maka kita tetap diperintahkan untuk mencintai dan menghormatinya, tanpa kecuali.

Karena itu, jelas sebuah kesalahpahaman jika ada yang mengatakan kita hanya diperintahkan memuliakan habaib yang berilmu dan yang berakhlakul karimah saja, (biasanya ini adalah dalih yang digunakan orang yang memuji-muji habaib jika sesuai dengan selera dan keingina mereka, yang tidak seperti itu tidak akan mereka sebut habaib, bahkan mereka buli dan caci habi-habisan.)

Habib Zein Bilfaqih pernah berkata,”Ketulusan kita mencintai aahlul bait itu baru terlihat ketika menghadapi ahlul bait yang biasa-biasa saja atau bahkan berperilaku tidak baik. Kalau kayak Habib Abdul Qadir As-Segaf dan Habib Umar bin Hafidz gak usah disuruh pun kita sudah menghormatinya.”

Di sini kita baru lihat-lihat dulu habibnya, jika ia seorang yang jelas alim dan kebaikannya, maka ikuti mereka sebagai panutan. Namun, jika sebaliknya, maka kita nasihati dia, kita beri tahu mana yang benar dan salah sambil tetap berbaik sangkadanmeyakini, bahwa sebagai seorang keturunan nabi, dia pasti memiliki potensi taubat yang lebih besar daripada yang lain. Tanpa mengurangi rasa hormat dan cinta kita, dan tentunya tanpa membuli dan sikap merendahkan.

Kunci utama dakam menjaga rasa cinta dan ta’zim terhadap ahlul bait adalah mengingat jasa kakek mereka, Rasulullah Saw, yang sangat besar atas diri kita yang setetes pun tak akan bisa kita bayar dengan harta atay amal sebanyak apapun. Dengan jasanya yang menggunung dan tak terbalaskan itu, Rasulullah tak pernah menuntut balasan apa-apa. Hanya satu hal saja, cinta kita kepada keluarganya dan kerabatnya.