Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kredibilitas Ulama wanita dalam ranah intelektual

 


Seakan agak janggal penyebutan ulama terhadap wanita, seolah hal itu gamang dalam lintasan pikiran, Sebutan ulama dalam banyak komunitas Muslim selama ini hanya ditujukan kepada kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan. Untuk menyebut perempuan sebagai ulama harus ditambahkan “perempuan”, menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”. Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa kaum perempuan dianggap hampir tidak ada yang layak disebut ulama. mereka seolah-olah dianggap tidak memiliki kapabilitas intelektual padahal nyatanya pesantren yang merupakan portal utama dalam pengkaderan ulama, tidak luput mendidik para wanita, namun realita saat ini hampir diberbagai pondok pesantren sangat jarang bahkan tidak ada yang mampu mengaderkan ulama dari kalangan mereka, lantaran mayoritas mereka terlalu terdokrin dengan isu takut tidak beroleh jodoh jika telat menikah, sehingga memadai belajar dengan relatif waktu sesingkat-singkat mungkin, lantas apa yang diharapkan oleh wanita yang mengaduh asa di asrama ilmu agama, meninggalkan halaman tempat semburat kesenangan, meninggalkan keluarga yang tak henti menuai kasih dan cinta, gemerlap dunia yang diabaikan, sebatas untuk dikatakan santriwati sajakah? Atau sebatas ingin menjadi menantu idaman sajakah? Seakan nampak suatu kerancuan disana, dan menyisakan tanda tanya besar, ada apa ? dan kenapa ? memang dengan mondok lebih menjaga diri, namun hanya sebatas itukah? Setahun dua tahun mengenyam ilmu telah terpikat dengan cinta sudah ingin berkeluarga, ini mondok mau mencari ilmu atau mencari teungku? Iyasih, tidak ada yang dapat memungkiri perasaan hati yang kemudian tumbuh merusupi nurani menjulang sampai ke langit sanubari tak ayal perasaan itu mengakar kuat terpatri seakan-akan tidak akan bisa dicabut lagi, tapi ada lebih baiknya menjadi lebih berarti, seorang wanita yang berusaha terus memperbaiki sekaligus meningkatkan kualitas diri, jangan berlarut dengan kebanggaan akan kecantikan yang dapat membuat lelaki manapun kan bertekuk lutut mengiba menuntut cintamu, toh diwaktu dan usia tertentu kecantikan akan sirna tak bermakna, jika ada ilmu berbahagialah, engkau akan berharga dengan keilmuaanmu meski hanya dalam ranah rumah tangga.

Sebenarnya, sangat keliru jika berasumsi bahwa para wanita tidak mempunyai kredibelitas yang memumpuni untuk mendalami ilmu agama yang notabennya beroleh gelar ulama, Fakta-fakta sejarah dalam peradaban awal Islam menunjukkan dengan pasti betapa banyak sesungguhnya perempuan yang menjadi ulama dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan mengungguli ulama laki-laki. Fakta ini dengan sendirinya telah menggugat, membantah anggapan banyak orang bahwa akal perempuan secara kodrat, natural, fitrah atau apapun namanya, lebih rendah dari akal lelaki.

Kaum Muslimin di dunia mengetahui dengan pasti sabda Nabi bahwa Sayyidah Aisyah adalah perempuan paling cerdas dan ulama terkemuka. Al Dzahabi juga menginformasikan bahwa lebih dari 160 ulama laki-laki terkemuka yang berguru kepada Siti Aisyah. Mereka antara lain Ibrahim al-Taimi, Thawus, al-Sya’bi, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Ikrimah dan lain-lain.

Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab-nasab dan hari-hari Arab . Berkata Az-Zuhri “ Andaikata ilmu yang dikuasai Sayyidah Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wassalam dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu sayyidah Aisyah yang lebih utama”. Urwah mengatakan “ aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi Sayyidah Aisyah”. Selain Sayyidah Aisyah, sejumlah perempuan juga adalah para ulama, antara lain Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah binti Umar, Asma binti Abu Bakar, Ramlah binti Abi Sufyan, Fatimah binti Qais dan lain-lain. Mereka adalah guru besar bagi kaum perempuan juga bagi kaum laki-laki. Mereka biasa berdiskusi dan berdebat secara terbuka dengan ulama laki-laki dalam banyak aspek dan untuk menyelesaikan problema kehidupan umat pada masanya


BACA JUGA : MAKAN DENGAN TIGA JARI


Sayyidah Nafisah adalah ulama perempuan yang cemerlang. Imam Syafi’i dan banyak ulama lain hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk mengaji kepadanya. Cicit Nabi ini seorang hafiz, mufassir (ahli tafsir) dan muhaddits (ahli hadits), rajin salat, puasa dan haji sebanyak 30 kali. Pengajian tafsir yang diselenggarakannya di masjid maupun di rumahnya dihadiri ratusan orang yang datang dari berbagai penjuru

Sehingga Perendahan terhadap kecerdasan, keulamaan dan kesarjanaan perempuan, dengan sendirinya, langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, telah merendahkan para istri, putri dan cucu-cicit Nabi, dan perempuan-perempuan mulia yang dihormati berjuta-juta orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam buku-buku biografi ulama, terutama buku-buku biografi periwayat hadis, terdapat sejumlah ulama-ulama perempuan yang memiliki kapasitas dan kredibilitas sebagai informan hadis.  Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya berjudul “Taqrib at-Tahdzib” menyebutkan lebih dari tiga ratus ahli hadis perempuan dari era sahabat, tabiin, dan setelahnya yang terpencar dan tercecer dalam kitab-kitab hadis. Dalam karyanya yang lain, syaikh Ibnu Hajar lebih spesifik membahas ulama-ulama perempuan di abad 8 H. Baik ahli hadis maupun ahli ilmu keislaman lainnya. Salah satu tokoh perempuan ahli hadis (muhadditsat) di abad ke 4 Hijriyah adalah Fathimah binti Abdirrahman bin Abi Shalih al-Harani (312 H)

Fathimah binti Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi, beliau adalah isteri dari Syeikh Alauddin al-Kasani, seorang ulama terkemuka mazhab hanafi sekaligus penulis kitab Bada’i as-Shana’i’ (kitab fikih rujukan dalam mazhab Hanafi). Fathimah belajar fikih langsung kepada ayahnya, Syeikh Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi. Konon, sebelum ia menikah, sejumlah fatwa (dalam madzhab hanafi), diputuskan dan dikeluarkan dari rumahnya dengan tanda tangan dari ayahnya dan fathimah

Ummul Huda Adalah cucu Syaikh Muhibuddin Ath-Thobari atau biasa kita jumpai dalam kitab fikih (Fathul Muin) sebagai Muhib Thobari. Keilmuan Ummul Huda diakui oleh kakeknya dengan bukti kakeknya memberi ijazah. Ijazah adalah wujud pengakuan, biasanya berupa izin mengajarkan kitab pemberi ijazah. Tak tanggung-tanggung, murid Ummul Huda di antaranya adalah Ibnu Zhohiroh, seorang penghafal hadis dan qadhi Makkah di zamannya. Selain dunia mengajar, Ummul Huda juga memiliki buku sejarah yang oleh Imam as-Sakhawi menyebut sebagai buku yang bermanfaat berjudul Tarikh Bani Thabari atau Sejarah Klan Thabari.

Di nusantara Kitab Parukunan merupakan rujukan mayoritas masyarakat, kitab ini ditulis oleh seorang ulama perempuan Banjar, yakni Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis. Fatimah adalah cucu perempuan pertama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan keponakan dari Mufti Jamaluddin. Kitab ini ditulis oleh Fatimah mengikut kepada materi pengajian yang disampaikan oleh kakeknya (Syekh Muhammad Arsyad), beliau diperkirakan wafat pada tahun 1828 dalam usia 53 tahun.

Mungkin hari ini tidak ada yang tidak mengenal sosok Ustadzah yang kredibelnya telah dapat dikategorikan ulama yang terus menekuni baik pengajian diberbagai majelis para wanita, bahkan telah menorehkan lembaran-lembaran ilmu dibeberapa buku, Ustadzah Halimah Alaydrus , Wanita kelahiran Indramayu Jawa Barat tahun 1979, sejak kecil telah mempelajari mendalami ilmu agama di beberapa pesantren menyelesaikan pendidikan formalnya. Darullughah wadda'wah di Bangil-Pasuruan Jawa Timur adalah pesantren pertamanya, kemudian atTauhidiyah Tegal dan alAnwar Rembang Jawa tengah. Pendidikan terakhirnya di Darul Zahra Tarim-Hadhramaut Yaman

Sejumput kesimpulan, pintu menjadi intelektual masih terbuka lebar, bahkan untuk para wanita, tidak menutup kemungkinan dikemudian hari lahir kembali sosok Sayyidah aisyah yang tidak sebatas mulia dengan kecantikan juga kepiawaian bahkan tingkat intelektual yang luar biasa, atau sosok ulama wanita nusantara Fatimah millenial yang mampu menyusun ilmu dalam lembaran-lembaran turats versi zaman now, dan juga penerus estafet ustadzah Halimah Alaydrus dimasa mendatang.