Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sepakat 4 Mazhab; Tidak Boleh Memberikan Sangsi Dengan Cara Mengambil Harta


majalahumdah.com -- Saat ini, banyak sekali ditemukan penerapan sanksi dengan cara pengambilan harta terhadap berbagai bentuk pelanggaran, baik sanksi itu ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat adat, dan termasuk oleh lembaga pendidikan. Pemerintah misalnya, lewat pihak kepolisian menetapkan sanksi bayaran tertentu atas kasus pelanggaran lalu lintas. Dalam masyarakat adat seperti di Aceh, ditemukan juga beberapa sanksi yang berhubungan dengan pengambilan harta, seperti kasus khalwat atau perkelalian yang diwajibkan untuk menyetor kambing untuk disembelih bagi warga desa dengan alasan top malee gampong (menutup rasa malu warga desa), denda atas pembatalan komitmen pertunangan dengan hangusnya mahar jika yang membatalkan pihak laki-laki dan bayaran ganda jika yang membatalkannya pihak wanita (salah agam hana tanyeng le, salah inong lipat dua), demikian juga terdapat beberapa bentuk sanksi finansial lainnya dalam praktik adat gampong dan sebagian lembaga pendidikan.


Dalam Qanun Aceh No 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, begitu juga Qanun Aceh No.10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat, tidak ditemukan satu pasal pun yang secara khusus melarang penerapan sanksi berbentuk pengambilan harta. Sementara penerapan sanksi finansial terhadap peserta didik telah ada fatwa MPU Aceh, No.2 tahun 2019 yang di antara diktum putusannya menyebutkan bahwa "penerapan sanksi finansial bagi peserta didik adalah haram". 


Oleh karena persoalan sanksi finansial atau lebih tepatnya sanksi dengan cara pengambilan harta telah begitu marak terjadi, khususnya di Aceh dalam praktik adat (terlepas hal itu diamini oleh pemangku adat atau tidak), demikian juga denda pembayaran harta juga sering dijumpai dalam aturan pemerintah atau lembaga pendidikan, maka saya merasa tertarik untuk mengajak teman-teman membaca bersama tentang apa yang telah ditulis oleh Syaikh Ramadhan Al-Buthi dalam kitab beliau Muhadharat al-Fiqh al-Muqaran dengan uraian yang sangat lengkap, hujjah yang kuat, dan menyingkap kesamaran dari pembahasan sebagaian peneliti kontemporer yang mencampur-adukkan permasalahan yang memiliki kedudukan hukum berbeda.


Syekh Ramadhan Al-Buthi lebih memilih penggunaan kalimat “Al-‘Uqubat bi Akhz al-Mal” atau “At-Ta’zir bi Akhz al-Mal” yang artinya “Penerapan Sanksi dengan Cara Pengambilan Harta” dalam judul pembahasan beliau ketimbang kalimat yang sering digunakan oleh sebagian kalangan lain dengan bahasa yang umum, “Al-‘Uqubat al-Maliyah” yang artinya “Sanksi Finansial” dimana secara bahasa kalimat ini bersifat multitafsir dan kerap mencampuradukkan beberapa persoalan yang memiliki kedudukan hukum berbeda. Pemilihan kalimat judul yang lebih spesifik dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman pembaca tentang mana yang menjadi fokus kajian dan agar tidak bercampur aduk dengan persoalan lain yang memiliki kemiripan namun di luar dari mahal baths, atau titik fokus yang sedang dikaji.


Fokus dari kajian ini adalah untuk membahas tentang persoalan penerapan sanksi dengan cara mengambil harta yang kemudian bayaran denda tersebut akan dimiliki oleh individu tertentu, kelompok atau negara pada tindakan kriminal atau pelanggaran yang tidak berhubungan dengan pengambilan harta atau tindakan yang memberi dampak kerugian harta bagi orang lain. Misalnya, ketika ada orang yang berkhalwat, didenda dengan membayar kambing untuk disembelih bagi warga desa. Sanksi pengambilan harta seperti itu, menurut Syaikh al-Buthi termasuk hal yang disepakati oleh 4 mazhab tentang keharamannya dan tidak ada perbedaan di sana.


Adapun kasus sanksi finansial yang berbentuk ganti rugi atas perusakan atau penghilangan terhadap harta milik orang lain, pemusnahan harta karena pelanggaran yang berkaitan dengan harta seperti ditumpahkannya susu palsu yang telah dicampuri dengan air di masa Sahabat, atau diambil alih harta seorang pemimpin untuk negara karena dianggap memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya pribadi dan memperoleh harta tersebut dengan cara yang tidak berhak, semua persoalan ini tidak masuk dalam titik fokus dari hal yang sedang dikaji. Titik fokus pembahasan yang disepakati keharamannya adalah terkait penerapan sanksi pengambilan harta terhadap jinayat atau pelanggaran yang bukan berkaitan dengan harta. Dalam hal ini, 4 mazhab sepakat tentang keharamannya.


Dalam mazhab Syafi’i, jelas sekali dapat ditemukan di banyak literatur yang menyebutkan bahwa bentuk hukuman ada 2, had dan ta’zir. Had adalah bentuk hukuman yang sudah ada ketetapannya yang tidak boleh ditambah dan dikurangi. Sementara ta’zir merupakan hukuman yang diserahkan metode dan caranya kepada pemimpin sesuai dengan bentuk kesalahan, pelaku dan aspek lainnya yang menjadi dasar pertimbangan untuk kemaslahatan. Di antara bentuk ta’zir yang dibolehkan adalah dengan dipukul, dipenjara, diasingkan dalam waktu tertentu, diumumkan kepada orang banyak (tayshir), dimarahi dengan kata-kata yang keras (yang tidak sampai pada menuduh), dan beberapa bentuk lainnya yang semuanya berhubungan dengan fisik. Tentu saja semua itu dilakukan oleh pihak berwenang, bukan oleh massa. Dari semua opsi ta’zir yang ada tidak disertakan opsi ta’zir dengan pengambilan harta. Bahkan dalam banyak kitab fiqh Syafi’iyyah tegas disebutkan, ولا يجوز بأخذ المال .


Demikian juga dalam mazhab Maliki sebagaimana yang termaktub dalam kitab Tanwir al-Abshar bahwa tidak boleh ta’zir dengan cara pengambilan harta menurut mazhab. Ibnu ‘Abidin dalam hasyiah beliau Ad-Durr al-Mukhtar ketika men-ta’liq kata al-mazhab menjelaskan bahwa ada yang meriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa boleh bagi Sultan untuk menerapkan denda dengan pengambilan harta. Akan tetapi menurut Ibnu 'Abidin, ini merupakan riwayat yang lemah dari Abu Yusuf, dimana Al-Syurunbulaly mengatakan tidak boleh difatwakan dengannya. Kemudian di samping itu, menurut Al-Bazzaziyah bahwa maksud ta’zir dengan mengambil harta bagi yang berpendapat dengannya adalah menahan sesaat harta tersebut sampai memberi efek jera lalu mengembalikannya, bukan diambil untuk hakim sendiri atau untuk baitul mal sebagaimana dipahami oleh orang yang zalim, karena tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil harta kaum Muslimin dengan tanpa sebab syar’i. Kemudian Ibnu Abidin berkata,”kesimpulannya bahwa sesungguhnya menurut mazhab, tidak dibolehkan ta’zir dengan mengambil harta.” Demikian apa yang disampaikan oleh Ibnu Abidin, Khatamul Muhaqqiqin dalam mazhab Hanafi yang sejajar Ibnu Hajar al-Haitami dalam mazhab Syafi’i.


Hal yang sama juga berlaku dalam mazhab Maliki, bahkan narasi yang disampaikan oleh Ulama mazhab Maliki lebih tegas dari yang lain. Al-‘Allamah ad-Dususki menyampaikan dalam hasyiah-nya atas kitab Syarah Kabir Ad-Dardiri yang men-ta’liq kalimat, wa qad yakunu bi ghairi zalika, sebagai berikut:


( قوله : وقد يكون بغير ذلك ) أي كإتلافه لما يملكه كإراقة اللبن على من غشه حيث كان يسيرا ولا يجوز التعزير بأخذ المال إجماعا وما روي عن الإمام أبي يوسف صاحب أبي حنيفة من أنه جوز للسلطان التعزير بأخذ المال فمعناه كما قال البزازي من أئمة الحنفية أن يمسك المال عنده مدة لينزجر ثم يعيده إليه لا أنه يأخذه لنفسه أو لبيت المال كما يتوهمه الظلمة إذ لا يجوز أخذ مال مسلم بغير سبب شرعي أي كشراء أو هبة


Artinya : ”(Terkadang ta’zir dilakukan dalam bentuk lain), yaitu seperti menumpahkan susu dari orang yang melakukan tipuan padanya jika jumlahnya sedikit, dan tidak boleh melakukan ta’zir dengan cara mengambil harta secara ijma’. Adapun apa yang diriwayatkan dari Abu Yusuf, murid Abu Hanifah yang membolehkan kepada Sultan untuk melakukan ta’zir dengan mengambil harta, maka maksudnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bazzazi, salah seorang ulama mazhab Hanafi, yaitu menahan harta di sisi Sulthan sementara waktu hingga mendapatkan pengajaran, kemudian mengembalikan kepada empunya, bukan mengambil harta untuk dirinya atau untuk baitul mal sebagaimana yang diasumsikan oleh orang-orang yang zalim, karena tidak boleh mengambil harta seorang Muslim dengan selain sebab syar’i seperti membeli atau menerima hibah.”


Hal yang sama juga berlaku dalam mazhab Hambali. Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni-nya setelah menyampaikan beberapa bentuk ta’zir yang dibolehkan menutup pernyataannya dengan mengatakan tidak boleh ta’zir dengan mengambil harta. Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas bahwa mazhab empat telah memiliki satu kesepakatan bahwa ta’zir tidak dibolehkan dengan cara mengambil harta orang yang di-ta’zir yang kemudian harta itu dimiliki oleh pihak lain.


Ada alasan klasik yang sering dijadikan dalih untuk pembenaran pengambilan harta untuk ta’zir, yang ujung-ujungnya membawa alasan kemaslahatan. “Nyoe menyo han ta cok peng, han meujan teugak aturan”, “Hana can nyoe nye hana sie kameng untuk top malee gampong”, dan kalimat-kalimat senada untuk mubarrir tindakan mereka. Apalagi pada kasus Teungku Imum sudah pernah ikut menikmati sie kameng khalwat, maka sangat sulit diberikan pemahaman tentang bagaimana kedudukan hukum sebenarnya


Tgk H Muhammad Iqbal Jalil