Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rabi'ah Al-Adawiyah: Al-Hub Al-Ilahi



Latar Belakang Pemikiran

Sufi wanita terkenal dengan maqam Mahabbah (Cinta Ilahi) adalah Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah. Pemberian nama Rabi’ah dilatarbelakangi oleh sensibilitas keluarganya, sebagai anak keempat dari empat bersaudara, disamping tiga orang putri lainnya, lahir dari keluarga miskin di Basrah. Sedemikian miskinnya, hingga minyak lampu untuk menerangi saat kelahirannya pun tidak punya.

Keadaan keluarganya yang miskin menyebabkan Rabi’ah menjadi hamba sahaya dengan pengalaman penderitaan yang silih berganti. Kemampuannya menggunakan alat musik dan menyanyi selalu dimanfaatkan oleh majikannya untuk mencari harta dunia. Rabi’ah sadar betul dengan keadaannya yang dieksploitasi oleh majikannya tersebut, sehingga selain terus menerus mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang pembantu rumah tangga (budak) selalu memohon petunjuk dari Allah SWT.

Rabi’ah Al-adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai peran yang besar dalam memperkenalkan konsep al-hubb al-ilahi (cinta akan tuhan) khas sufi ke dalam mistisisme dalam Islam. Sebagai seorang wanita zahibah. Dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria salah.

Dalam salah satu riwayat dikatakan, dia adalah seorang hamba sahaya yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan yang diberikan orang lain kepadanya. Bahkan di dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam kehidupan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.

Sebagaimana halnya para zahid sebelum dan semasanya, dia pun selalu diliputi tangis dan rasa sedih. Al-Sya’rani, dalam Al-Tabaqat al-Kubra menyatakan bahwa “dia sering menangis dan bersedih hati, jika ia diingatkan tentang neraka, maka beberapa dia jatuh pingsan; sementara tempat sujudnya selalu basah oleh air matanya” dan diriwayatkan bahwa Rabi’ah terus-menerus shalat sepanjang malam setiap harinya.

Menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu masa adalah seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka dihadapan Rabi’ah, maka ia pingsan lantaran mendengar hal itu. Tiba-tiba setelah beliau siuman dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata “saya mesti meminta ampun lagi daripada cara meminta ampun saya yang pertama”.

Itulah sedikit tentang latar belakang pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah, seorang zahid yang meninggal dunia dalam tahun 185 H. (796M), Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerusalem.

Gagasan

Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan.

Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia banyak beribadah, bertobat dan menjauhi hidup duniawi, dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan ada doa-doa beliau yang isinya tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.

Hal ini dapat dilihat dari ketika teman-temannya ia memberi rumah kepadanya, ia mengatakan; “aku takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi nasehat: “memandang dunia sebagai sesuatu yang hina dan tak berharga, adalah lebih baik bagimu”. Segala lamaran cinta pada dirinya, juga ditolak, karena kesenangan duniawi itu akan memalingkan perhatian pada akhirat.

Kecintaan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Tuhan, antara lain tertuang dalam syair-syair berikut ini:

الهي أنارت النجوم ونامت العیون وغلقت الملوك أبوابھا وخلا كل حبیب بحبیبھ وھذا مقامي بین یدیك

Artinya: Ya Tuhan bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya dan inilah aku berada di hadirat-Mu.

یا حبیب القلب مالي سواكا. فارحم الیوم مذنبا قد أتاكا. یا رجائي وراحتي و سروري. قد ابي القلب أن یحب سواكا

Artinya: Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenangan ku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.

Dan ada pula doa yang terkenal dan yang pernah diucapkan oleh Rabi’ah sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang sufi terhadap Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali untuk merindu dambakan pertemuan dengan Sang penciptanya. Salah satu syairnya pula yang terkenal:

Tuhan

Apapun karunia-Mu untukku di dunia

Hibahkan pada musuh-musuh-Mu

Dan apapun karunia-Mu untukku di akhirat

Persembahkan pada sahabat-sahabat-Mu

Bagiku cukup Kau

Tuhan

Bila sujudku padaMu karena takut neraka

Bakar aku dengan apinya

Dan bila sujudku padaMu karena damba surga

Tutup untukku surge itu

Namun, bila sujudku demi Kau semata

Jangan palingkan wajah-Mu

Aku rindu menatap keindahan-MU

Menurut Rabi’ah, hubb itu merupakan cetusan dari perasaan rindu dan pasrah kepada Allah, seluruh ingatan dan perasaannya tertuju kepada-Nya. Hal ini dapat terlihat dalam gubahan prosanya yang syahdu sebagai berikut:

إلهي ! هذااللیل قد أدبر وهذاالنهار قد أسفر, فلیت شعري أقبلت مني لیلتي فأهنأ أم رددتها علي فأعزي فو عزتك, هذا دأبي ما أحببتني و أعنتني وعزتك لو طردتني عن بابك ما برحت عنه لما وقع في قلبي من محبتك

Artinya: Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama aku Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.

Itulah beberapa ucapan Rabi’ah al-Adawiyah yang menggambarkan gagasannya tentang rasa cinta yang sangat mendalam, memenuhi relung hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, yaitu cinta yang memenuhi seluruh jiwanya, sehingga ia menolak lamaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya hanya milik Tuhan yang dicintainya, dan siapapun yang ingin kawin dengannya, harus meminta izin kepada Tuhan.