Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika fajar menyingsing




Suara gemericik tetesan air hujan tampak menghiasi suasana kota, ditambah kicauan burung yang silih berganti, di salah satu sudut kota tampak seorang remaja tanggung sedang melamun dengan ditemani secangkir kopi, dia adalah fatahillah, anak pak imam kampung yang sudah bertahun-tahun mondok di salah-satu pesantren terkemuka yang ada di aceh, namun karena bapaknya sekarang sudah sakit-sakitan, kini remaja terpaksa harus menghentikan pendidikan agamanya, seperti anak pesantren pada lazimnya, fatahillah sering melaksanakan shalat fardhu di masjid dekat dengan rumahnya dan tak jarang ia berdiri di depan para jamaah untuk sedikit memberikan tausiah keagamaan, namun kini ia tak bisa berharap banyak, anak sulung ini sekarang sudah menjadi tulang punggung keluarga mengingat masih ada dua orang adiknya yang masih di bangku sekolah dasar. 

 Di persimpangan kota, tampak banyak kendaraan yang berlalu lalang, di salah satu sudut trotoar tampak sebuah gerobak tua yang sudah mangkal sejak tadi pagi,iya dia fatahillah yang sudah lama menunggu pembeli mie bakso dirinya, dengan hanya berjualan bakso lah selama ini bapak mencukupi biaya pendidikan dirinya, dan sekarang ia baru bisa merasakan bagaimana susahnya mencari uang. Pukul sudah menunjukkan jam enam sore, sekarang ia harus cepat bergegas untuk pulang sebelum hari keburu malam. Fatahillah tetap semangat walau hari ini hanya laku belasan mangkuk di hitung-hitung sudah cukup untuk modal jualan besok, ia tak bersedih karena dagangan kurang laku mungkin ini langkah sukses awal untuk ke depan, di hari selanjutnya, ia kembali bersiap-siap untuk kembali melanjutkan rutinitasnya, hari ini ia sangat bersemangat remaja tanggung ini berharap hari ini lebih baik dari sebelumnya, namun ada hal yang membuat ia bersedih bukan karena barang dagangan yang kurang laku tapi semenjak ia berjualan. 

Kini ia jarang melaksanakan jamaah di masjid karena sibuk berjualan dan anak-anak di sekitar rumahnya pun ikut terbengkalai tanpa ada tenaga pengajar agama apalagi ketika mendengar cibiran dari tetangga sekitar yang awalnya mereka mengharap dengan adanya fatahillah setidaknya mempunyai pengaruh untuk mereka di bidang pendidikan agama namun apa boleh buat kini ia telah menjadi tulang punggung keluarga. Mie bakso... bakso... mampir pak.. mampir buk... . suara fatahillah yang memenuhi jalanan untuk menggoda para pengguna untuk mampir di gerobak mie baksonya, namun sudah beberapa hari ini fatahillah berusaha namun hasilnya tetap sama, kini ia mulai menemui jalan buntu,modal yang semakin menipis di tambah barang dagangan yang tersisa tanpa pembeli, dengan hati sedih. Fatahillah pulang dengan langkah kaki tertatih dengan mendorong gerobaknya, ia pulang menuju menuju kediamannya namun sebelum sampai ke rumah ia terlebih dahulu mampir di masjid yang biasa di imaminya untuk menunaikan shalat ashar, sesuai shalat ia berdoa lalu mencoba menyandarkan punggungnya di tiang masjid untuk beristirahat namun ia malahan tertidur dan bermimpi bertemu sosok guru yang dulu selalu menasehati dirinya selama di pesantren. 

Sang guru bertanya “apa gerangan yang membuat ia bersedih”, ia pun menceritakan nasibnya beberapa waktu ini, sang guru pun menjawab “lain lubuk lain ikannya, dan terkadang rezeki bisa sampai dari jalur yang tak kita duga” pernyataan tersebut sontak membuat ia terbangun dari tidurnya lalu ia mencoba merenungi satu persatu maksud pernyataan gurunya. Bagai si buntung yang mendapat kembali tangannya itulah kiasan yang tepat bagi saat ini, mungkin selama ini ia telah melupakan jati dirinya, bukankah dia seorang santri sudah sepantasnya ia mencoba mengajarkan apa saja yang telah ia pelajari selama ini di pesantren dan bukankah bidang keagamaan merupakan hal yang paling tepat bagi kita santri. Berbenah dari kesalahan, kini fatahillah mulai bersiap-siap untuk memulai kehidupan barunya, dengan mengandalkan teras rumah seadanya kini ia mulai membersihkan untuk dijadikan tempat belajar buat anak-anak TPA kelak ternyata aksi remaja ini mendapat respon yang baik dari masyarakat, warga sekitar juga ikut membantu, semua berjalan sesuai rencana, kini tiba harinya pembukaan TPA yang ia beri nama “al-unowi” . 

hari berganti hari dan sekarang jumlah santri semakin bertambah bahkan sekarang fatahillah butuh beberapa tenaga pengajar pembantu dan tak jarang ia mendapat undangan untuk mengisi ceramah baik di dalam daerah maupun di luar. Dan kini kehidupan perekonomiannya semakin membaik dan Alhamdulillah kesehatan orang tua juga semakin membaik dan dua orang adiknya sekarang sudah dapat mengenyam pendidikan di pesantren. Teman-teman, ternyata begitulah maksud dari “lain lubuk lain ikannya” karena sejatinya tempat bagi kita santri adalah “ beut-seumeubeut” dan terkadang rezeki akan datang dari jalur yang tak kita sangka, yakin saja asal kita mau membantu jalan Allah SWT maka Allah sendirilah yang akan mempermudah urusan kita created by: fikri azizi