Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mematuhi Perintah Suci Ilahi

Mematuhi Perintah Suci Ilahi


majalahumdah.comAda sebagian kalangan yang sedemikian ekstrem menganggap bahwa perbedaan mazhab menjadi “kunci” dasar bagi terpecah belah umat Islam kontemporer di dunia maupun di Aceh.

Di satu sisi, kita sangat setuju terhadap ajakan untuk tidak saling menebar kebencian dan saling membunuh antar penganut mazhab, karena memang pada dasarnya umat Islam merupakan saudara-saudara yang saling mencintai dan tolong-menolong. Tetapi di sisi yang lain, anggapan nyeleneh tersebut sepertinya belum layak dijadikan sebagai suatu pijakan untuk menyimpulkan secara keseluruhan adanya saling benci, saling menyesatkan, saling mengkafirkan apalagi sampai saling bunuh yang timbul dari perbedaan mazhab antar penganutnya. Barangkali, hipotesa ini timbul karena kurangnya kajian komprehensif terhadap mazhab itu sendiri ataupun hanya berdasarkan perasaan dan pengalamannya dengan “segelintir kelompok” yang mendakwakan dirinya sebagai penganut “mazhab” tertentu.

Dalam tradisi keilmuan Islam, penyebutan mazhab itu sendiri lebih ditujukan kepada  mazhab al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi’i dan al-Hanbali yang telah menjadi rujukan utama kaum muslimin dalam bidang hukum Islam selama berabad lamanya. Selanjutnya mazhab-mazhab ini lebih populer dengan sebutan “mazhab empat”.

Pada mulanya, banyak mazhab fikih terdapat dalam dunia keilmuan Islam karena memang imam mujtahid itu banyak pula. Sepeninggalnya Nabi Saw, para Sahabat yang berfatwa langsung dari al-Qur`an dan Hadits layak diberi predikat sebagai imam mujtahid pada masanya. Setelah periode Sahabat, muncul nama Imam Sufyan al-Tsauri, Imam Ja’far al-Shadiq, Imam Sufyan ‘Uyainah dan lainnya dalam kategori imam mujtahid dengan mazhabnya masing-masing. Ada lagi mazhab al-Zhahiri, al-Auza’i atau al-Laits dan lain sebagainya. Namun, mazhab-mazhab ini pada akhirnya hanya tinggal namanya saja. Kalaupun ada beberapa fatwa yang disandarkan kepada mazhab-mazhab ini, tetaplah tidak bisa dijadikan sebagai patokan dalam keabsahan pengamalannya. Hal ini disebabkan tidak adanya penjelasan langsung yang bisa kita dapatkan baik dari tulisan mereka sendiri ataupun para muridnya terkait -misalnya- kekuatan dan tata cara pengambilan dalil dari fatwa tersebut.

Baca Juga: Substansi Bermazhab dalam Fiqh

Berbeda halnya dengan para penerus mazhab empat yang justru menyusun, membukukan sekaligus menganalisa fatwa-fatwa dari imam mazhab mereka masing-masing dengan sangat cermat dan rapi sehingga menghasilkan puluhan ribu materi hukum Islam yang meliputi semua persoalan hidup manusia yang menyangkut dengan agama.

Hubungan Antar Mazhab

Sepanjang pengetahuan kami yang merujuk kepada kitab thabaqat dan manaqib para ulama mazhab, tidak kami temukan adanya klaim saling menyesatkan dan saling mengkafirkan antar mazhab empat ini. Yang ada justru rasa saling menghargai, menghormati, mengagumi dan saling mengambil keberkahan dari keluasan ilmu yang dimiliki oleh masing-masing imam mazhab.

Rasa ta’zhim ini timbul karena adanya silsilah keguruan yang melekat di antara mereka dimana sebelumnya Imam Ahmad adalah seorang murid dari Imam al-Syafi’i. Sementara Imam al-Syafi’i pernah berguru kepada Imam Malik dan Imam Malik sendiri pernah berguru kepada Imam Abu Hanifah dan seterusnya hingga sampai kepada para Sahabat dan Nabi Saw.

Kemudian sikap ta’zhim ini diikuti pula oleh para murid setelahnya. Tidak sedikit di antara para pengikut salah satu mazhab empat ini belajar dan berguru langsung kepada para ulama mazhab lain. Begitu pula sebaliknya, para ulama ini juga mengajarkan kitab-kitab ulama mazhab lain kepada para muridnya. Hal ini kita dapati dalam rangkaian silsilah sanad keilmuan mereka. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada awal mula perkembangan mazhab empat melainkan telah berlangsung selama berabad-abad sejak awal kemunculannya dan masih terlestarikan sampai sekarang.

Tidak perlu kita kembali terlampau jauh ke beberapa abad yang lalu, contoh kecil saja ialah tentang salah seorang ulama Aceh sendiri yaitu Abuya Muhammad Wali al-Khalidy (Abuya Muda Waly). Ketika menetap di Mekkah, beliau pernah berguru langsung kepada Syaikh ‘Ali al-Maliki, seorang mufti mazhab al-Maliki. Begitu juga dengan Abuya Sayyid Muhammad Alwi -seorang ulama besar mazhab al-Maliki abad XX- dimana di antara muridnya ada yang bermazhab al-Syafi’i. Hal serupa juga dibuktikan oleh pengalaman salah seorang guru kami, Syaikh H. Sulaiman Hasan al-Zabidi, yang telah lama belajar di balee rangkang bermazhab al-Syafi’iyyah di Aceh. Saat berada di Yaman, beliau menyempatkan diri untuk berguru dan mengambil keberkahan ilmu dari ulama mazhab al-Hanafi yang bermukim di sana. Tidak cukup ini pula, ada beberapa kitab yang diajarkan dalam kurikulum lembaga pendidikan bermazhab al-Syafi’iyyah di Aceh yang para penulisnya sendiri justru para ulama di luar mazhab al-Syafi’iyyah. Subhanallah! Inilah salah satu makna hakiki dari wujud penyebutan bahwa perselisihan di antara umat Nabi Saw adalah rahmat.  

Hikmah Menarik: Memetik Pelajaran dari seekor Semut

Memang benar bila kita membuka kembali lembaran sejarah keilmuan Islam tentunya kita mendapati ada kelompok yang menyalahkan, mencaci-maki, menyesatkan dan mengkafirkan mazhab empat ini. Akan tetapi vonis keji ini bukanlah muncul dari sesama kalangan mazhab empat, melainkan dari sekte yang tidak bermazhab hanya dengan alasan bahwa mazhab empat ini adalah hal yang diada-adakan (bid’ah dhalalah). Hal ini diakui sendiri oleh para ulama mazhab yang hidup pada masa itu seperti Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Sulaiman al-Najd ataupun dari kalangan kontemporer seperti, Syaikh DR. M. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Syaikh DR. Ali Jum’ah serta mayoritas ulama lainnya.

Sebenarnya para ulama mazhab mayoritas di negara kita tidak pernah menutup diri terhadap pendapat tokoh di luar mazhab empat. Hanya saja yang perlu disadari adalah para ulama ini lebih memilih agar umat tetap bersatu dalam satu mazhab dan menghindari perpecahan yang justru akan merugikan umat Islam sendiri. Dorongan kepada masyarakat untuk menganut suatu mazhab juga merupakan suatu pilihan demi mengawal umat agar tidak terjerumus dalam kesalahan memahami dalil agama.

Sebagai penutup, ketahuilah bahwa sesungguhnya umat Islam tidak perlu bersusah payah untuk memahami maksud dari al-Qur`an dan Hadits Nabi Saw karena Allah Swt telah memberikan solusi dalam firman-Nya : “...Fas-aluu ahladz-dzikri  inkuntum laa ta’lamuun” (“...maka bertanyalah kepada para ulama jika kamu tidak mengetahui”). (QS. al-Nahl:43). Sementara itu, kedudukan ulama sendiri telah diperkenalkan pula dalam ayat yang lain : “Sesungguhnya di antara hamba Allah yang paling bertakwa hanyalah para ulama” (QS. Fathir:28). Ini adalah salah satu perintah dan pengakuan Allah Swt yang termaktub dalam al-Qur`an. Subhnallah, alangkah bahagianya kehidupan seorang muslim yang patuh terhadap perintah suci Kalam Ilahi ini.

Oleh: Tgk. Salamuddin Abubakar, Dewan Pengurus Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM) LPI MUDI Mesjid Raya, Samalanga.

yang Lebih Menarik Lainnya di sini