Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekerasan Bukan Kearifan Pesantren



majalahumdah.com-Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang memiliki tanggung jawab untuk melestarikan khazanah keilmuan para Ulama lewat turats atau kitab kuning yang menjadi warisan berharga bagi dunia Islam. Dari 5 Arkanul Ma'had (rukun-rukun pesantren) sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang, rukun kelima sebuah lembaga pendidikan baru disebut pesantren adalah menjadikan kitab kuning atau dirasat Islamiyah sebagai kurikulum utamanya. Nah, pertanyaannya, bagaimana sebenarnya kitab kuning mengatur pemberian sanksi kepada peserta didik? Apakah dibenarkan untuk melakukan kekerasan?

Ternyata, saat kita membuka penjelasan para Ulama dalam kitab kuning, penerapan sanksi kepada peserta didik memang mengacu kepada sanksi fisik, tidak boleh sanksi dengan cara pengambilan harta. Akan tetapi yang perlu dipahami adalah sanksi fisik yang diberikan kepada peserta didik, dalam bentuk pukulan khususnya harus memiliki beberapa persyaratan. Persyaratan ini menunjukkan pertimbangan kemaslahatan yang ingin dihasilkan lewat penerapan sanksi tidak mengabaikan aspek humanisme dan tidak memberikan pembenaran kepada tindak kekerasan. 

Dalam kitab Hasyiah Jamal 'ala Syarhil Manhaj yang menukil dari Al-Khadim disebutkan bahwa sanksi dalam bentuk pukulan baru dibolehkan ketika mengandung beberapa persyaratan.

(قوله: بنحو حبس وضرب) ولا يجوز بأخذ المال قال في الخادم واعلم أنه إنما يجوز الضرب بشروط أحدها أن لا يكون بشيء يجرح الثاني أن لا يكسر العظم الثالث أن ينفع الضرب ويفيد وإلا لم يجز الرابع أن لا يحصل المقصود بالتهديد، والتخويف الخامس أن لا يكون في الوجه السادس أن لا يكون في مقتل السابع أن يكون لمصلحة الصبي فإن أدبه الولي لمصلحته أو المعلم لمصلحته دون مصلحة الصغير لم يجز لأنه يحرم استعماله في مصالحه التي تفوت بها مصالح الصبي. الثامن أن يكون بعد التمييز اهـ

Artinya; Ketahuilah bahwa pemukulan (dalam penerapan sanksi) baru dibolehkan ketika mengandung beberapa syarat;

a. Tidak memukul dengan sesuatu yang dapat melukai,

b. Tidak meretakkan tulang, 

c. Pukulan itu dinilai bermanfaat dan berfaidah (untuk merubah pelaku). Jika dipastikan tidak ada faidah, tidak dibolehkan untuk memukul,

d. Tidak akan tercapai maksud bila hanya dimarahi atau ditakut-takuti,

e. Tidak memukul di area wajah,

f. Tidak memukul pada tempat yang mematikan,

g. Pemukulan itu dimaksudkan untuk tercapai kemaslahatan bagi anak atau peserta didik, bukan untuk tujuan kemaslahatan orang tua atau guru, dimana haram hukumnya memukul kalau tujuannya bukan untuk menghasilkan kemaslahatan bagi yang dipukul.

h. Sanksi pemukulan hanya dibolehkan bagi anak yang sudah tamyiz.

Apa yang telah dijelaskan dalam Hasyiah Jamal merupakan ketentuan mengikat dalam pemberian sanksi kepada peserta didik. Bahkan dilanjutkan, sanksi yang diberikan harus bertahap, tidak boleh langsung sanksi tegas, akan tetapi harus dimulai dari sanksi yang lebih ringan dulu hingga hal itu tidak mempan, baru dinaikkan ukuran sanksinya.

ولا يجاوز رتبة ودونها كاف قال في الروض بل يعزر بالأخف فالأخف قال في شرحه كما في دفع الصائل اهـ سم

"Tidak dibolehkan sanksi pada level tinggi dimana level di bawahnya sudah memadai. Akan tetapi sebagaimana dalam kitab Ar-Raudh, sanksi itu harus bertahap dimulai dari yang ringan terlebih dahulu sebagaimana bandingannya pada hukum dafa' shail (membela diri)."

Kebijakan dalam pemberian sanksi mengenai bentuk, ukuran dan jenisnya diserahkan kepada yang berwenang, pemimpin, orang tua atau guru. Ada beberapa contoh bentuk sanksi yang dibolehkan yang disebutkan dalam turats selain memukul, yaitu seperti memarahi, menghitamkan muka, menaikkan atas keledai secara terbalik dan mengarak berkeliling di tengah keramaian, dan beberapa contoh lainnya.

Namun perlu diingat, meskipun dalam pemberian sanksi dibolehkan dengan cara memukul asalkan memenuhi kriteria di atas, jika seandainya terjadi sesuatu dalam pengambilan hukuman, pihak yang menghukum wajib bertanggung jawab. misalnya ketika memukul dengan rotan kecil, siswa atau santri meningga, yang memukul terkena kewajiban membayar diyat. Hal ini masuk dalam pengecualian kaidah fikih yang isinya bahwa setiap sesuatu yang dibolehkan, maka tidak dipermasalahkan terhadap apapun konsekuensi yang timbul darinya. 

الرضا بالشيئ رضا بما يتولد منه 

atau dalam redaksi yang lebih tegas,

المتولد من مأذون فيه لا أثر له 

Yang artinya konsekuensi yang terjadi dari hal yang dibolehkan tidak akan dipermasalahkan. Contoh kasusnya seperti berkumur-kumur saat berwudhu secara tidak berlebihan dibolehkan bagi orang yang sedang berpuasa , jika tanpa sengaja tertelan airnya, maka tidak membatalkan puasa. Ini contoh kasus yang menjadi aplikasi kaidah. Namun perlu dipahami, bahwa kaidah ini tidak berlaku pada pembolehan yang maysruth bi salamatil aqibah, pembolehan yang disyaratkan pertanggung jawaban jika seandainya ada akibat yang terjadi dari perbuatan itu. Salah satu hal yang kebolehannya masyruth bisalamatil aqibah adalah sanksi dalam bentuk ta'zir.

Dari uraian di atas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah kekerasan sebenarnya bukanlah kearifan pesantren dan kitab kuning tidak membenarkannya. Ketegasan memang perlu dalam kondisi tertentu, tetapi tidak dengan kekerasan. Kekerasan tidak menghasilkan kemaslahatan. Perubahan yang hakiki untuk memberikan pengaruh merubah seseorang menjadi lebih baik malah terwujud lewat kelembutan dan keteladanan. 

Oleh: Tgk. Muhammad Iqbal Jalil