Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih
![]() |
Ilustrasi samar tentang sejarah keilmuan bebasis sastra dan data. |
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu cabang ilmu penting dalam khazanah keilmuan Islam yang berfungsi sebagai landasan dalam menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Keberadaan Ushul Fiqih tidak dapat dipisahkan dari dinamika dan kebutuhan umat Islam terhadap pedoman hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial masyarakat.
Sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih bermula sejak masa Rasulullah SAW, meskipun belum dibukukan secara sistematis.
Pada masa sahabat, metode ijtihad seperti qiyas dan ijma’ mulai digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Puncak perkembangan ilmu ini terjadi pada masa keemasan Islam, ketika para ulama besar seperti Imam Syafi’i, melalui karya monumentalnya Ar-Risalah, meletakkan dasar-dasar metodologi Ushul Fiqih secara sistematis dan ilmiah.
Perkembangan ilmu ini terus berlanjut seiring munculnya berbagai mazhab fiqih dan perbedaan metodologi yang memperkaya khazanah pemikiran Islam.
Pemahaman terhadap sejarah dan evolusi Ushul Fiqih sangat penting, tidak hanya untuk mengapresiasi warisan keilmuan Islam, tetapi juga untuk menjawab tantangan hukum kontemporer dengan pendekatan yang relevan dan kontekstual.
1. Periode Awal: Masa Nabi Muhammad ﷺ dan Para Sahabat
Pada abad pertama Hijriah, ilmu ushul fiqih belum dikenal sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Selama Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, semua persoalan hukum diselesaikan langsung oleh beliau melalui bimbingan wahyu.
Dengan demikian, fatwa dan keputusan hukum tidak membutuhkan kaidah-kaidah atau metode istinbat tertentu, karena wahyu menjadi sumber langsung hukum Islam.
Setelah wafatnya Nabi ﷺ, para sahabat mengambil alih peran ijtihad.
Dalam merumuskan hukum, mereka langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits, yang mereka pahami dengan bahasa Arab yang masih orisinal dan murni.
Kedekatan mereka dengan Nabi ﷺ juga menjadi kelebihan tersendiri, karena mereka mengetahui konteks turunnya ayat (asbābun nuzūl) dan sebab munculnya hadits (asbābul wurūd).
Namun, saat itu, kaidah-kaidah ushul fiqih belum dibutuhkan karena orisinalitas bahasa dan pemahaman para sahabat masih sangat kuat.
2. Masa Pasca Sahabat dan Latar Belakang Kebutuhan Ilmu Ushul Fiqih
Seiring berkembangnya wilayah kekuasaan Islam dan bertambahnya jumlah pemeluk Islam dari berbagai bangsa, terjadi percampuran budaya dan bahasa.
Asimilasi ini menyebabkan orisinalitas bahasa Arab mulai terkikis.
Akibatnya, mulai muncul kesalahpahaman dalam memahami nash-nash syar’i.
Kondisi ini mendorong para ulama untuk menetapkan kaidah-kaidah dan batasan bahasa guna menjaga keakuratan pemahaman terhadap nash.
Dari sinilah muncul kebutuhan untuk menyusun ilmu ushul fiqih agar pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits tetap terjaga.
Kodifikasi Ilmu Ushul Fiqih: Lahirnya Sebuah Disiplin Ilmu
Seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam pasca generasi sahabat, masyarakat Muslim menjadi semakin beragam—tidak hanya dari segi bahasa, tapi juga budaya dan pemahaman.
Orisinalitas bahasa Arab sebagai kunci utama memahami nash-nash syar’i pun mulai terancam.
Dalam kondisi seperti ini, muncul kebutuhan mendesak untuk merumuskan kaidah-kaidah hukum yang dapat menjaga orisinalitas pemahaman terhadap Al-Qur'an dan hadits.
Awalnya, ilmu ushul fiqih belum berdiri sebagai disiplin yang mandiri.
Ia tersebar secara tersirat dalam penjelasan para imam mujtahid setiap kali mereka menetapkan hukum.
Para imam seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal sering kali menyebutkan dalil dan cara istinbath (pengambilan hukum) mereka dalam fatwa-fatwanya.
Namun, semua itu masih berupa penjabaran spontan yang belum terhimpun secara sistematis.
Barulah sekitar dua abad setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, muncul inisiatif untuk mengkodifikasi kaidah-kaidah tersebut secara tertib dan ilmiah.
Sosok yang paling dikenal sebagai pelopor usaha monumental ini adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H).
Melalui karyanya yang terkenal Ar-Risalah, Imam Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih untuk pertama kalinya dalam bentuk kitab yang sistematis, lengkap dengan dalil, penjelasan logis, dan metodologi pengambilan hukum.
Karya ini menjadi tonggak penting dalam sejarah keilmuan Islam, sehingga beliau dijuluki sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih.
Meski sebelumnya ada ulama seperti Imam Abu Yusuf yang konon telah menulis karya dalam bidang ini, namun tidak ada naskah karyanya yang sampai ke tangan kita. Sebaliknya, Ar-Risalah menjadi warisan nyata yang hingga kini terus dikaji dan dijadikan rujukan dalam dunia keilmuan Islam.Mazhab-Mazhab Penulisan Ushul Fiqih
Seiring berkembangnya ilmu ini, para ulama dari berbagai mazhab mulai menyusun kitab-kitab ushul fiqih dengan pendekatan yang beragam.
Lahir dua mazhab besar dalam penulisan ushul fiqih: mazhab teolog (ahlu al-kalam) dan mazhab Hanafi.
Mazhab teolog yang diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, mengedepankan pendekatan rasional.
Mereka menyusun kaidah ushul fiqih dengan bukti logis yang didukung oleh dalil-dalil syar’i.
Karya-karya penting dari mazhab ini adalah Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali dan Al-Minhaj karya Imam al-Baidhawi.
Di sisi lain, mazhab Hanafi menempuh jalan berbeda.
Mereka menyusun kaidah-kaidah ushul berdasarkan pada pengamatan terhadap praktik ijtihad para pendahulu mereka.
Dari berbagai masalah cabang (furu') yang telah dihukumi, mereka mengidentifikasi pola dan menarik kaidah-kaidah ushul darinya.
Kitab-kitab penting dari pendekatan ini adalah Ushul oleh Abu Zaid al-Dabusi dan Fakhrul Islam al-Bazdawi, serta Al-Manar oleh al-Hafidz an-Nasafi.
Munculnya Dua Arus Besar dalam Ushul Fiqih
Setelah wafatnya generasi sahabat dan menyebarnya Islam ke berbagai penjuru dunia, dinamika sosial dan intelektual umat Islam pun mengalami perubahan yang signifikan.
Muncul kebutuhan mendesak untuk membakukan metode penetapan hukum agar tetap konsisten dan terjaga otoritasnya.
Dari sinilah kemudian lahir dua arus besar dalam pendekatan ilmu ushul fiqih, yaitu Madrasah Ahlu al-Hadits dan Madrasah Ahlu al-Ra’yi.
Madrasah Ahlu al-Hadits, yang banyak berkembang di Hijaz (khususnya Madinah), dikenal dengan pendekatan yang sangat tekstual.
Para ulama dalam aliran ini sangat berhati-hati dalam menetapkan hukum dan cenderung membatasi diri hanya pada apa yang secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Mereka menolak untuk terlalu jauh menggunakan rasionalitas dalam memahami teks, karena khawatir akan menyimpang dari maksud syariat yang sebenarnya.
Dalam pandangan mereka, keselamatan dalam beragama terletak pada berpegang teguh pada nash.
Sebaliknya, Madrasah Ahlu al-Ra’yi, yang berkembang di Kufah dan wilayah Irak, lebih menekankan pada penggunaan akal dan logika dalam menggali hukum.
Mereka tetap merujuk kepada Al-Qur’an dan hadits, namun juga membuka ruang yang lebih luas bagi ijtihad, qiyas, dan pertimbangan kemaslahatan umat.
Mereka berpendapat bahwa teks tidak selalu mencakup semua situasi, maka akal sehat yang terikat pada prinsip-prinsip syariat perlu diaktifkan sebagai alat bantu dalam menetapkan hukum.
Kedua aliran ini pada dasarnya lahir dari semangat yang sama: menjaga kemurnian syariat dan menjawab tantangan zaman.
Namun, perbedaan pendekatan ini menimbulkan diskusi panjang di kalangan ulama, yang justru menjadi pemicu berkembangnya ilmu ushul fiqih sebagai ilmu yang utuh dan terstruktur.
Dalam upaya menjembatani perbedaan itu, para ulama kemudian mulai menyusun kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip yang bisa memadukan dalil wahyu dan pertimbangan akal secara harmonis.
Dari dinamika ini, ilmu ushul fiqih berkembang bukan hanya sebagai alat penggalian hukum, tapi juga sebagai medan diskusi ilmiah yang subur dalam sejarah peradaban Islam.
Metode Kombinasi: Menyatukan Rasionalitas dan Tradisi
Tidak semua ulama terpaku pada satu pendekatan.
Beberapa tokoh besar memilih untuk menggabungkan kekuatan dua metode di atas—menggunakan pendekatan rasional dalam menyusun kaidah, sekaligus menelusuri praktik ulama terdahulu dalam menetapkan hukum.
Dari kombinasi ini lahirlah karya-karya monumental yang menjembatani perbedaan dan memperkaya khazanah ushul fiqih.
Beberapa karya masyhur dari pendekatan kombinasi ini antara lain Badi’u an-Nidzam oleh Mudzaffarudin al-Baghdadi al-Hanafi, At-Taudhih li Shadr as-Syari’ah dan At-Tahrir oleh Kamal bin al-Hamam, serta Jam’ul Jawami’ karya Tajuddin as-Subki.
Kitab-kitab ini tidak hanya menjelaskan teori ushul fiqih, tapi juga menerapkannya dalam persoalan-persoalan fikih praktis secara konkret.
Karya-Karya Kontemporer Ushul Fiqih
Memasuki era modern, para ulama kontemporer turut melanjutkan tradisi keilmuan ini.
Mereka menulis dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh generasi kini, tanpa kehilangan kedalaman ilmiah.
Beberapa kitab kontemporer yang direkomendasikan antara lain Irsyad al-Fuhul karya asy-Syaukani, Ushul al-Fiqh oleh Muhammad Khudhari Bik, dan Tashilul Wushul ila ‘Ilm al-Ushul karya Muhammad Abdurrahman ‘Id al-Mahlawi.
Kitab-kitab ini menjadi jembatan penting bagi pelajar dan pencari ilmu untuk memahami ushul fiqih dengan pendekatan yang lebih kontekstual.