Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dimensi kenangan yang memburai




    Sontak aisyah terkejut dari tidurnya, nampak peluh sebesar biji-biji  jagung mengalir dikeningnya, bajunya kuyub akan keringat. Mimpi yang mengecam balutan takdir dalam ritme yang tak beraturan, layaknya badai ombak yang mengombang ambing bahtera yang bermuatan rindu dan kasih. Aisyah masih terdiam didalam kebisuan yang mencekam tak tahu harus bertindak, seakan bergerak saja sulit dilakukan, mimpi yang membuat ia harus menderaikan air mata kenangan bagaikan belati karatan yang dihujam kedadanya, nostalgia masa lalu yang seharusnya telah dikubur dan ditimbun dengan aspal itu dalam beberapa menit yang lalu bergentayangan merasupi mimpinya, kenangan tentang cinta yang karam dan mati didalam kehampaan amukan laut, tepatnya tanggal 26 desember 2004, Aceh

    Semilir hembusan angin pantai menerpa lembut wajahnya, menyibak ke sela-sela jilbab yang ia kenakan, dalam syahdu sejenak ia merebahkan badannya diatas pasir lembut menguning, rimbun pepohonan arun kerap melindunginya dari pancaran langsung sang surya, pantai yang dipenuhi dengan sejuta kisah, cinta, kasih, tawa, luka maupun nestapa seakan syahdu dalam untaian ombak yang saling berkejaran dilepas samudra lhoknga. Dihempasnya pandangan jauh keangkasa sembari menangkap pemandangan awan yang saling berarakan bak kapas-kapas putih yang mengapung dilautan biru, tak dapat ia palingkan wajahnya, karena berdecak kagum dengan retorika alam yang begitu indahnya. Direngkuhnya sesuatu dari kantung gamisnya, harmonika peninggalan ayah, kata ibu ayah mendapatkannya dari seorang turis yang mengukuhkan janji setianya dengan islam dihadapan ayah, lamat-lamat ditiupnya benda itu, terdengar suara nada yang tak beraturan, dan ia pun syahdu dalam kehampaan sampai butiran bening merembes melewati pipinya, bukan karena alunan iramanya, melainkan benda ini telah membuat ia kembali mengingat sang ayah

    Pantai ini telah menjadi saksi bisu atas terbunuhnya seorang ayah yang memiliki seorang istri dan 3 anak, ayah aisyah tertuduh sebagai anggota GAM, dua timah panas dilesat kedadanya, dan pasir menguning itupun berubah menjadi merah dimalam yang naas itu, sayup-sayup ia tenggelam dalam jiwa yang hening dan pikiran yang tertunduk kesedihan mengalir tanpa akhir dalam semesta diam, bayangan sang ayah semakin lekat saja dipucuk khayalnya semakin dalam, lebih dalam, tiba-tiba bayangan seorang pemuda terlintas disudut hatinya.

    Abi dzar, begitu orang memanggilnya, posturnya tegap namun penuh khidmat, tinggi semampai, berhidung mancung meski tidak sampai kearaban, rambut-rambut halus kerap melingkari jambang dan rahang sampai kedagu, alisnya lentik, sorot mata yang tajam, ia terlihat piawai nampak dari prestasi yang diraihnya juga sikap sosial yang jarang ada bandingannya, sosok itulah yang membuat aisyah terombang ambing dilautan asmara, termenung setiap saaat dalam kerinduan, hatinya telah tertancap panah asmara cinta kepada lelaki kakak kelasnya seSD itu, rindu yang telah bermekaran membekam sejak masa kecilnya itu yang sampai saat ini seekor lalatpun tidak mengetahui perasaan gemulnya, namun akhir-akhir ini setelah kepulangan abi dzar dari pelayaran rihlah keilmuannya disamudra ilmu agama, rasa yang pernah ia coba kubur itupun seakan bangkit lagi, seseorang yang telah memenuhi relungnya, betapa sering ia tersenyum-senyum sendiri disaat nama lelaki itu disebut, hatinya telah terbakar rasa rindu yang membara kepada tautan khayalnya, kerap ia berharap diperaduan malam sang idaman benar-benar menjadi tempat sandaran hatinya kelak, ia merangkuh takdir membalutnya dengan selimut harapan sambil berlutut, mengaduh, meratap dihadapan penciptanya. Bergetar hatinya dalam mulut yang terbata-bata berucap doa, “dipintuMu aku mengetuk yaTuhanku, aku berharap engkau berkenan merengkuh hatiku yang selalu merasakan kesepian, ya Tuhanku betapa sedikit pengetahuanku untuk meniti jalanMu, bahkan dalam pengetahuanku yang sedikit itupun aku sering ragu, karena itu tunjukilah jalanMu yang benar, sungguh hanya kepadaMu aku mengutarakan isi hatiku, hanya engkau yang maha mendengar isi hati”

    Siang itu agaknya berbeda dengan siang-siang sebelumnya dipenghujung tahun ini, hari-hari senantiasa dirindung awan kelam nan mendung bahkan kerap buliran hujan menitik pasrah mengguyuri tanah-tanah dan dedaunan yang tidak pernah kenyang dengan air langit, memaksa para-para pahlawan keluarga tersendat untuk melangkah memungut serpihan-serpihan nafkah yang berceceran di perampatan jalan, maupun diladang, matahari siang itu pun kembali tersenyum, memberi kabar gembira kepada dunia bahwa musim semi akan segera tiba, itulah yang selalu dinanti-nanti gadis perindu aisyah, menyaksikan kembang-kembang kembali bermekaran, menikmati semerbak harum melati yang kembali menyusupi kamarnya, seakan ia hanyut dalam syahdu ketenangan yang tak bertepi, membuat ia sejenak dapat melupakan ombak samudra cintanya

 ”Aisyah…” suara dibalik pintu membuat gadis itu tertegun dari lamunannya , “ ia ummi, aisyah sedang ganti baju nih” spontan aisyah menjawab seadanya dari balik kamar takut ummi membaca gelagatnya “bisa keluar sebentar nak..!”, “ia ummi..bisa kok”, “ummi tunggu diruang tengah ya” sahut ummi sambil berlalu, sejurus kemudian aisyah telah duduk disamping ummi ternyata disana  juga ada paman dan dua saudara kandungnya, bang ismu dan bang aziz, aisyah agaknya kaget, “ada apa gerangan tak biasanya mereka ngumpul begini” ia membatin

“ Aisyah, ummi merasa usia ummi semakin lanjut saja,” diam sesaat “ namun ummi sangat mengharapkan sebelum ummi tutup usia, bisa mengendong cucu isyah”

“ ummi ngomong apasih, ummi toh masih muda gini” nampak aisyah membaca gelagat yang tidak biasa dari ummi, ditatapnya wajah umminya, semburat penuh harapan terpancar melalui kedua matanya, membuat aisyah tak sanggup melanjutkan kalam.

“insyaallah esok akan ada yang mengkhitbahmu” seketika aisyah teperanjat mendengar tuturan pamannya “putra dari sahabat karib ummimu aisyah, ia akan melamarmu” tambah paman “harap kamu memikirkan beberapa kali untuk menolak lamaran ini, ummi sangat berharap kali ini” sahut ummi.

Baca Juga : Pergi Bersama Dalail

……

    Aisyah masih termenung, pandangannya nanar seperti terebut kemampuannya bicara dan menyatakan kemauannya, tatapannya kosong tak berarah, dibalik jendela kayu didalam kamarnya ia menatap ketidakpastian, apa yang harus ia lakukan,Tuntutan lamaran itu betapa memberatkannya, bagaikan gunung selawah di pundaknya, cinta yang telah mengakar di hatinya” Abi zhar” desiran ombak cintanya, genangan danau di hatinya, bunga dan buah-buahan di kebun rindunya. Bagaimana melupakannya dan menggantikan dengan sosok yang tidak pernah ia kenali? Antara cinta dan orang tua, bagaikan memakan buah simalakama, mana yang harus ia rengkuh? Tanpa cinta hampa rapuh tampa takhdim durhaka.” Oh ya Allah... sang pemberi cinta haruskah aku mengatakan yang sebenarnya pada ummi, haruskah aku mengatakan kalau aku jatuh cinta kepada orang yang tidak pernah mengetahui perasaanku”  Beribu pertanyaan berkelebat di pikiraan aisyah. “ Ya allah berilah jalan keluarmu atas masalahku”, Aisyah pu berbaring dan mencoba memejamkan mata, lagi-lagi aisyah hanyut dalam mimpinya, masih dengan kekasih hayalannya “Abi zhar”.

                                                                                ...…..

”Assalamualaikum…”, “sepertinya keluarga pemuda itu telah sampai” Aisyah membatin. ”Waalaikum salam”,  Sigap ummi bangkit membuka pintu sambil menjawab salam, detak jantung aisyah semakin terpacu, batinnya sungguh dirajam perasaan yang tak sanggup terurai entah apa arti semua ini untuknya adakah ini awal kematiannya? Dan kebahagiaan bersemburat di wajah ummi dan abang-abang lantaran menganggap ia juga akan segera berbahagia. Nampak aisyah menunduk, bisu tak berkalam padahal beribu-ribu kata beradu keras di benaknya,dadanya terasa sesak duri derita, ada sejuta tanda tanya timbul tenggelam disamudra jiwanya, namun ia memilih membiarkan kesedihannya mengalir tanpa akhir dalam semesta diam.

Baca Juga :Pemusnah Kenangan

“Aisyah perkenalkan ini bapak hakiki, sahabat bapakmu”,  gelagat ummi nampak begitu antusias memperkenalkan calon bisannya, “ dan ini istrinya bu nurazlia dan Abi zhar putra mereka”, apa? abi zhar?, benarkah itu Abi zhar cintanya “ sontak aisyah kaget, diliriknya kearah suami dan isteri itu lalu kepada pemuda istikharahnya semalam, sayup-sayup mereka pun bersitatap, hening hangat, bisu seakan pandangan mereka telah mengutakan semburat yang telah lama bersemayam dimuara hati masing-masing, engkaulah huruf “A”  ku, ‘Abi zhar” ……..
Kedua mempelai telah mengikat janji, dan pernikahan akan diberlangsungkan seminggu lagi tepatnya tanggal 26 desember 2004, minggu. Sungguh tidak terbayangkan oleh aisyah, Allah merangkuh doanya, membelai cintanya, tak terkirakan kekasih hayalannya seminggu lagi benar-benar menjadi kekasihnya, Nampak guratan kebahagiaan di wajahnya, Aisyah gadis 22 tahun ini meraih cintanya, dan mulai menghitung malam –malam terakhir ia kan mengakhiri kegamangan hati dalam kebisuan

…..

 “saya terima nikahnya Aisyah binti iqbaluddin dengan seperangkat alat shalat dibayar tunai !”, belum sempat para saksi mengakui kesahan sejoli ini orang-orang telah berhamburan keluar dari mesjid tempat mereka mengukuhkan akad, bagai terombang ambing dilautan berbadai, “ gempa…gempa..!” teriakan dimana-mana, mereka lari pontang panting takut bangunan mesjid akan runtuh, dengan sigap abi zhar menggenggam tangan aisyah menariknya ikut keluar, histeris, semua orang mengerang, meraung dalam kepanikan mulut mereka komat kamit melafazkan kalimat-kalimat Allah, dibenak mereka berkelebat sudah tibakah waktunya, hari inikah akhir kehidupan, kiamatkah?. Genggaman Abi zhar masih kuat, hangat dan tulus , seakan ia mengatakan “ Aku akan terus bersamamu, meski dunia telah berakhir “

    Hentakan bumi secara vertikal dan horizontal membuat pohon-pohon bergoyang dan beberapa bangunan pun telah roboh, “ air laut naik….” “air laut naik..!” kepanikan semakin menjadi-jadi , sesaat gempa berhenti bencana lainpun menghampiri, bergetar jiwa aisyah terbesit dihatinya ia benar-benar akan mati dengan cintanya hari ini juga, album kehidupan yang telah dirangkainya semalam akan karam dalam hantaman air bah ini, genggaman Abi zhar semakin erat mereka pun ikut berlarian seperti yang lainnya, tiba-tiba terbesit dihatinya untuk memanjat pohon sambil berlarian matanya terus mencari-cari pohon yang cocok ia menoleh kearah kanannya terdapat pepohonan rindang dekat trotoal, “mungkin ketinggian pohon tidak dapat dijangkau air” desah abi zhar didalam hati, ditatapnya wajah aisyah kesekian kali dengan perasaan cemas namun penuh cinta “aku tidak tahu akankah kita masih bisa hidup setelah ini, tapi jiwaku rengkuh tanpamu, aku berharap bisa menuai sepercik kisah bersamamu sebelum ajalku” air mata mulai menjelaga dari pelupuk aisyah, “ naiklah kepunggungku, aku akan memanjat “ sahut abi zhar aisyah hanya manggut tak berucap, didekapnya abi zhar sekuat tenaga, abi zhar menggendong aisyah dipunggungnya, “engkau abi zharku, cintaku, pahlawanku, huruf “A” ku bisik aisyah kecut, abi zhar pun memanjat, dengan terengah-engah dipanjatnya dari dahan kedahan, sehingga sampailah mereka kedahan yang agaknya tak akan sampai air bah itu, gemuruh ombak laut menggelegar semakin mendekati mereka, direngkuhnya tubuh tegap itu semakin erat, dalam sekejap gulungan setinggi 3 meter menghempas, sontak terlepaslah pegangan mereka, hempasan air bah itu membuat pohon bergoyang hebat dan merekapun tercebur.

……

    Dalam sayup-sayup aisyah tersadar dari lelapnya ia melirik kearah tangannya, genggaman Abi zhar masih kuat mencengkeram, namun dingin, bisu dalam semesta kehampaan pesakitan terasa menyayat disekujur tubuh dan sendinya, seakan menggerakkan jari saja terasa berat, sekuat tenaga ia angkat tubuhnya namun terjatuh, berusaha bangkit, lagi-lagi terjatuh ia menoleh kewajah abi zhar ia masih terelap dalam keheningan, dibelainya wajah yang sangat diidam-idamkan itu, sontak nyaris hampa, dingin seakan tak ada lagi kehidupan, sekali lagi aisyah mencoba bangkit



akhirnya berhasil,dengan segenap kekuatan yang tersisa diangkatnya berlahan kepala kekasihnya kepangkuan, hatinya menjerit, air mata menjelaga mengucur pipinya, disekanya lumpur yang masih tersisa diwajah abi zhar, dipandangnya lekat wajah itu, wajah yang selalu mengisi mimpinya, wajah yang membuat ia tersenyum sendiri dan menangis karena rindu, wajah yang sedari dulu diidam-idamkan mengisi masa tuanya, kini ia tengah terlelap dalam kebisuan yang tak bertepi direngkuhnya tubuh abi zhar, dalam isak tangisnya ia bergumam lirih

“ Dulu aku selalu menatapmu dari jauh, segenap kekuranganku membuatku miris dan malu melangkah menghampirimu, namun disaat engkau menyambutku dengan cintamu, dalam sekejap lagi-lagi engkau berlalu meninggalkanku” isak aisyah semakin dalam menyayat hati, deraian air matanya kini telah membasahi wajah abi zhar

“ abi zhar, kekasihku, mentariku, jiwaku, bagaimana aku melanjutlan hidup tanpamu”.


Oleh : Nismul El-Fadhil