Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Minimnya Saldo Kasih Dalam Rekening Hati



majalahumdah.com-Pada dasarnya manusia adalah makhluk ekonomi yang tidak akan pernah puas. Setiap kali terpenuhi satu kebutuhan, pasti ada saja kebutuhan lain yang timbul. Akan dikatakan egois ketika seorang individu melakukan pemenuhan kebutuhan dirinya yang dapat merugikan individu yang lain. Sifat ini sangat mendukung terjadinya praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan. Apalagi dalam pikiran masyarakat kita masih ada sisa-sisa suntikan DNA penjajah Belanda yang suka melakukan monopoli.

 Banyak sekali warga yang masih tinggal di tempat yang beratapkan daun kelapa kering, bahkan ada juga yang bernaungkan jembatan. Apakah di era digital yang sangat canggih ini penghuni bangunan berlapis emas itu tidak mampu menyorot mereka yang kekurangan? Ataukah mata dan telinga mereka juga ikut tertambal emas sehingga tidak bisa melihat kesengsaraan dan mendengar rintihan orang-orang yang sedang sekarat. Benarlah perkataan Nabi saw yang tertera dalam kitab Nashaihul 'Ibad halaman 4. Nabi saw bersabda: "Akan datang zaman dimana ummatku akan menjauhi ulama dan fuqaha`. Maka Allah SWT akan menimpakan 3 bala kepada mereka, yaitu; Allah akan mencabut berkah dari apa yang mereka kerjakan, Allah akan memposisikan seorang pemimpin yang dhalim di tengah-tengah mereka, dan Allah akan mengeluarkan mereka dari dunia dalam keadaan tidak beriman. Inilah zaman yang dikatakan oleh Rasulullah, masa dimana posisi pemimpin diisi oleh orang-orang yang dhalim yang lebih mementingkan dirinya ketimbang orang lain.

Allah telah menciptakan rasa kasih sayang dalam hati setiap insan. Namun, dewasa ini rasa itu seakan telah lenyap. Hati manusia sudah dibelenggu oleh pasung dunia sehingga seolah tak punya hati untuk mempedulikan sesama. Tentang ini, Ali bin Abi Thalib ra. pernah menyindir: 

من لم يملك عينه فليس للقلب عنده قيمة

"Orang yang tidak punya mata hati maka orang tersebut tak punya harga diri". 

Imam Ghazali dalam kitab Sirajuth Thalibin mengatakan bahwa hati adalah sumber segala sesuatu, jika hati buruk maka yang lain pun ikut buruk. Jika hati baik, yang lain pun ikut baik. Hati ibarat seorang raja, sedangkan anggota badan diibaratkan sebagai pengikut. Maka apabila rajanya baik, pengikutnya pun akan baik. Jika rajanya buruk, pengikutnya pun akan buruk. 

Terhadap perihal tersebut, kita membutuhkan sebuah busur panah untuk membasminya, yaitu panah kezuhudan dan panah kesadaran terhadap betapa singkatnya dunia ini, dalam artian dunia adalah makhluk ciptaan tuhan yang tidak kekal, sama seperti manusia. Namun, bukan berarti kita tidak peduli tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia, tapi ambil saja sekadar yang kita butuhkan dengan tujuan beribadah kepada Allah Swt. Pada masa modern ini, banyak individu-individu yang semakin buta terhadap lingkungannya. Bahkan untuk menyedekahkan selembar uang ribuan pun terasa berat jika tak ada manfaat yang ia dapat atas pemberiannya. 

Give and Take, begitulah istilah kekinian yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Give artinya memberi, sedangkan Take artinya mengambil. Jika seorang insan sudah melakukan Give, maka dia akan Take pada orang yang ia beri. Begitu juga orang yang Take, mereka dituntut untuk Give pula pada orang yang dia ambil. Seandainya tidak terjadi seperti kurva tersebut, maka seolah hubungan antara orang tersebut dengan orang yang lain terputus layaknya orang asing yang tidak pernah mengenal satu sama lain. 

Besar kemungkinan aturan ini terjadi dalam keluarga sendiri. Terutama dalam keluarga yang tidak pernah meneliti dengan mikroskop agama. Kebanyakan orang-orang yang sukses dalam keluarga tercebut lupa atau tidak tahu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada kedua orang yang sudah mendedikasikan separuh hidupnya agar anak-anaknya berhasil. Aturan itu sangat tampak ketika sedang membahas tentang harta warisan. Sesama saudara pun tragedi seperti pembunuhan tak dapat dielak hanya karena berebut harta. Imam Al-Ghazali mengatakan:

ان النفس لأمارة بالسوء

"Nafsu adalah penyebab terjadinya hal yang buruk".

Begitulah gambaran orang-orang yang tidak pernah menggunakan kacamata agama. Mereka dikalahkan oleh nafsu yang semakin erat membalut rasa kasih sayang. Padahal kasih sayang itu dapat membawakan kebaikan bagi seseorang yang memilikinya. Sebagaimana sabda Nabi yang tercantum dalam kitab Nasaihul 'Ibad, Nabi saw bersabda: “Orang yang penyayang akan disayang oleh Allah Swt. Jadi sayangilah siapa saja yang ada di dalam dunia ini, dan kamu akan di sayang juga di langit”.

Untuk merealisasikan hadits tersebut dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita menyayangi orang lain sebagaimana kita menyayangi diri kita sendiri, membantu kesulitan yang menimpa mereka tanpa mengharapkan balasan, baik dalam ranah materi atau pun non materi. Dan kita harus yakin bahwa Allah Swt akan membalas dengan memberikan kebaikan di dunia dan akhirat. Wallahu A'lam.

Oleh: Tira Nabilla Razali (Santriwati Kelas 5B)