Kenapa Banyak Orang Susah Berpikir Kritis? Salah Satunya Karena Kecanduan Kartun Receh
![]() |
jujur saja, kita hidup dilingkungan yang makin lama makin sulit buat melahirkan orang-orang dengan cara berpikir kritis.
Bukan karena kurangnya pendidikan / sekolah atau gak punya gelar, tapi karena mindsetnya mentok di hal-hal yang gak relevan dan cendrung dangkal.
Salah satu penyebab paling kelihatan? konten receh yang dikonsumsi setiap hari.
Bayangkan, tiap hari diguguhin video singkat 5-7 menit ( atau bahkan lebih cepat), penuh suara, efek, dan senasi.
Otak kita jadi terbiasa dimanjakan.
maunya yang gampang, cepat, dan gak perlu mikir dalam.
Lama-lama kemampuan buat baca dan mencerna informasi berat menjadi tumpul.
Pas disuruh baca artikel panjang atau diskusi soal topik penting, langsung bosan.
Bahkan ketika pakai media seperti aplokasi Quora atau baca buku, otak udah keburu lelah.
Kita jadi lebih cepat menyerah, kurang sabar dalam proses berpikir, dan maunya semua selesai dalm sekali swipe.
sejatinya, manusia diberikan kebebasan untuk berpikir, namun ada batasnya.
pernyataan ini didukung oleh dalil:
تفكرو فى خلق الله و لا تتفكر فى ذات الله
“Berpikirlah tentang ciptaan Allah (makhluknya) dan jangan berpikir tentang zat Allah.”
Bahakan Al-Qur’an sendiri mengapresiasikan (mendukung) manusia yang mau menggunakan akalnya untuk berpikir.
Allah SWT berfirman dalm Al-Qur’an:
هل يستوى الذين يعلمون و الذين لا يعلمون
“Apakah sama kedudukan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu”
Opini Marsa
Kalimat kata هل yang ada dalam penggalan ayat tersebut adalah istifham inkari, yaitu berupa pertanyaan namun digunakan untuk mengingkari (meniadakan), sehingga ayat tersebut bermakna “tidaklah sama kedudukan orang-orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.”
Dan Al-Qur’an juga memerintahkan manusia untuk berfikir, berfikir, dan berfikir. Seperti firman-Nya
افلا تعقلون, افلا تعقلون , افلا تعقلون .
Bahkan sudah menjadi sesuatu yang lumrah kita jumpai dalam literatur (tulisan) kitab klasik maupun kontemporer (sekarang atau modern) kalimat yang berbunyi “تامل” yang artinya “pikirkanlah”.
Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sangat memperhatikan dan menekankan penganutnya untuk berfikir, sehingga banyak pemikir Islam klasik maupun kontemporer yang merumuskan kaedah atau tatacara untuk berpikir yang logis dan benar yang dikenal dengan “ilmu mantiq” (ilmui logika).
Namun mengapa masih ada orang-orang yang gagal dalam berfikir secara kritis?
Ada beberapa hal yang membuat orang-orang gagal menjadi pemikir kritis:
1. Mikir memakai nafsu bukan logika.
Banyak orang bukan tidak bisa berpikir kritis.
Hanya saja mereka tidak mau.
Tiap ada diskusi dikit-dikit nyambunginnya ke hal yang (maaf cakap) mesum, konspirasi absurd, atau joke yang tidak relevan.
Diskusi soal pilihan hidup dijawab dengan asumsi yang menyeleneh.
Bahas kok perempuan? Diserang pake argumen misoginis zaman batu.
(“Perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi, paling juga ujung-ujungnya kerja di dapur.”
“Perempuan itu tugasnya nurut sama suami, titik.”
“Kalau perempuan dilecehkan pasti karena bajunya terbuka.” “Laki wajar aja kalo selingkuh.
Nalurinya begitu, tapi perempuan kalo selingkuh itu murahan.”
“Perempuan kalau kerja keras, nanti jadi maskulin dan gak menarik”)
2. Terlalu lama dimanjakan dengan konten receh.
Ini serius! Nonton reels, video editan lucu tiap hari bikin otak candu dopamin instan.
Kita seperti sedang “memuaskan diri sendiri” secara mental tanpa sadar. Istilah kasarnya “masturbasi otak.”
3. Edukasi hafalan, bukan nalar
Dari kecil kita diajari buat nurut, bukan bertanya.
Jadi pas gede, dikasih perspektif baru malah ngamuk. Gak bisa bedain mana yang opini, mana yang fakta.
Semua dikira serangan pribadi, padahal cuma diskusi biasa.
4. Malu yang salah tempat.
Banyak banget yang takut kelihatan salah, jadi lebih memilih ngehina orang lain daripada mengaku kalau pendapatnya lemah.
Ketimbang debat sehat, mereka milih buat ngelawak atau bawa-bawa hal lain yang sama sekali gak nyambung.
5. Echo chamber atau anti perspektif baru.
Terjebak di lingkungan yang infonya itu-itu aja bikin kita defensif.
Pas dikasih info atau sudut pandang yang beda, responnya nyolot, bukan mikir.
Bukan karena salah, tapi karena gak terbiasa dengar sesuatu yang beda.
Terus solusinya apa?
Gak ada yang instan.
Tapi kalau mau keluar dari pola pikir cetak dan candu konten yang gak bermutu, bisa mulai lakuin hal-hal yang kecil:
· Kurangi konsumsi konten receh. Pilihlah tontonan yang ngajak buat mikir, bukan cuma ketawa.
· Latih diri buat baca. Iya, baca. Entah artikel, buku, atau diskusi panjang.
· Jangan takut buat nanya. Bukan berarti bodoh, tapi itu cara bikin kita berkembang.
· Coba dengerin orang lain dengan niat paham, bukan menyerang.
· Upgrade lingkungan pertemanan. Carilah orang yang suka diskusi sehat, bukan debat kusir (perdebatan yang tidak logis, tidak produktif, dan sering penuh emosi).
Kalau lingkungan kita masih dipenuhi dengan orang-orang yang malas mikir, gampang tersinggung, dan kecanduan tontonan cepat, ya jangan heran kalau kita mentok terus dalam hal kualitas obrolan dan keputusan.
Sebelum nyalahin sistem atau orang lain, tanyain dulu: “udah sejauh mana kita upgrade cara mikir kita sendiri?”
Menurut saya, anda tahu dan paham tentang hal ini.
Namun kalau anda, saya, atau kita tahu akar masalahnya, kenapa masih banyak yang nyaman hidup begitu?
Karena hari ini, lingkungan atau bahkan dunia gak cuma bising tapi juga penuh dengan ilusi.
Terlalu banyak konten, terlalu banyak omongan, terlalu banyak sok tahu, tapi minim kesadaran. Kita dibentuk dalam sistem yang ngerangkum dalam definisi sempit—patuh; baik, dan kritis; pembangkang.
Sejak kecil disuruh buat nurut, bukan paham.
Makanya pas udah gede dikasih perspektif baru malah ngegas.
Dan saat semuanya serba PopMie (instan) —konten, validasi, hiburan— otak kita pelan-pelan dimiskinkan.
Gak lagi penasaran, gak lagi tahan sama yang namanya proses.
Maunya serba langsung: paham dalam 30 detik, sukses 3 bulan—pintarnya cuma dari scroll.
Alhasil, bukan cuma kemampuan pikir yang rusak, tapi juga nurani dan logika.
Standar baik-buruk bukan lagi soal benar-salah, tapi rame-gaknya.
Yang viral dianggap patut ditiru, yang diam dianggap gak relevan.
Sekarang bukan lagi era akal sehat, tapi era siapa yang paling ramai suaranya.
Lebih mirisnya lagi, banyak yang sok ngerasa paling benar cuma karena mereka berada di pihak mayoritas.
Padahal, mayoritas bukan jaminan kebenaran. Dampaknya yang mikirnya beda malah di-bully.
Yang mau cari tahu esensi, dicap ribet. Yang berani nanya, dibilang sok pinter, caper, cari validasi, dan yang paling tololnya orang-orang ini dianggap “pikmi”—mereka salah mengartikan arti “pikmi”.
Padahal “pikmi” sendiri adalah bahasa slang (bahasa gaul) yang dipakai kepada orang-orang yang mencari perhatian secara tidak sehat (tidak wajar).
Apakah “bertanya” adalah hal yang tidak wajar? Apakah kita lupa dengan pepatah “malu bertanya sesat di jalan”?
Jadi mau sampai kapan kita jadi begini terus?
Kalau persepsi benar-salah bisa di manipulasi, dan otak kita sudah kecanduan hiburan cepat saji, maka berpikir kritis bukan lagi soal keahlian, tapi bentuk perlawanan.
· Perlawanan terhadap konten-konten kosong.
· Perlawanan terhadap logika PopMie (instan).
· Perlawanan terhadap budaya “asal rame asal jadi”.
Kritik dan mikir itu tindakan berani.
Dan di zaman ini, berani mikir itu udah termasuk revolusioner.
Saya gak ngajak semua orang buat jadi intelektual atau filsuf, tapi setidaknya, jangan asal angguk aja.
Jangan cuma nyinyir pas liatin debat bodoh.
Jangan sekadar marah pas liatin orang bego bersuara lantang.
Tapi mulai dari hal paling sederhana.
Berani mikir sendiri, bertanya, membaca, mendengarkan orang lain dengan niat paham.
Karena dunia yang semakin noise (bising) ini, berpikir jernih adalah pertahanan terakhir.
Dan sebelum kita nyalahin sistem pemerintah, lembaga, atau circle kita sendiri, “sudah sejauh mana saya berpikir dan benar-benar berpikir, bukan cuma ngejalanin apa yang kelihatan benar?”
Terkadang masalahnya bukan pada sistem, bukan pada undang-undang, atau struktur organisasinya, melainkan pada manusia yang ada di dalamnya.
Yang duduk di kursi jabatan, tapi gak duduk dalam kesadaran.
Yang punya wewenang, tapi gak punya rasa tanggung jawab.
Sistem macam kerangka.
Tapi yang ngisi dan gerakin isinya adalah manusia.
Kalau manusianya egois, gak bijak, dan malas berpikir panjang (tolol), ya sistem ideal pun bakal kelihatan rusak.
Sistem bisa saja bagus di atas kertas, tapi kalau bawahannya males buat mikir, males kerja, atau cari aman buat diri sendiri, ya tetap aja rusak.
Dan itu berarti, perubahan gak bisa cuma dituntut dari sebelah pihak. Jadi, kita harus punya andil (peran atau kontribusi).
Mulai dari hal kecil: BERANI MIKIR, BERTINDAK BIJAKSANA, dan GAK ASAL IKUT-IKUTAN.
Written by: Marsa Hanif 6F