Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hijrah Salah Rute




Zaman millennial ini, dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri (mata memang letaknya di kepala, kan?). Para pemuda pemudi sedang marak-maraknya atau istilah kerennya “sedang ngetren” dengan kata yang berslogan “hijrah” (entah mereka ngerti masalahnya entah enggak). Banyak komunitas-komunitas yang bertebaran baik di media sosial atau di lingkungan kita yang berbau hijrah guna mengumpulkan hijrawan dan hijrawati. 

Apakah elok aktivitas-aktivitas begini berada disekitar kita umumnya dimuka bumi?. Saya pribadi 100 persen duper setuju. Nah, tapi ada syaratnya. Hendaknya mereka utamakan yang harus diutamakan dulu, seperti mengaji dan belajar ilmu agama. Lazimnya sebuah komunitas hijrah bagian daripada islam, pasti ada yang mengisi pengajian, tapi harus bagus-bagus memilih guru. Apakah ajarannya menyimpang dari ASWAJA seperti aliran tetangga sebelah, atau malah memilih guru yang bagus, supaya banyak yang mendengar dan memperhatikan.

Perlu digarisbawahi, salah memilih guru adalah satu bencana yang besar. Betapa banyak guru yang pintar didunia ini, tapi tidak semua sejalur dalam kebenaran. Maka mereka harus melaksanakan penyeleksian yang ketat dalam memilih guru seperti apa yang harus dipilih?. Pertama, guru yang beraqidah ASWAJA. Inilah yang harus dulu dan menjadi pondasi utama karena menyangkut tentang keyakinan. Efeknya adalah keyakinan para “followernya” juga (jangan bayangkan instagram atau twitter, manatau guru tersebut tak punya). Contoh orang berhijrah memilih guru berbeda keyakinan gambarannya seperti ini : 

Sebelum hijrah : “ Aku adalah pendosa, doaku seluas buih lautan. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosaku karena Allah Maha Pengampun.”

Sesudah hijrah : ‘ Itu semua syirik!! Kufur!! Bid’ah!! Khufarat!! Semua tidak ada dizaman nabi!! Baca Juga : الجزاء من جنس العمل

Woah! Anda tau sendiri efeknya,kan?  Makanya hati-hati. Maka pilih guru yang ber-ASWAJA.

Kedua, guru yang mengedepankan pembelajaran agama seperti fiqh, tasawuf, dan tauhid. Jangan pilih guru yang mengedepankan jofisa-lah (jomblo fi sabilillah, entah siapa yang pertama kali buat istilah ini?). Pemuda-pemudi islamilah, tegakkanlah hijrahlah, de el el. Bagaimana bisa tercipta unsur diatas kalau ilmu agama belum mumpuni. Dahulukan yang wajib dahulu, lakukan sunnah kemudian. Karena ilmu agama seperti ilmu fiqh, tasawuf dan tauhid menyangkut keseharian kita. Dan jangan depankan salah satu, tetapi kolaborasi kaulah keduanya. Seperti perkataan Imam Malik ‘Barangsiapa yang mempelajari tasawuf tapi tidak mempelajar tasawuf maka fasik. “Barangsiapa  yang mempelajari tasawuf tapi tidak mempelajari fiqh maka dia menjadi zindiq.”

Akhir kata, kami sangat mendukung gerakan hijrah sebagai penyadaran pemuda-pemudi akan Islam, asalkan terpenuhi syarat diatas sehingga tidak disebut sebagai “Hijrah Salah Rute”.


Oleh Said Muhammad Akbar

Kelas 5A