Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KITAB-KITAB NAHWU ULAMA NUSANTARA



 

Kitab Mu’jam Nahwi


Kitab ini ditulis oleh Kyai Muhibbi Hamzawie (wafat 2005) ayah dari Zainul Milal Bizawie. Jika Zainul Milal Bizawie adalah penulis karya-karya pengetahuan yang banyak berbincang seputar peneguhan Islam Nusantara, maka Kyai Muhibbi Hamzawie adalah sosok ayah sang penulis sekaligus pengasuh Pesantren al-Amin Kajen. Sebuah tempat di daerah Pati Jawa Tengah yang terkenal dengan keberadaan maqbarah Syaikh Ahmad Mutamakkin atau Kyai Cebolek. 

Kitab ini mengupas nahwu-sharaf dengan format nazhm atau syair yang memakai pola bahar rajaz. Menariknya bahasan dari kitab ini diurutkan sesuai abjad hijaiyyah mulai dari alif sampai ya’. Bila kitab ‘Imrithy yang ditulis oleh Yahya bin Nuruddin Abi Khoir bin Musa al-‘Imrithi as-Syafi’i al-Anshori al-Azhari berisi terdiri 254 bait syair, kitab Alfiyyah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik atau yang lebih populer dengan sebutan Imam Malik terdiri dari 1002 bait syair, maka kitab Mu’jam Nahwi yang ditulis oleh Kyai Muhibbi Hamzawie terdiri dari 8.465 bait syair. Dengan jumlah bait syair sampai delapan kali lipat lebih banyak dari alfiyyah kitab ini tentu memiliki halaman yang cukup tebal. Kitab ini selesai ditulis 21 September 1975.

 

Kitab Tashilul Masalik

Kitab ini memiliki judul lengkap bernama Tashil al-Masalil ila Alfiyah Ibn Malik. Penulisnya adalah ulama nusantara bernama Syaikh Ahmad Abi Fadhol ibn ‘Abdus Syakur Senori atau yang lebih akrab disapa dengan nama Mbah Fadhol yang wafat tahun 1991. Beliau adalah salah satu ulama yang mumpuni dalam bidang ilmu nahwu di nusantara. Kitab Tashil al-Masalik adalah kitab nahwu dengan tema besar penjelasan lebih lanjut atau syarah dari kitab nahwu populer alfiyyah ibn malik. Biasanya referensi syarah kitab alfiyyah yang sering dipakai oleh kebanyakan para pengkaji nahwu adalah kitab Syarh Alfiyyah Ibn Malik karya Imam Ibn ‘Aqil.

Bagi para pengkaji nahwu di Tanah Air, keberadaan kedua kitab tersebut dapat saling melengkapi satu sama lain. Pasalnya, kitab karya Mbah Fadhol ini banyak mengetengahkan berbagai contoh yang lebih aktual yang ada dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Indonesia.

 

Kitab Lam’atun Nuraniyyah

Salah satu kitab nahwu karangan ulama Garut Jawa Barat bernama Syaikh Musthafa Usman. Kitab tersebut berjudul al-Lam’ah al-Nuraniyya yang merupakan bentuk syarah atas salah satu karya Imam Nawawi al-Bantani yang berjudul al-Syadzrah al-Jummaniyyah. Kitab ini adalah kitab tingkat dasar dalam ilmu nahwu, di mana para pengkajinya melalui kitab ini dipersiapkan untuk menaik dari jenjang mubtadi (pemula) menuju mutawasith (lanjutan pertengahan). Namun tampaknya kitab karya Syaikh Musthafa Usman ini belum begitu banyak beredar luas di Indonesia. Masih sedikit kalangan pembelajar atau pengajar yang berkenalan dengan kitab ini. Kitab ini telah diterbitkan di Timur Tengah yakni Mesir. Di antaranya cetakan Mathba’ah Musthafa al-Bab al-Halab Kairo, dengan titi mangsa tahun cetak 1360 H/1941 M. Adapun Jumlah keseluruhan halaman kitab adalah 16 (enam belas) halaman. Cukup tipis dan memang rerata demikian kitab-kitab nahwu untuk para pemula. Sebenarnya sangat menarik meneliti lebih lanjut hubungan antara Syaikh Musthafa Usman dan Syaikh Nawawi al-Bantani. Pasalnya kedua ulama ini saling berinterkasi satu sama lain dalam karya-karyanya. Bahkan dalam muqadimah kitab al-Lam’ah al-Nuraniyya ini Syaikh Musthafa Usman mengatakan bahwa latar belakang penulisan kitab tersebut adalah karena Syaikh Nawawi al-Bantani yang terus mendorongnya untuk membuat syarah atas kitabnya yang berjudul al-Syadzrah al-Jumaniyyah.

 

Kitab Murodul Awamil Mandaya

Kitab ini ditulis oleh Syekh Nawawi Bin Muhammad Ali Bin Ahmad Bin Abu Bakar atau yang akrab disebut dengan Syaikh Nawawi Mandaya, beliau adalah salah satu ulama sufi dan nahwu yang sangat kharismatik di Serang-Banten. Manuskrip tangan kitab ini sudah masuk dalam ruang koleksi naskah Kementrian Agama Republik Indonesia. kitab ini banyak dikaji di beberapa pondok pesantren dan mayoritas santri salaf di nusantara. Dalam hierarki tingkatannya, kitab Murod al-Awamil Mandaya setingkat kitab pemula dalam mengkaji ilmu nahwu. Sebenarnya kitab ini tampak sebagai pengantar untuk memahami kitab al-‘Awamil karya ulama Iran yang bernama Abdul Qahir al-Jurjani. Lebih lanjut kitab al-‘Awamil Mandaya ini lebih fokus membicarakan al-‘Awamil yang secara sederhana diartikan “faktor-faktor”. Maksudnya adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan harakat (fathah, kasrah, dhamah, sukun dan tanwin) akhir suatu kata dalam bahasa Arab. Sebagai pintu awal atau pengantar bagi pemahaman tata bahasa Arab dalam ranah sintaksis, kitab yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Mandaya ini menyebutkan ada 100 faktor (‘amil) dalam Ilmu Nahwu yang dapat berpengaruh terhadap keadaan harakat akhir suatu kata.

 

Kitab Tasywiqul Khillan

Para santri mungkin tidak asing dengan kitab satu ini. Kitab ini ditulis oleh K.H. Muhammad Makshum bin Salim dari Semarang, Jawa Tengah. Kitab ini adalah salah satu karya yang memantulkan citra beliau yang memang memiliki kemampuan handal dalam bidang tata bahasa Arab. Terlebih beliau yang merupakan ulama Tanah Air berasal dari nusantara. Kitab Tasywiqul Khillan merupakan kitab dengan catatan panjang (hasyiyah) atas Mukhtasshor Jiddansyarah Al-Jurumiyah yang ditulis oleh ulama masyhur Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang merupakan guru besar para ulama nusantara yang menetap di mekkah. KH Muhammad Makshum memiliki pandangan bahwa beliau perlu memberikan uraian lebih atas kitab Mukhtasshor Jiddan. KH Muhammad Makshum menyelesaikan kitab Tasywiq al-Khillan pada Jumadil Akhir 1303 H/1886 M. Kitab tersebut memiliki volume halaman dengan jumlah 222 halaman. Meskipun kitab ini ternyata baru dicetak oleh salah satu penerbit Timur Tengah Al-Maktabah Al-Ilmiyah 54 tahun kemudian. Perbedaan pendapat ahli Nahwu disikapi KH. Muhammad Makshum secara bijaksana. Bahkan beliau bukan menegangkan otot syaraf mendukung satu pendapat atau membuang pendapat yang lemah, tetapi justru mengambil keberkahan darinya. Contohnya seperti perihal perbedaan pendapat mengenai huruf jarr ‘Rubba’ di halaman 219 KH Muhammad Makshum mengatakan, “Ulama Nahwu membahas Rubba sebagai huruf jarr kecuali Syekh Kafrawi dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Tetapi kami juga akan membahasnya hanya untuk mengambil keberkahan.”

 

Itulah beberapa kitab nahwu yang ditulis oleh ulama-ulama nusantara. Beberapa di antaranya ada yang masih beredar secara luas namun ada beberapa yang beredar di komunitas terbatas. Kitab-kitab tersebut adalah warisan agung karya leluhur ulama nusantara yang sangat menarik untuk terus dikaji dan dikembangkan baik dalam rangka pembelajaran santri atau dalam kajian ilmiah akademik.

Oleh : Syababulyum (5 A)