Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beut Seumeubeut Untuk Memperteguh Islam Rahmatan Lil Alamin (Refleksi Haul Abon Aziz Samalanga Ke-35)

Beut Seumeubeut Untuk Memperteguh Islam Rahmatan Lil Alamin (Refleksi Haul Abon Aziz Samalanga Ke-35)


majalahumdah.com-Dalam perjalanan sejarah, Samalanga dikenal sebagai salah satu daerah yang menjadi benteng pertahanan rakyat Aceh dalam melawan penjajah. Jika Samalanga dulu melwawan penjajahan, Samalanga zaman now juga benteng  melawan penjajah “modern” alias kejahilan. Salah satu instansi autentik dan sangat berperan dalam melawan penjajahan di Samalanga pada masa lalu, dan menjadi pilar dalam mencerdaskan generasi bangsa adalah lahirnya lembaga Ma’hadul Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudi Mesra) di Mideun Jôk, Kemukiman Mesjid Raya, Samalanga, Bireuen. Dalam sebuah catatan menyebutkan, Dayah MUDI Mesji Raya Samalanga telah berdiri seiring dengan dibangunnya Mesjid Raya oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam yang memerintah tahun 1607-1636 M pada abad ke-16. Dalam rihlah tersebut, Sultan mendirikan sebuah masjid dan masyarakat sekitar menamakan bangunan suci itu dengan sebutan “Mesjid Raya” yang berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus untuk tempat pengajian dan kegiatan keagamaan (Dayah atau Zawiyah). Saat itu, masjid raya yang berlokasi di desa Mideun Jôk tersebut dikelola oleh Faqeh Abdul Ghani. Hingga akhirnya kawasan tersebut dinamakan dengan Kemukiman Mesjid Raya sebagaimana kita kenal saat ini (Mudi Mesra: 2010).

Sebagai institusi agama yang menjadi lembaga sentral pendidikan kala itu, Dayah Mesjid Raya terus berkembang. Menurut penuturan masyarakat sekitar, setelah Syekh Faqeh Abdul Ghani wafat, dayah Mesjid Raya dipimpin oleh banyak ulama secara estafet sehingga semua ulama yang pernah memimpin tidak tercatat dalam literasi sejarah dayah Mesjid Raya. Hingga awal abad ke-19 dibentuklah sebuah lembaga pendidikan dayah atas prakarsa beberapa ulama dari pihak Ulée Balang, yakni Muhammad Ali Basyah yang didukung oleh para tokoh masyarakat setempat. Pada tahun 1927 M dayah ini dipercayakan kepemimpinannya dibawah Teungku Haji Syihabuddin bin Idris. Wafatnya Teungku Haji Syahabuddin bn Idris pada tahun 1935, tongkat kepemimpinan diteruskan oleh keluarga beliau sekaligus adik iparnya sendiri yakni Teungku Haji Hanafiah bin Abbas atau yang lebih dikenal dengan Teungku Abi. Sepeninggal Teungku Abi pada tahun 1959, dayah Mesjid Raya dipimpin oleh menantu beliau, yaitu Teungku Haji Abdul Aziz bin M. Shaleh (Abon Aziz Samalanga).

Perkembangan Dayah MUDI Mesra

Selanjutnya, dibawah kepemimpinan Abon Aziz Dayah MUDI Mesra mengalami banyak perubahan.Keahlian Abon Aziz yang dikenal dengan gelar Al Manthiqi merupakan sosok yang sangat disiplin dan memiliki semangat mengajar yang luar biasa, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun beliau selalu atunsias untuk mengajar murid-muridnya. Maka tidak heran, dalam setiap nasehatnya beliau selalu menekankan satu hal; Béut dan Seumeubéut (Belajar dan Mengajar), dalam kondisi apapun dan dimanapun. Jika tidak mampu seumeubéut (mengajar) maka jangan pernah bosan untuk béut (belajar) sekalipun sudah menjadi pimpinan pengajian dalam komunitas masyarakat. Nasehat “Béut-Seumeuéut” menjadi motivasi bagi segenap murid-murid beliau agar terus membentengi ummat dari bahaya aliran dan paham sesat-menyesatkan dan membahayakan serta menyimpang dari Manhaj Aswaja.

Selama 25 tahun memimpin dayah MUDI, perkembangan dan kemajuan semakin terasa. Santri terus bertambah, baik dari Aceh maupun luar Aceh. Dari segi pembangunan, asrama terus meningkat. Dibawah kepemimpinan beliau yang terus berupaya untuk membina dan melahirkan kader ulama yang mandiri, berkualitas serta mampu menjawab tantangan zaman. Hingga akhrinya, banyak murid beliau yang kembali dalam masyarakat menjadi pimpinan dayah dan ulama besar walaupun sebagian dari mereka telah almarhum, diantaranya Abu Kasem, Abu Panton, Abu H. M. Daud (Abu Leung Angen), Abu BUDI Lamno, Abu Ishak Lamkawe, Waled Nuruzzahri dan masih banyak lainnya. Salah satu ciri khas dayah cabang MUDI adanya label Al-Aziziyah.

Modernisasi Pendidikan Dayah

Setelah Abon Aziz wafat, dengan hasil kesepakatan alumni; dayah tersebut dipimpin oleh salah seorang menantunya yaitu Tgk.  H. Hasanoel Bashry HG atau lebih dikenal dengan Abu Mudi. Di masa kepemimpinannya, dayah Mudi Mesra terus bergerak secara dinamis dalam perubahan zaman. Selama kepemimpina Abu Mudi, Dayah MUDI telah menarik simpati masyarakat Samalanga dan luar daerah untuk memberikan pendidikan anak-anak mereka ke dayah tersebut, sehingga murid-murid yang baru mendaftar di dayah itu melebihi dari kapasitas asrama yang tersedia. Setiap santri baru yang tiba di dayah itu mesti menumpang pada asrama temannya yang telah duluan menjadi santri di dayah tersebut. Ragam terobosan baru Abu Mudi telah berhasil membuat perubahan atau tepatnya revolusi yang tidak pernah dilakukan oleh para pemimpin dayah (tradisional khususnya) di Aceh.

Dalam melakukan modernisasi (tajdid) pendidikan dayah, Abu Mudi berpegang dan bersemboyan dengan qaidah “Al-muhafadhah ‘ala Qadimi ash-Shalih wa al- Akhdu bi al-Jadidi al-Ashlih” (Memelihara hal-hal lama yang bagus, dan mengambil hal-hal baru yang lebih bagus). Perubahan maupun modernisasi yang Abu tempuh tidak menghilangkan nilai lama yang telah dibina dan di bangun pondasi oleh as-sabiqul al-awaalun (ulama yang terdahulu), namun Abu hanya menambahkan pendidikan yang tidak diajari dalam kurikulum dayah dan juga untuk menjawab tantangan zaman yang semakin canggih. Setiap revolusi ataupun modernisasi tentu saja tantangan bukan hanya bersifa eksternal bahkan internal sekalipun dan ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri  untuk dihadapi.

Terobosan baru yang telah berhasil beliau lakukan diantaranya mendirikan Mabna Lughah (Lembaga Bahasa Asing)  baik bahasa Arab dan Inggris, Tahfizul Al-Quran (Bahkan sudah banyak santri yang hafidz 30 Juz), kurangnya publikasi telah menutup informasi bahwa Dayah Mudi Mesra sebenarnya telah melahirkan banyak hafidz Al Quran yang mumpuni. Di samping itu, di MUDI juga telah didirikan sanggar kegiatan seni baik kaligrafi, foto, maupun seni artistik lainnya. Adanya lembaga pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) hingga perguruan tinggi seperti STAI Al-Aziziyah yang didirikan pada tahun 2003.  Dan tahun 2013 sudah berubah menjadi Institut Agama Islam (IAI) Al-Aziziyah Samalanga yang berdiri tegak di seputaran lingkungan dayah dan telah melahirkan banyak alumninya serta telah berkecimpung dalam mendayahkan masyarakat Aceh. Dayah MUDI  kini juga sudah mu’adalah setingkat SMP, Aliyah dan berdirinya Ma’had Aly MUDI (Selevel dengan Perguruan Tinggi) tentunya secara strata pendidikan sudah lengkap. Tentunya ini semua tidak terlepas dari peran Abu MUDI sebagai sosok yang boleh disebut dengan “ Al-Mujaddid” sebagai sosok ulama yang hanya mengenyam pendidikan dayah namun membawa pembaharuan pendidikan di dunia dayah Aceh khususnya.

Walaupun al Mukarram Abon Aziz Samalanga telah tiada selama 35 tahun, jiwa dan semangatnya tetap hadir dalam setiap deru langkah anak rohaninya untuk meng-Aziziyah-kan (Mengangungkan) tanah Serambi Mekkah ini untuk terus melawan penjajahan (baca: kebodohan) sebagaimana telah dibuktikan dalam catatan sejarah Aceh yang megah. Abon Aziz telah membuka ruang bagi generasi bangsa Aceh untuk merdeka secara intelektual baik dunia maupun akhirat. Untuk ini, tiada kata paling indah selain doa dari kami murid-muridmu sang guru. Allahummagfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu ‘Anhu. Al-Fatihah. Amin.

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi,  Penggiat Masalah Keagamaan dan pengurus HUDA dan NU Pijay