Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjadi Mujtahid di Akhir Zaman, Mungkinkah?

Menjadi Mujtahid di Akhir Zaman, Mungkinkah?


majalahumdah.com-Menjadi ulama adalah impian banyak orang. Menjadi ulama berarti menjadi panutan dan rujukan manusia. Kemanapun seorang ulama pergi, berbondong-bondong orang mengikuti. Bahkan jika ia ke pasar, orang-orang akan bangun menghormati. Ini belum berbicara betapa banyak pejabat yang akan mengunjungi dan betapa banyak orang kaya yang menawarkan harta dan materi. Memang, sudah menjadi fitrah manusia menyukai penghormatan dan kekayaan.

Tapi, menjadi ulama tidak gampang. Tidak seperti menjadi sarjana. Untuk mendapatkan gelar sarjana, seseorang hanya perlu bersabar mengikuti pelajaran selama empat setengah tahun di perguruan tinggi. Jika ia pintar sedikit, mungkin ia dapat menyelesaikannya lebih cepat. Tapi untuk menjadi ulama, tidak ada batasan waktu. Bahkan seandainya seseorang berdiam selama puluhan tahun di pesantren juga tidak menjamin ia akan menjadi ulama. 

Apakah untuk menjadi ulama itu sulit?

Pertanyaan ini sebenarnya tidak penting dijawab, bahkan tidak seharusnya ditanyakan. Karena seorang santri yang ikhlas belajar pasti tidak pernah sedikitpun terbesit di dalam hatinya untuk menjadi ulama. Ketekunannya dalam belajar bukan ingin mengejar predikat prestise/wibawa itu. Ia belajar semata-mata karena Allah SWT mewajibkannya untuk belajar ilmu agama. Itu saja.

Namun, karena akhir-akhir ini banyak orang dengan begitu mudahnya mengeluarkan fatwa, dengan gampangnya menjadi pembicara agama, seolah tanpa dosa menyebarkan ilmu-ilmunya yang membawa petaka, rasanya perlu dikemukakan kembali bagaimana seseorang baru disebut sebagai ulama, baru layak memberikan fatwa, apalagi layak untuk menggali hukum sendiri dari sumbernya.  

Ketahuilah, para ulama dahulu kala, seperti sahabat Nabi SAW, tabi’in, Imam Malik ra, Imam Syafi’i ra, Imam Nawawi ra dan lain-lain, sangat hati-hati dalam memberikan fatwa. 

Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Abi Laila, ia berkata: “Aku mengenal 120 sahabat Nabi SAW dari kalangan Ansar. Jika ditanyakan suatu masalah kepada seseorang dari mereka, mereka saling menolaknya sehingga kembali kepada orang yang ditanyakan pada awalnya.”

Atha juga meriwayatkan, “Kalian memberikan fatwa terhadap suatu masalah, padahal jika didatangkan kepada Umar ibn Khattab ra, pasti ia mengumpulkan ahlu badar sebelum memutuskannya.” Sufyan ibn Uyainah menyebutkan, “Orang yang paling berani memberikan fatwa adalah mereka yang paling sedikit ilmunya.

Imam Syafi’i ra ditanyakan suatu masalah dan ia tidak menjawab, kemudian dikatakan baginya, kemudian Imam berkata, “Sehingga aku tahu apakah diamku lebih baik atau menjawab.” Imam Ahmad ibn Hanbal ra juga sering mengatakan “aku tidak tahu” jika ditanyakan sesuatu, padahal ia dapat menjawab pertanyaan itu dengan berbagai pendapat yang diketahuinya.

Imam Malik ra pernah mengatakan, “Siapa yang menjawab suatu masalah, seharusnya sebelum menjawab ia menghadapkan dirinya kepada surga dan neraka, dan bagaimana kesimpulannya, kemudian ia baru menjawab.” Imam Malik ra juga pernah ditanyakan lima puluh perkara, dan ia tidak menjawab satupun. Padahal semua orang sepakat saat itu ia adalah orang yang paling 'alim di Madinah. Masih banyak kalam mereka yang senada dengan kalimat-kalimat di atas. 

Begitulah sebenarnya sikap ulama; orang yang sudah mencapai keilmuan tertinggi. Dalam bidang apapun, orang yang suka petenteng biasanya memang amatiran.  

Nah, berikut ini roadmap (peta jalan) menjadi ulama. Sekalipun kita tidak bercita-cita menjadi ulama, setidaknya tahu petanya. Siapa tahu dengan bersungguh-sungguh menempuh jalannya, Allah SWT memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita.

Ulama Mujtahid Mustaqil

Seseorang yang ingin menjadi mujtahid mutlak mustaqil, ia harus menguasai ilmu-ilmu berikut:

Pertama, mengetahui segala dalil hukum syariat, baik dari Alquran, Hadis, ijmak, qiyas dan apa saja yang dihubungkan dengannya secara terperinci. Ini dapat diketahui dari kitab-kitab fikih.

Kedua, ia harus mengetahui syarat-syarat sesuatu menjadi dalil, dan bagaimana ia bisa menjadi dalil; ia harus mengetahui tatacara pengambilan hukum dari dalil tersebut. Hal ini dapat dipelajari dari usul fikih, artinya, semua bab yang ada dalam ushul fikih harus dikuasainya.  

Ketiga, ia mengerti ilmu-ilmu Alquran; ilmu hadits; nasikh dan mansukh; ilmu nahwu; ilmu bahasa, seperti bayan, badi’, ma’ani, dll; tasrif, perselisihan para ulama dan kesepakatan mereka dengan kadar yang memungkinkannya untuk mengambil hukum dari Alquran dan Hadis, dan ia harus berpengalaman dan terlatih menggunakannya. 

Keempat, ia harus mengetahui fikih, mengenal batasan-batasan ashal dan furu’ masalahnya. 

Siapa yang dapat mengetahui semua hal ini, ia dapat digolongkan sebagai mujtahid mutlak yang mustaqil. Karena ia dapat mengambil hukum sendiri tanpa harus mengikuti orang lain. Imam Nawawi ra dalam kitabnya adab al-fatwa wa al-mufti wa al-mustafti menyebutkan bahwa sudah lama tidak ada ulama mujtahid mustaqil. 

Jika sekaliber beliau saja mengakui tidak ada ulama yang pantas dijadikan ulama mujtahid mutlak mustaqil, lalu bagaimana seseorang dapat mengambil hukum dari sumbernya langsung tanpa mengikuti para ulama, para imam?

Ulama Mujtahid Muntasibin 

Selain ulama mujtahid mutlak mustaqil, ada empat tingkatan ulama lain yang berada di bawah mujtahid mustaqil, yang berhak memberikan fatwa, mereka dikenal dengan muntasibin, yaitu:

1. Mereka yang tidak bertaqlid kepada imamnya, baik dalam mazhab maupun dalilnya. Karena ia bersifat dengan mustaqil. Ulama-ulama dalam derajat ini seperti sahabat Imam Malik ra, sahabat Imam Ahmad, sahabat Daud dan kebanyakan Hanafiyah. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa mereka sebenarnya mengikut mazhab Syafi’i, bukan dalam bentuk taqlid, akan tetapi karena mereka melihat bahwa jalan yang ditempuh oleh mazhab syafi’i termasuk jalan yang tepat, maka mereka mengikuti jejaknya dalam berijtihad. Seperti yang dikatakan oleh al-Sinji, “Kami mengikuti al-Syafi’i, bukan yang lain. Karena kami mendapati kebanyakan pendapat imam Syafi’i itu kuat dan adil, tapi bukan bertaqlid kepadanya.”  

2. Mujtahid muqayyad dalam mazhab imamnya, mereka bebas menetapkan ushul-nya sendiri dengan adanya dalil, akan tetapi dalam berdalil mereka tidak boleh melewati ushul dan kaidah imamnya. 

Syarat mujtahid ini adalah: mengetahui ilmu fikih, ushul fikih, dalil-dalil ahkam secara terperinci; mengerti betul tentang masalik kias; berpengalaman dalam mengambil hukum dan istinbath; sanggup menghubungkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nash dari imamnya dengan menggunakan ushul imamnya. Mereka ini adalah ashabul wujuh bagi kalangan Syafi’iyah. Seseorang yang beramal dengan fatwa orang ini bukan berarti ia taqlid kepadanya, tapi tetap dianggap mengikuti imamnya. Ulama ini terkadang mengambil hukum dari nash tertentu dari imamnya, terkadang tidak mendapatkannya maka ia mengeluarkan hukum berdasarkan ushul imamnya, yaitu ketika ia mendapatkan dalil atas syarat yang biasa digunakan oleh imamnya. Selanjutnya ia dapat berfatwa dengan pendapat itu. Jika imam mempunyai nash terhadap suatu masalah, dan pada masalah lain yang serupa dengan masalah pertama mempunyai nash yang berbeda, maka ashabul wujuh ini membawa nash yang ada pada masalah pertama kepada masalah kedua dan begitu sebaliknya, maka itu dinamakan qaul mukharraj. Tapi syarat baru boleh melakukan hal ini jika antara dua nash itu tidak terdapat perbedaan.

3. Tidak sampai tingkatan ashabul wujuh, akan tetapi mereka ini faqih al-nafs (mempunyai pemahaman yang sangat kuat secara  tabiat bagi maksud sesuatu), menghafal mazhab imamnya, mengerti dalil-dalilnya, mampu menguraikannya, mampu membedakan pendapat yang kuat dan yang lemah, mampu menjelaskannya dengan baik, dan lain-lain. Mereka ini tidak sampai kepada ulama ashabul wujuh karena mereka tidak kekurangan mereka dalam menguasai mazhab seperti layaknya yang dikuasai kalangan ashabul wujuh, atau tidak terlatih dalam hal istinbath seperti mereka, atau keilmuan lain yang dikuasai ashabul wujuh. Golongan ini banyak dari kalangan Ulama mutaakhirin sampai abad keempat hijriah, yaitu mereka yang menyusun kitab-kitab mazhab dan menguraikannya. Karangan mereka adalah kitab-kitab yang menjadi kajian ulama masa kini.

4. Golongan keempat ini mampu menguasai mazhab, menukilnya dan memahami mazhab baik yang jelas (wadhihat) dan yang musykil. Namun mereka ini tidak sanggung menetapkan dalilnya, dan menguraikan kias-kiasnya. Mereka ini dapat dipegang nukilan dan fatwanya selama itu adalah hikayah dari mazhabnya, dari nash imamnya, dan juga penjelasan dari mujtahid-mujtahid dalam mazhabnya. Sesuatu yang tidak didapatkan nukilannya dari mazhab, tetapi ada nukilan yang semakna dengannya, maka boleh baginya untuk menghubungkan hukum diantara keduanya dan berfatwa dengannya. Demikian juga apa yang masuk dalam dhabit mazhab—ia dapat berfatwa dengannya. Jika tidak ada dua keadaan itu, ia harus menangguhkannya sementara waktu, tidak boleh mengeluarkan pendapatnya. Tapi hal ini sangat jarang terjadi, seperti dikatakan imam Haramain, “Terjadi masalah yang tidak dinashkan dalam mazhab, tidak semakna dengan manshus, dan juga tidak masuk di bawah dhabitnya—jarang terjadi.” 

Syarat ulama yang keempat ini adalah faqih al-nafs (mempunyai pemahaman yang sangat kuat secara tabiat bagi maksud sesuatu) dan mempunyai ilmu yang sangat luas dalam fikih. Abu Amar mengatakan, “golongan ini cukup menguasai sebagian besar mazhabnya, yaitu kebanyakan itu ada dalam kepalanya, dan karena ia terlatih, ia bisa menguasai yang lain dalam waktu singkat.”

Itulah empat golongan yang berhak memutuskan hukum dan memberikan fatwa, dan kita boleh berpegang kepadanya. Imam Haramain dan lain-lain memastikan bahwa Ulama ushul (Ushuliyyun) yang sangat mahir menggunakannya dalam fikih, tidak bisa memberikan fatwa apapun dengan semata-mata kemampuannya itu karena disamping ia bisa menguasai ilmu ushul, ia harus juga menguasai bab-bab fikih sebagian besarnya. Oleh karena itu, jika terdapat masalah, ia harus menanyakannya kepada orang lain, dan menghubungi orang-orang yang mengerti hal itu. Ia bukan ahli untuk mengeluarkan hukum, karena ilmu alat yang dipunyainya masih minim, dan lagi tidak menguasai fikih mazhabnya.

Jika ditanyakan, “Seseorang yang menghafal kita-kitab, atau kebanyakannya dalam mazhab, dan ia bukan faqihun nafsi, berarti ia tidak bersifat dengan salah satu keempat tingkatan di atas. Orang awam pun tidak mendapatkan orang lain yang mampu, maka apakah ia boleh dijadikan rujukan?  

Jawabannya, jika di tempatnya tidak ada mufti, ia wajib pergi ke tempat lain yang ada muftinya. Jika itu tidak mungkin, maka ia boleh merujuk masalahnya kepada orang yang mempunyai kekurangan tadi, dan orang itu melihat dalam kitab-kitab mazhabnya yang terpercaya dengan kesahihannya, kemudian menukilkan hukumnya kepada orang awam. Orang awam itu pada hakikatnya mengikuti imam-imam yang ada dalam mazhab.

Masih banyak permasalahan lain yang berkaitan dengan fatwa hukum, yang mesti dipahami oleh banyak orang. Apalagi mereka yang merasa dirinya pengkaji ilmu agama, hanya dengan menguasai sedikit metode penelitian, ia masih sangat jauh untuk memberikan fatwa. Sedangkan kita yang mampu membaca kitab kuning, untuk memberikan fatwa juga berlaku aturan yang sangat ketat. Berdasarkan uraian di atas, kita hanya boleh menukilkan apa yang ada dalam kitab mu’tabarah kesahihannya.

Untuk lebih lengkap dapat dipahami dari Kitab Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti.

Oleh: Tgk. Mahlizar Abdullah (dewan guru senior MUDI Mesra)