Hakikat Perang dalam Islam: Antara Ketegasan dan Kemanusiaan
![]() |
Ilustarasi Perang yang dilalui umat Islam. |
Perang merupakan kenyataan dalam sejarah peradaban manusia.
Setiap bangsa dan agama memiliki narasi tersendiri tentang bagaimana perang dipandang dan dijalankan.
Dalam Islam, perang bukanlah tujuan utama, melainkan jalan terakhir ketika perdamaian tak lagi memungkinkan.
Hakikat perang dalam Islam bukanlah untuk menebar kekacauan, tetapi sebagai upaya menegakkan keadilan, membela diri, dan menjaga kemanusiaan.
Artikel ini akan membahas hakikat perang dalam Islam dari sisi historis, teologis, serta nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi landasannya.
1. Islam dan Paradigma Damai
Sebelum membahas lebih jauh mengenai perang, penting untuk memahami bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai perdamaian.
Bahkan, kata Islam itu sendiri berasal dari akar kata “s-l-m” yang berarti damai.
Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai “rahmatan lil ‘alamin”—rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya: 107).
Dalam konteks ini, Islam tidak datang membawa permusuhan, melainkan membawa perdamaian universal.
Al-Qur’an pun menegaskan bahwa perdamaian harus diutamakan selama musuh tidak memerangi atau mengusir umat Islam:
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah." (QS. Al-Anfal: 61)
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam selalu membuka pintu damai dan tidak memaksakan konflik.
2. Perang sebagai Jalan Terakhir
Perang dalam Islam tidak pernah dipandang sebagai tindakan agresif untuk memperluas wilayah atau memaksakan keyakinan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa perang hanya dibenarkan dalam dua keadaan utama: membela diri dari serangan dan membela orang yang tertindas.
"Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka." (QS. Al-Hajj: 39)
Ayat ini merupakan izin pertama untuk berperang setelah bertahun-tahun Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya mengalami penindasan di Makkah tanpa melakukan pembalasan.
Izin ini datang sebagai bentuk pembelaan diri, bukan agresi.
3. Tujuan dan Batasan Perang dalam Islam
Perang dalam Islam memiliki batas-batas yang sangat ketat.
Tujuannya bukan untuk menumpahkan darah, tetapi untuk menegakkan keadilan dan menghentikan kezaliman.
a. Tidak Menyerang Lebih Dulu Tanpa Alasan yang Sah
Perang tidak boleh dilakukan kecuali sebagai bentuk pertahanan atau respon terhadap agresi nyata.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Baqarah: 190)
b. Perlindungan terhadap Warga Sipil
Rasulullah ﷺ secara tegas melarang pembunuhan terhadap wanita, anak-anak, orang tua, petani, dan orang-orang yang tidak ikut serta dalam perang.
Dalam banyak hadis disebutkan:
"Janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan janganlah kalian menebang pohon atau membunuh binatang kecuali untuk dimakan." (HR. Abu Dawud)
c. Larangan Merusak Lingkungan dan Properti
Islam melarang pembakaran pohon, penghancuran rumah, tempat ibadah, atau sumber air selama perang.
Ini menunjukkan Islam menjaga keseimbangan ekologis bahkan dalam konflik.
d. Tawanan Perang Diperlakukan Manusiawi
Tawanan perang dalam Islam tidak boleh disiksa.
Mereka harus diberi makanan, minuman, bahkan diberi pilihan untuk menebus kebebasan mereka atau diajari untuk kemudian dibebaskan.
"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan." (QS. Al-Insan: 8)
4. Jihad: Antara Spirit Perjuangan dan Kesalahpahaman
Istilah jihad sering kali disalahartikan sebagai “perang suci”.
Padahal secara etimologis, jihad berarti “berjuang” atau “berusaha keras”.
Dalam konteks perang, jihad hanya salah satu cabangnya, yaitu jihad fi sabilillah—berperang di jalan Allah dengan syarat-syarat yang sangat ketat.
Bahkan, dalam banyak hadis, jihad yang paling utama bukanlah perang fisik, melainkan:
"Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud)
"Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu." (HR. Baihaqi)
Ini menunjukkan bahwa Islam memandang perang fisik sebagai jihad kecil, sedangkan perjuangan moral dan spiritual sebagai jihad besar.
5. Sejarah Perang dalam Islam: Perang sebagai Pembelaan
a. Perang Badar (2 H)
Perang pertama umat Islam, yakni Perang Badar, terjadi bukan karena ambisi ekspansi, tetapi sebagai upaya membalas serangan dan penyitaan harta kaum Muslimin oleh Quraisy.
Dalam perang ini, pasukan Muslim hanya berjumlah sekitar 313 orang melawan 1000 pasukan Quraisy.
Kemenangan umat Islam menjadi bukti bahwa Allah menolong orang yang berjuang karena kebenaran.
b. Perang Uhud (3 H)
Perang Uhud terjadi sebagai balasan Quraisy terhadap kekalahan mereka di Badar.
Islam kembali berperang sebagai bentuk pertahanan.
c. Perang Khandaq (5 H)
Dalam perang ini, pasukan Muslim membangun parit untuk bertahan dari serangan koalisi besar kafir Quraisy dan sekutunya.
Strategi pertahanan yang dipilih menunjukkan Islam tidak mendorong agresi.
d. Fathu Makkah (8 H)
Ketika akhirnya Rasulullah ﷺ berhasil merebut Makkah, beliau tidak membalas dendam kepada musuh-musuh lamanya.
Bahkan beliau berkata:
"Pergilah kalian, kalian semua bebas." (HR. Baihaqi)
Ini merupakan contoh keagungan moral Islam dalam konteks kemenangan perang.
6. Perang dan Konteks Politik Kekinian
Sayangnya, istilah jihad dan perang dalam Islam sering disalahgunakan oleh kelompok ekstrem untuk melegitimasi kekerasan.
Padahal, segala bentuk terorisme, pembunuhan terhadap sipil, dan bom bunuh diri bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Majelis Ulama Indonesia, Dar al-Ifta’ Mesir, dan berbagai lembaga keislaman dunia telah berulang kali menegaskan bahwa perang dalam Islam tidak dapat dilakukan tanpa otoritas yang sah, tujuan yang jelas, serta mengikuti prinsip-prinsip syariat.
Islam tidak mengenal perang untuk balas dendam pribadi, kekerasan terhadap non-kombatan, atau paksaan terhadap non-Muslim untuk masuk Islam.
7. Islam Menjaga Hak Minoritas Saat Perang dan Damai
Islam memiliki prinsip luar biasa dalam melindungi non-Muslim di wilayah Islam.
Mereka disebut ahl dzimmah—kaum yang dilindungi.
Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:
"Barang siapa menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang tinggal di negara Islam), maka aku menjadi lawannya di Hari Kiamat." (HR. Abu Dawud)
Prinsip ini tetap berlaku bahkan di masa perang, ketika musuh-musuh Islam tetap dilindungi hak-haknya jika mereka tidak memusuhi secara langsung.
8. Perdamaian sebagai Puncak dari Perang
Tujuan akhir dari setiap konflik dalam Islam adalah perdamaian.
Rasulullah ﷺ sendiri menandatangani banyak perjanjian damai selama hidupnya, termasuk Perjanjian Hudaibiyah yang terkenal sebagai bentuk diplomasi luar biasa.
Meski perjanjian itu terasa “merugikan” secara politik, Nabi ﷺ menerimanya demi perdamaian jangka panjang.
Perjanjian itu membuka jalan bagi tersebarnya Islam ke seluruh Jazirah Arab, membuktikan bahwa strategi damai lebih efektif daripada perang dalam menyebarkan kebaikan.
9. Hikmah Perang dalam Perspektif Akhirat
Dalam Islam, perang tidak hanya dilihat dari sudut pandang duniawi, tetapi juga ukhrawi.
Seorang prajurit Muslim yang gugur dalam perang sah disebut syahid.
Namun, syahid bukanlah “karcis otomatis” menuju surga, sebab motif di balik partisipasi dalam perang sangat menentukan.
Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan bahwa seseorang yang mati dalam perang tetapi berniat untuk ketenaran atau duniawi, maka ia tidak akan memperoleh pahala syahid.
Islam mengajarkan bahwa niat dan akhlak tetap menjadi dasar utama dalam setiap tindakan, termasuk perang.
10. Kesimpulan: Islam Bukan Agama Perang, Tapi Agama Keadilan
Jika ditelaah secara menyeluruh, perang dalam Islam bukanlah instrumen agresi, melainkan jalan terakhir untuk mempertahankan hak, membela diri, dan menjaga perdamaian.
Islam menetapkan etika yang ketat dalam perang, menunjukkan bahwa agama ini bukan hanya religius, tetapi juga sangat humanistik.
Perintah perang dalam Islam datang bukan karena dorongan kebencian, tetapi karena semangat keadilan dan perlindungan terhadap yang lemah.
Dan ketika musuh menawarkan perdamaian, Islam mewajibkan umatnya untuk menerima.
Dalam dunia yang penuh konflik dan distorsi makna jihad, penting bagi umat Islam untuk kembali kepada prinsip-prinsip syariah dalam memahami hakikat perang.
Sebab, perang yang tidak berlandaskan pada nilai-nilai Islam hanya akan membawa kehancuran, bukan kemenangan.