Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

JALANI SAJA

 




Sejak kelulusanku dua minggu yang lalu, aku selalu memikirkan keinginan Ayahku, yang memaksaku melanjutkan pendidikan ke sebuah pesantren. Namun aku bingung, tak pernah terfikir bahwa aku akan meninggalkan dunia luarku. Oh ya, perkenalkan namaku Dinda Az Zahra yang biasa dipanggil dengan Dinda. Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan juga aku anak perempuan satu-satunya dalam keluargaku. Dari kecil aku mempunyai cita-cita menjadi wanita karir yang sukses, tapi sepertinya itu hanya bayangan belakang yang tak mungkin terwujud, karena Ayah tak mengizinkan aku melanjutkan ke SMA. Ayah ingin aku menjadi wanita shalehah yang tumbuh di perkarangan ilmu agama.

Kini tibalah dimana keputusan Ayahku tak bisa diganggu gugat. Tepat pada tanggal 14 April 2020, aku mendaftarkan diri di sebuah pesantren yang kata sebagian orang sangat penuh dengan peraturan. Di depan sebuah gerbang aku kembali merasa ragu, haruskah aku mengikuti semua keinginan Ayah ini, lalu bagaimana dengan cita-citaku. Dengan ragu aku hampiri Ayah yang sedang menunggu proses pendaftaranku, “Ayah . . . tidakkah sebaiknya Dinda melanjutkan sekolah saja? Dinda ragu akankah Dinda tinggal di sini”, tanyaku. “Ayah yakin Dinda sanggup tinggal di sini dan Ayah juga ingin Dinda jadi wanita shalehah.” Setelah mendengar keinginan Ayahku tersebut, aku hanya pasrah. Percuma membantah yang ada Ayah akan marah.

Setelah hampir setengah jam menunggu. Akhirnya tiba giliranku mengikuti tes yang mana dengan hasil tersebut akan menentukan aku lulus atau tidak. Dengan rasa gugup yang tidak bisa kuungkapkan, kuberanikan diri memasuki ruangan yang di dalamnya terdapat tiga orang ustazah yang akan menguji tentang kitab dan Alquran kepadaku. Lima belas menit berlalu, selesai sudah Tanya jawab dengan ustazah tadi. Sekarang aku hanya menunggu pengumuman untuk mengambil hasil. Rasa bingung kembali memenuhi pikiranku. Namun kata-kata Ayah kembali terngiang.

Tak butuh waktu lama, tibalah pengumuman panggilan namaku. Sebelum kulangkahkan kakiku menuju tempat pengambilan hasil, kulirik Ayah yang memberikan senyum semangatnya untukku. Tak pernah kulihat seyum secerah itu, tak pernah terpancar harapan sebesar saat sekarang ia menatapku. Dengan perlahar kuhampiri salah satu ustazah, “Assalamualaikum, saya Dinda Az Zahra ustazah,” kataku “Wa'alaikum salam, ini hasil tes kamu,” jawabnya, sambil menyerahkan hasil tesku. Dengan pasrah kuberikan hasil tersebut pada Ayahku.

“Ayah . . . ini hasilnya! Semoga Dinda gak ngecewain Ayah,” kataku sambil berhadapan dengannya. “semoga semua yang terbaik,” batinku. Perlahan Ayah membaca hasil tersebut. Tak ada senyuman di raut wajahnya yang membuat aku sangat kebingungan. “bagaimana Ayah?” tanyaku. Hening, tak ada jawaban. Ayah hanya menatapku begitu dalam. “apa aku mengecewakanmu Ayah?” tanyaku lagi. Rasa sesak mulai memenuhi pernapasanku, “mengapa engkau diam, bagaimana dengan hasilnya Ayah?” tanyaku lagi. “tidak” jawabnya singkat. Satu kata tersebut sontak membuatku terdiam.

Bingung, aku hanya bertanya, “maksud Ayah?” “Eum . . . tidak ada yang mengecewakan” terulas kembali senyuman cerah itu, diraihnya tubuh mungilku dalam pelukan hangatnya. Butiran-butiran air mata mulai tak bisa kutahan lagi. Rasa senang, sedih, susah dan lelah bercampur aduk dalam pikiranku. “akankah aku sanggup dengan semua ini” batinku “Ayah . . . hari ini akan ada perpisahan antara Dinda dan Ayah, tak ada lagi canda tawa di ruang keluarga, ruang tamu dan ruang tidur. Tak ada lagi ucapan hangat saat pagi mulai menyapa dan malam berganti” ucapku lirih. Ditangkupnya wajahku “ini bukanlah sebuah perpisahan, namun ini awal baru untuk Dinda. Sekarang bukan saatnya mengingat masa lalu, tetapi memikirkan masa depan. Ayah yakin Dinda bisa “katanya penuh keyakinan”. Aku hanya terdiam menatap Ayah, melihat senyuman itu seakan aku tak ingin mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Banyak yang mengatakan, “tanpa keinginan semua menjadi angina yang berlalu begitu saja”. Rasa tak ingin begitu besar dalam hatiku, namun aku bingung dengan semua ini. 

Kini tiba waktu dimana aku akan berpisah dengan Ayah. Air mata kembali mengalir. Ayah yang melihat hal tersebut berkata, “Dinda harus kuat, Ayah yakin Dinda bisa, Ayah harap Dinda bisa menjadi anak yang shalehah”. Aku hanya diam, ingin rasanya menolak tapi aku takut mengecewakannya. “Dan jangan lupa doain Bunda ya, Bunda juga pernah bilang, ia ingin putri kecilnya menjadi penolongnya di akhirat nanti. Dinda sayangkan sama Bunda?” tanyanya “iya Ayah . . . Dinda bakal selalu doain Bunda dan Ayah, jangan lupain Dinda ya!” Ayah tersenyum mendengar jawabanku. Tiba-tiba terdengar waktu bertamu telah habis, “yaudah kamu masuk, insya Allah Ayah bakal sering ke sini jumpa Dinda. Jaga diri Dinda baik-baik, semoga Dinda betah di sini ya” sambungnya lagi “Ayah sering-sering ke sini ya, Dinda bakal kangen sama Ayah”. Ku peluk Ayah dengan erat, ingin rasanya menolak semua ini, tapi itu tidak mungkin. “yaudah Ayah pulang dulu, Assalamu’alaykum” pamit Ayah “Wa’alaykum salam” jawabku sambil mencium wajahnya. Kulambaikan tangan terakhir untuk Ayahku.  Baca Juga : Mujaddid Islam dari Masa ke Masa


Setelah Ayah tak terlihat, aku mulai memasukkan barang-barangku ke dalam kamar yang akan kutempati. Kamar yang begitu sederhana, jauh berbeda dengan kamarku di rumah. Aku mulai memasukkan pakaian-pakaianku ke dalam lemari. Setelah selesai, aku berniat untuk mandi. Kuraih sabun dan keranjang sabunku untuk bergegas ke kamar mandi. Sesampai di sana yang kudapati hanya kesederhanaan. Dengan ragu-ragu aku mulai melakukan kegiatan mandiku. Setelah selesai, aku bersiap-siap untuk melaksanakan jamaah Maghrib di mushalla. 

Satu hari telah berlalu, duniaku seakan penuh dengan kekacauan. Aku diberi tugas untuk menghafal. Begitu sulit bagiku untuk menghafal semua tugas tersebut. Air mata membasahi pipiku, ingin rasanya keluar dari tempat ini, tapi itu tidak mungkin. Dengan pasrah saat tiba giliranku, aku terus membaca apa yang kuhafal tadi. Hanya berhasil satu paragraf, dengan terpaksa aku harus menerima hukuman. 

Di hari kedua, aku terlambat bangun tidur hingga aku diguyur dengan air oleh ustazah. Hari ketiga, aku kembali menerima hukuman karena hafalan yang sama. Hukuman terus kudapatkan hingga berminggu-minggu. Habis sudah kesabaranku, ingin rasanya aku segera keluar dari tempat ini. Setelah jamaah isya berlangsung, aku tidak langsung keluar dari mushalla. Aku berdoa sambil menangis sejadi-jadinya, tidak ada yang ingin kulakukan selain menangis. Setelah meluapkan segalanya, kutelungkupkan wajahku pada kedua tanganku. Tanpa kusadari, ada seorang wanita yang mendengar doaku seak tadi. Dihampirinya aku, “assalamualaikum, boleh ukhty bergabung?” tanyanya “Wa'alaikum salam, silahkan ukhty”. Jawabku. “nama kamu siapa?” tanyanya lagi, “Dinda Az Zahra ukhty”, nama yang bagus. “Dinda lagi ada masalah?” tanyanya, aku hanya diam. Bingung antara jujur atau tidak. “kalau Dinda gak cerita juga gak papa. Cuma ukhty sedih liat Dinda seperti sekarang” sambungnya lagi, “eum . . . iya ukhty, Dinda gak betah tinggal di sini. Dinda mau pulang, Dinda mau sama Ayah”. Jawabku jujur, “Ayah yang maksa Dinda ke sini?” tanyanya, “sebenarnya bukan maksa ukhty, Dinda gak berani bilang kalau Dinda gak mau, Dinda takut Ayah bakalan sedih, karena Bunda juga pernah bilang, Bunda pengen Dinda ke pesantren”, kataku lagi, “Dinda sayang Ayah sama Bunda?” tanyanya, “iya ukhty, Dinda sayang” “kalau Dinda sayang, Dinda gak mau kan buat mereka sedih?” “enggak ukhty” jawabku. “kalau Dinda sayang mereka, Dinda harus buktiin kalau Dinda bisa bahagiain mereka. Dinda harus buat mereka bangga. Jalani semuanya dengan penuh kesabaran dan keihklasan. Insya Allah Dinda akan bahagia. Perintah mereka merupakan sebuah kewajiban kita seorang aak untuk memenuhinya. Di dunia ini orang tua selalu melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya” kata ukhty. “tapi keinginan Dinda bukan di sini ukhty” keluhku. “ semuanya yang ada di tangan Dinda, kalau Dinda pengen mereka kecewa ya Dinda keluar, tapi kalau Dinda sayang mereka, coba belajar ikhlas. Percayalah semua akan baik-baik saja di sini” sambung ukhty lagi. “terima kasih atas nasehatnya ukhty, Dinda akan berusaha menjadi yang terbaik dan jalani semua ini dengan kesabaran dan keikhlasan” jawabku. “baiklah, semoga Dinda menemukan pilihan terbaik. Ukhty pamit dulu, Assalamualaikum” pamit ukhti “ Wa’alaykum salam ukhti”

Setelah pertemuanku dengan ukhti itu, aku berusaha belajar dari apa yang ia katakana. Minggu-minggu terus berlalu dengan berkat nasehat darinya, aku bisa berfikir jernih. Aku terus berusaha bangkit dengan modal tekad membahagiakan orang tuaku, walau semua berawal dari paksaan, kini aku sadar, itu yang terbaik bagiku ke depan. Tak ada lagi hukuman dan tangisan. Kini hanya senyuman yang tercipta. Aku harap hingga akhir akan selalu seperti ini. Menimba ilmu dengan rasa istiqamah. Kini aku juga bisa menjadi wanita shalehah seperti keinginan mereka. Hingga akhir hayatku nanti.

Dari cerita ini, kita bisa tau bahwa pilihan orang tua itu yang terbaik. Menjalani sesuatu dengan kesabaran dan keikhlasan itu yang terbaik. Jangan pernah mengeluh sebelum mencoba. Dan buat mereka yang engkau sayang merasa bangga dan bahagia.    


Oleh : Aqila Maghfirah Aswir