Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dayah & Moderasi Islam

Dayah & Moderasi Islam


majalahumdah.com Tidak bisa terbantahkan lagi bahwa Aceh menjadi tempat awal perkembangan Islam di Nusantara berdasarkan data para ahli sejarah. Terlepas dari pro dan kontra mengenai model dan khas Islam yang datang di kalangan para ahli sejarah. Namun, Azyumardi Azra pakar sejarah Indonesia menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara adalah berdasarkan pada teori Arab berbasis dakwah melalui pintu Aceh bukan karena perdagangan. Kalau pun datang melalui jalur perdagangan, maka itu hanya motif dan gaya (style) dakwah yang dibawakan oleh para ulama dan mubaligh agar Islam bisa diterima melalui jalur tersebut dengan cara luwes dan menjadi perantara agar tersampaikannya Islam baik secara esensial maupun secara substansi.


Hampir bisa disimpulkan, bahwa ‘Dayah’ menjadi salah satu ikon dan ciri khas ke-Aceh-an sebagai lembaga pendidikan yang menjadi pusat transformasi ke ilmuwan kepada para generasi Aceh baik muda maupun tua yang ditinggalkan oleh para pembawa risalah Rasulullah terdahulu. Pada awalnya, dayah menjadi pusat ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan baik dalam bidang agama maupun ilmu pengetahuan umum. Seiring perkembangannya, dayah mengalami pasang surut dengan agresi militer Belanda pada tahun 1873 dan Jepang yang menjajah Aceh. Akibatnya, terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum karena larangan dan ancaman para penjajah belanda. Padahal pada dasarnya dayah adalah lembaga yang mempelajari seluruh aspek ilmu pengetahuan.


Dalam kajian keagamaan, Aceh menganut Mazhab Abu Hasan Al-Asy’ari dalam bidang aqidah/teologi, Mazhab Syafi’i dalam bidang fiqih dan praktek ibadah serta dalam bermuamalah dan akhlak menggunakan metodologi yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali dan Djunaid al-Baghdadi. Jika ditelesuri lebih lanjut, maka tiga model ini menjadi salah satu perpaduan dan landasan cara berpikir moderat dan washathiyyah dalam beragama dan ber-Islam. Tidak berat ke kanan (ghuluw) berlebihan dalam beragama dan tidak pula berat ke kiri yang terlalu mempermudah segala persoalan dalam agama (tasahhul). Dan ‘Dayah’ telah menempuh jalan dan metode ini dalam berdakwah baik dalam kurikulum pendidikan dan mimbar-mimbar khutbah yang membawa kedamaian dan kebaikan, bukan perpecahan.


Perlu digarisbawahi, paling tidak ada enam aspek dan ciri khas  sikap moderasi Islam dan washatiyyah dalam beragama. Pertama, memahami realitas (fiqh al-Waqi’) dalam setiap realitas kehidupan. Kedua, memahami fiqih prioritas (fiqh al-Awlawiyyat), dalam arti memahami tingkatan yang telah ditetapan dalam Islam baik berupa perintah dan larangan. Ketiga, memahami sunnatullah dalam penciptaan dengan melihat graduasi atau penahapan (tadarruj) dalam segala ketentuan hukum alam dan agama. Keempat, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama, di mana hal tersebut telah menjadi metode yang dibawakan oleh al-Quran melalui praktek yang dikerjakan oleh Rasulullah Saw. Kelima, memahami teks-teks keagamaan secara komperhensi, tidak parsial (sepotong-potong) yang akhirnya terjatuh dalam lubang kekeliruan dalam praktek agama. Keenam, terbuka dengan dunia luar serta mengedepankan dialog dan bersikap toleran. 


Semua sikap tersebut, pada dasarnya adalah bentuk aplikatif dari seruan al-Quran untuk menjadi umat terbaik tanpa mempertimbangkan egois pribadi dan bersikap moderat sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan). “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”. (QS. Al-Baqarah: 143). Hadirnya Islam seharusnya menjadi solusi terbaik ditengah gemuruh dan kegaduhan yang terjadi di tengah manusia tanpa pandang bulu serta mampu bersikap netral dalam aspek apapun dan malah menambah masalah dengan hadirnya egoisme pribadi yang justeru merusak citra Islam. Juga sebaliknya, terlalu mempermudah dan menganggap enteng perkara agama pun akan mencerai dan mengotori teks al-Quran dan Sunnah.


Jika ditelisik secara lebih lanjut, maka ‘Dayah’ di Aceh menjadi salah satu representatif Islam washathiyyah dan memiliki ciri khas yang telah disebutkan di atas. Dayah menjadi benteng Islam yang sangat moderat dalam menyikapi berbagai isu dan apa saja yang terjadi di kalangan masyarakat Aceh. sebagaimana halnya Jami’ah Al-Azhar di Mesir menjadi benteng moderasi Islam dalam ruang lingkup dunia secara lebih luas dalam menjaga keseimbangan dan kegagalan pemahaman baik dari sisi kanan maupun kiri. Hal tersebut bisa dilihat dari model dakwah kedua institusi ini, tidak mudah mengkafirkan sampai ada bukti yang nyata, tidak mudah membid’ahkan dan tidak pula terlalu sempit melihat Islam. Praktek tersebut sebagimana telah disebutkan Rasul Saw secara umum dalam redaksi Haditsnya menyebutkan, bahwa “sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan”. (HR. Baihaqi)


Selama ini ‘Dayah’ telah banyak berbuat dalam rangka menanggulangi radikalisme atas nama agama baik dari tingkat bawah hingga tingkat atas. Dayah pula telah mampu menanggulangi paham yang terlalu mempermudah agama dengan hanya menggunakan logika semata tanpa dasar pertimbangan dalil dan istinbath hukum yang telah ditentukan oleh para ulama terdahulu. Sejauh pantauan penulis, di kalangan masyarakat di kampung misalnya, mereka sangat berhati-hati dalam mengkafirkan apalagi membida’ah, bahkan kepada yang berbeda pun dengan mereka. Ini membuktikan suksesnya para ulama ‘Dayah’ mendidik para cendikia dan alumni dayah untuk menebarkan Islam yang penuh kedamaian dan bersifat moderat (washatiyyah) atau dalam terma lain disebut dengan Ahlussunah wal Jama’ah. Dan perlu diketahui pula, bahwa inilah bentuk Islam yang dibawakan oleh para ulama terdahulu ke pulau Nusantara tanpa ada pertumpahan darah dan pemaksaan sedikit pun.


Keseimbangan dalam berbagai sudut menjadikan paham ini diterima oleh kalangan mana pun karena mudah berinteraksi dengan fleksibelitas tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang telah digariskan oleh al-Quran dan Sunnah. Hampir sebagian besar (sawadul a’zham) di dunia ini mengganut teologi yang dibawakan atau diperkenalkan kembali oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ini bahkan seluruh ulama baik dari kalangan muhadditsin dan fuqaha’ pun menganut dua teologi moderat ini. Karena berangkat dari pola pikir dan teologi ini, maka melahirkan nilai dalam penerapan fiqih dan akhlak dan fleksibel. Tetapi jika idelogi dasarnya telah rusak, maka tidak bisa dinafikan akan melahirkan pemikiran dan berimbas pada tindakan frontal yang fundamental sehingga merusak nilai-nilai yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya.


Oleh sebab itu, perlu oleh semua pihak untuk menjaga eksitensi ‘Dayah’ sebagai lembaga tertua dan mempunyai peran penting dalam sejarah Aceh. Jika pun ada kekurangan dan kekosongan  baik dalam paradikma berpikir maupun cara bersikap, maka mari mengisi kekosongan tersebut dengan cakrawala dan intelektual dengan mengedepanakan aspek dialog dan sikap toleran agar terwujudnya Islam yang tasamuh, ta’awun dan tawazun dari berbagai sudut pandang. Dan ‘Dayah’ pun harus terus bersinergi dengan berbagai elemen yang ada di Aceh, baik dengan Perguruan Tinggi maupun eleman pemerintahan dalam bekerjasama mewujudutkan Islam yang ramah dan menebarakan kesejukan sebagai representatif Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. 


Oleh : Tgk Munawir Umar (Imam Masjid di New York, AS berasal dari Aceh Utara)