Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Sebuah perjalanan yang dimulai dari niat ibadah, berakhir menjadi kisah perjalanan terbesar dunia Islam”

Ilustrasi perjalanan Ibnu batutah.

Fajar Kehidupan di Negeri Maghribi

   


    di bawah langit biru atlantik, 703 H / 1304 M , di kota Tangier, Maghribi ( Maroko Modern ) yang harum oleh angin laut dan pasar rempah, langitnya biru pucat, burung camar berputar diatas dermaga , dan kapal-kapal layar berlabuh, sarat dengan lada dari India dan emas dari Sudan.


Di sebuah rumah dekat mesjid, lahir seorang bayi lelaki dari keluarga ulama terhomat penganut mazhab maliki.


    Namanya panjang laksana untaian mutiara: Abu Abdullah Muhammad Bin Abdullah Al-Lawati Al-Tanji.


Di antara pasir pantai dan menara mesjid, ia tumbuh dengan telinga yang harus akan kisah, mata yang ingin melihat dunia, dan hati yang bergetar oleh panggilan perjalanan.


 Langkah awal : haji yang mengubah takdir



Tahun 1325 M, ketika ketika usia baru mencapai dau puluh satu tahun, ia mengenakan jubah sederhana, memangul bekal, menyandarkan harap kepada Allah, dan mengucapkan selamat tinggal pada keluarganya. “Untuk Makkah,” katanya.


Tapi langit tahu ini adalah awal dari perjalanan tiga dekade.


Perjalanan itu bukan hanya ziarah, tetapi gerbang menuju 30 tahun pengembaraan tanpa batas negeri.


Ia menyeberangi Sahara.


Dimana angin panas membawa bau pasir dan kesunyian, lalu mengikuti arus sungai Nil yang berkilau bagai cair di bawah matahari.


Tiga dekade menaklukkan jarak dan waktu

      

    Dari Makkah ia melanjutkan perjalanan seperti air yang tak bisa ditahan. Ia menempuh jarak lebih dari 120.000 kilometer.


    Menyusuri gurun Sahara yang membakar, menyeberangi sungai Nil yang berkilau di bawah matahari, dan menantang samudra yang bergelora.


    Negeri demi negeri disinggahinya.


    Di Persia, ia menginjak kaki di istana marmer Delhi, mendengar denting lonceng gajah perang dan diangkat menjadi qadhi oleh sulta Muhammad bin Tugluq.

      

    Di Maladewa, ia berjalan di pantai yang lembut seperti sutra putih. Di antaranya, ia mencatat kemegahan kerajaan Maritim samudra pasai, mencium aroma cengkeh dan pala yang menyelimuti udara.

     

    Di Tiongkok, ia berdiri di pelabuhan Guangzhou, menyaksikan kapal-kapal besar berlayar, layar sutranya berkibar seperti sayap burung raksasa.


    setiap kota adalah ayat baru, setiap pelabuhan adalah huruf yang ia eja dengan kaki.


 Diantara tahta dan gelombang

     

    Bukan hanya pelancong, Ibnu Batuta adalah utusan diplomatik, membawa pesan dari barat ke timur, ia duduk di aula karajaan, berbicara dihadapan sultan dan kaisar, namun malam harinya ia tidur di rumah-rumah sederhana, makan bersama nelayan dan pedagang.


    Ia mencatat setiap adat , setiap keanehan, setiap kerajaan, bukan sekedar untuk dirinya, tetapi untuk generasi yang belum lahir.

    

    Ilmu dan wibawanya adalah paspor yang lebih berharga dari segel emas atau sutra raja.


 Rihlah: kitab dunia abad ke-14

 

   Saat kembali ke Maroko pada tahun 1354 M, sultan Abu ‘inan Faris memintanya mengisahkan seluruh perjalanannya, ibnu Batuta mendiktekannya ingatannya kepada ibnu Juzayy, melahirkan karya yang diberi nama panajng dan indah : “ Tuhfat Al-Nuzzar Fi Ghara’ib Al-Amsar Wa ‘Aja”ib Al-Asfar “ ( hadiah bagi para penatap tentang keanehan koaata-kota dan keajaiban perjalanan ), yang dunia mengenalnya cukup dengan satu kata : Rihlah.


    Di dalamnya,,dunia abad pertengahan berdenyut hidup : mesjid-mesjid di Samarkand, pelabuhan du Sumatra, istana di Mali, dan pasar di Guangzhou.


     Dari hutan tropis Nusantara hingga istana kaisar Tiongkok.


 Senja di kota kelahiran 

    

    Ia wafat sekitar tahun 1368 / 1369 M di Tangier, kota yang dahulu ia tinggalkan dengan langkah ragu tetapi ia pulang sebagai legenda.


    Kota itu kini mengenang namanya, tak lagi hanya sebagai anak seorang qadhi, tapi sebagi seorang pengembara terbesar dunia islam.

    

    Namanya menjadi pelita bagi para pecinta perjalanan, bikti bahwa dunia adalah kitab yang hatus dibaca, dan bahwa pembaca terbaiknya adalah mereka yang berani melangkah.

    

    warisan yang ia tinggalkan bukan hanya cerita, tetapai jendela yang membuka pandangan kita pada masa lalu, sebuah undangan untuk melihat dunia dengan mata terbuka dan hati yang luas.


 Warisan abadi

  • Keberanian: menjelajah dunia tanpa peta modern
  • Keilmuan: memadukan agama, hukum, dan pengamatan sosial
  • Keterbukaan: merayakan ragam budaya dan bahasa
  • Ketekunan: menulis agar dunia tahu bahwa peradaban Islam pernah merengkuh bumi dari barat ke timur


Namun, di sudut-sudut perpustakaan dunia, ada pendapat yang berkembang, terutama di balik lembar-lembar sejarah barat. Sebuah narasi yang lahir dari pena mereka yang berkuasa, bahwa Napoleon Bonaparte adalah tokoh pertama yang “menjelajahi dunia”.


Ia membawa pasukannya dari Eropa hingga Afrika dan Timur Tengah melalui ekspedisi militernya.


Namun, pandangan ini kerap mengaburkan cahaya nama-nama agung dari peradaban Islam, seperti Ibnu Batutah yang empat abad sebelumnya telah menapaki gurun, menyeberangi samudera, dan menulis tentang negeri-negeri jauh dengan pena, bukan pedang.


Ibnu Batutah juga telah menempuh perjalanan lintas benua tanpa motif penaklukan, melainkan untuk mencari ilmu, menunaikan ibadah, dan mendokumentasikan peradaban.


Perdebatan ini mengajarkan kita satu hal yang pahit: sejarah seringkali bukan cermin kebenaran, melainkan bayangan dari siapa yang memegang pena kekuasaan. Sebab, seperti yang sering dikatakan, “sejarah ditulis oleh mereka yang menang, bukan oleh mereka yang benar.”


Wahai para pemuda, ditanganmulah masa depan kebenaran itu. Jangan biarkan lembaran sejarahmu ditulis oleh orang lain tanpa kau membacanya dari sumber yang sesungguhnya. Carilah kisah-kisah yang tersembunyi dibalik debu waktu.


Kenali pahlawanmu yang sebenarnya, dan jadikan mereka pelita di tengah gelapnya zaman. Sebab, bangsa yang lupa akan sejarahnya, sedang menulis kehancurannya sendiri.


Dari sanalah kau tahu siapa dirimu. Dari sanalah kau belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Ingatlah pepatah “air yang jernih tahu dari mana sumbernya”.


Tanpa mengenal akarmu, kau akan layu sebelum mekar. Maka pelajarilah ia dengan akal yang tajam dan hati yang jernih, agar kebenaran tak terkubur oleh kemenangan.


        Dan demikianlah nama Ibnu Batutah tak pernah terkubur oleh debu waktu. Ia terus hidup di hati mereka yang percaya bahwa dunia adalah kitab yang tidak akan pernah habis dibaca.




~Salam hangat


DZUEEMIRRAH_02