Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puzzle kehidupan di tanah perantauan



  Hai para pembaca setia

   Tidak ada cerita yang tak beralur,tidak ada nafas yang tidak bertuan, dan tidak ada pengalaman yang tidak bermakna,berbicara tentang pengalaman pasti tidak terlepas dari ruang waktu yang telah di lalui di masa lalu,salah satunya adalah masa sekolah yang terkenal dengan istilah putih abu abu,berdiri di sini membuat aku bernostalgia mengenai masa 3 tahun lalu saat berada di penghujung kelas akhir SMA, masa di mana kisah hitam putih menjadi almamater kebanggaan dan simbol kehidupan. Saat itu,aku di paksa oleh orang tua untuk memilih jalur pesantren dengan menu kitab klasik yang bahkan tidak ku kenali sama sekali,padahal tidak ada hasrat sedikitpun untuk mondok,aku malah  lebih condrong ke bangku kuliah namun entah motivasi apa yang membuat aku menjadi suka rela menerimanya dan sekarang aku berdiri di sini,di bawah gedung putih dengan deretan bangunan yang berbentuk kotak. Aku mengenggam kedua tanganku seperti ingin mengenggam bangunan ini, otakku kembali memutar cuplikan kehidupan lamaku di mana aku belum mampu melakukan apapun dalam berbagai kehidupan yang menantang. Entah memang waktu yang membuat kehidupanku menyenangkan dan menyedihkan atau memang aku yang menjadi pemeran utama dalam kisahku sendiri yang membuat ribuan puzzle dan akhirnya mengalir di jalan hidup antara suka dan duka. Setitik cairan bening menetes menyadarkan bahwa jiwa yang tidak sabar telah berpindah,bukan lagi di tanah kelahiranyang begitu akrab menyapa. Alur dan langkah menyapa ini telah membawaku jauh dari keluarga dan teman teman. Rangkaian cerita baru akan di mulai, dan kini aku berpijak di tanah perantauan yang jauh dari tanah kelahiranku, “tanoeh breuh sigupai” dengan deretan gunong tran,gunong geureute,gunung kulu,dan gunung seulawah yang harus di lalui serta menghabiskan waktu 15 jam untuk tiba di kota santri.

Baca juga :Dimensi kenangan yang memburai

    Perjalananku terhenti di sebuah pondok oesantren yang menyandang prediket termasyhur diseluruh penjuru aceh,langkah pertamaku di sini merupakan langkah besar yang mengubah hidupku,dengan sederet peraturan yang menampar,seolah menyadarkan pada kehidupan terkini,di mana jilbab dan sarung menjadi formalitas kesederhanaan,bukan hanya itu segudang aktivitas sangat kontras terbalik 180 derajat,mulai dari mata terbuka hingga terpejam kembali,sebelumnya saat di rumah salatku masih malas-malasan bahkan sampai bolong,sedangkan di pondok jangankan malas malah berjamaah menjadi hal  yang sangat indah,diriku yang dulunya tinggal yang lingkungan yang sangat identik dengan invidualisme nah sekarang menjadi mau berbagi dan berbaur dengan teman yang lain,aku yang selalu mendapatkan apa yang aku mau dengan mudah menjadi sabar dan mengerti bahwa tidak semua kemauan harus terpenuhi,belum lagi dengan teman yang memiliki berbagai sifat dan latar belakang yang berbeda membuat jiwa sosialku semakin berkembang. Sebuah miniatur kehidupan yang sesungguhnya aku dapati di sini. Di tahun pertama serasa sangat sulit,perbedaan yang mencolok mengakibatkan penyesuaian yang tak terkendali,mulai dari aturan mandi,catering,wc dan lainya yang bisa membuat kericuhan sehingga kesalahan dalam antrian, ataupun menyelip antrian menimbulkan perdebatan sengit,sindir menyindir,bahkan bisa bermusuhan berhari-hari lalu masalah kebersihan, wanita umumnya menyukai keindahan dankerapian membuat mereka telaten dalam menjaga kebersihan,namun masih ada yang belum mengerti menjaga kebersihan,karena tidak pernah di beri tanggung jawab akan hal tersebut,sehingga sifat saling menjauh jika salah satunya terlalu jorok. Lalu perbedaan lingkungan sosial yang menimbulkan ketidaknyamanan,karena belum bisa menerima perbedaan, ada yang kaya raya plus sombongnya yang amit-amit,ada yang tidak terlalu kaya namun dermawan,ada pula yang berlagak kaya padahal berasal dari keluarga berekonomi rendah,belum lagi teman dari kalangan priayai dan kyai yang bergaul dengan teman yang amat biasa bahkan teman yang terpengaruh pergaulan bebas di luar sana. Dan yang terakhir peraturan yang terkesan merenggut kebebasan,mulai dari embel-embel harus ini dan itu,seperti wajib jamaah,yasinan menjelang maghrib,mengulang sampai tengah malam,wajib hafalan,tidur tepat waktu,berpakaian longgar,dan mengikuti berbagai rutinitas pondok yang membuat hari-hari berasa padat,belum lagi larangan memakai perhiasan,membawa handphone dan alat elektronik,di jenguk oleh selain mahram,berhubungan dengan lawan jenis(pacaran) dan sebagainya. Dari situlah timbul hukuman yang di sebut takzir seperti memilah sampah,membersihkan kamar mandi,zikir sambil berdiri,hingga di siram air comberan bahkan yang paling parah sampai di keluarkan. Namun justru dari takziran itulah yang membentuk kepribadian santri yang menjadi pengalaman yang sangat menarik untuk di kenang,dan banyak pelajaran yang di dapatkan,yang jelas saya sudah menemukan puzzle kehidupan yang indah di pesantren,bisa belajar lebih baik untuk memahami kehidupan yang selanjutnya. Saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung bisa merasakan lika-liku pesantren tercinta,keindahan,kemegahan ilmu dan jasa yang belum tentu bisa di balas. Siapapun boleh mengangkat jempol untuk statment ini,sebab tujuan utama mondok adalah berkah bukan ijazah karena sebanyak apapun ilmu yang kita dapati bila tidak di dasari keberkahan maka akan sia-sia

    Saya semakin yakin berlari dalam keindahan-keindahan tempat ini,sehingga suatu saat nanti,ketiak diri ini kembali ke tanah kelahiran,teman-teman sekolahku yang beberapa dari mereka akan memproleh sarjana kedokteran dan keperawatan sesuai cita-citaku dulu. Menanyakan “kapan kuliah?” cukup bibir ini menjawab “maybe yes,maybe no”  karena kau tahu pesantren ini adalah pilihan terbaik dan sekarang tak ada lagi ketakutan “madza ta’kulu min ba’di?” tapi sebuah ketakutan dengan beristifham “madza ta’budu min ba’di?” 

 oleh: nadya bunadi ilyas 3j