Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syeikh Buty, Sang Imam Ghazali di Era Modern




   majalahumdah.com Di zaman millenial ini siapa yang tidak kenal dengan sosok Asy-syahid Syeikh Al-Buthi. Nama Lengkap beliau adalah Muhammad Said Ramadhan bin Mulla Ramadhan bin Umar Al-Buthi. Ia lahir di Domain, Jilika pada tahun 1929 M. Jilika termasuk wilayah Buthan, perbatasan antara Turki dan Irak. Beliau terlahir dari sebuah keluarga yang dipenuhi cahaya kecerdasan dan agamis, yang kesehariannya bertani di sawah.

Awal Kehidupan, Pendidikan, dan didikan Sang Ayah

    Al-Buthi adalah anak kedua  dan anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, kaka beliau bernama Qainah, selisih umur dengannya hanya 3 tahun, sedangkan adik perempuannya bernama Ruqayyah dan Naimah. Ketiga saudarinya menghembuskan nafas terakhir dalam usia yang relatif muda, kakaknya meninggal pada umur 12 tahun, Ruqayyah sang adik pertama meninggal pada usia yang sangat muda, yaitu pada umur 2 tahun, sedangkan Naimah, adik yang terakhir meninggal pada usianya yang ke 12.

    Dalam mendidik, syekh Mulla adalah sosok yang tidak pernah berhenti memberi inspirasi berupa adab dan akhlak yang sesuai dengan etika sayyidul mustafa Muhammad Saw kepada Al-Buty. Diceritakan pernah suatu ketika sang ayah menangis histeris ketika Al-Buty memakaikan kasut dari kaki kirinya, timbullah keheranan pada syekh Buty sehingga menanyakan hal tersebut,”Ya abati, kenapa engkau menangis?” tanya sang anak. Syekh Mulla dengan tegas menjawab,”Wahai buah hatiku Al-Buty, tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah senang dengan seseorang yang mendahulukan sesuatu yang berunsur dari yang kanan?” sahut sang ayah kepada anak tercinta, al-Buty.

    Guru pertama bagi syekh Buthi adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil ia telah menanamkan pendidikan dan membesarkan Al-Buty dengan wawasan keilmuan dan disiplin yang tinggi, Al-Buty dianugerahi kecerdasan dan daya ingat yang tinggi. Pada usia enam tahun Al-Buty telah mengkhatamkan Alqurandalam jangka waktu enam bulan, begitu juga hafala Alfiyah yang tidak sampai waktu setahun. Baca Juga : syeikh-abu-al-faydh-muhammad-yasin

Rahasia Kesuksesan Al-Buthi

    Dalam beberapa kesempatan Al-Buthi mengakui bahwa salah satu rahasia kesuksesan yang diperoleh olehnya dalam kehidupan adalah ketaatan dan kepatuhan kepada sang ayah. suatu ketika Al-Buthi sudah menjadi dekan fakultas Syariah universitas Damaskus, Suriah. Meski memiliki banyak kesibukan yang lain, beliau tetap selalu menjadi rutinitas mengajar materi Alquran di Universitas Al-’Aziqiyyah setiap Rabu.

    Drs Ahmad Basam menceritakan bahwa pada suatu saat doktor pada universitas itu mengundang Al-Buthi untuk menghadiri syukuran pada kamis malam. Doktor Ahmad Bassam langsung bersedia hadir, sementara Al-Buth dengan halus mengatakan bahwa beliau akan meminta izin kepada ayahnya. Timbullah keheranan pada diri Dr Ahmad Bassam melihat peristiwa ini. jika alasan meminta izin dalam hal yang besar itu wajar, namun bagaimana mungkin seorang yang sudah berumur 40 tahun dan muridnya sudah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi dan ia pun dekan fakultas syariah di universitas Damaskus masih meminta izin kepada orang tuanya hanya untuk menghadiri makan malam. Bagi Dr. Ahmad Bassam peristiwa ini sangat mengejutkan, namun meski begitu sang rektor tetap berupaya menghilangkan keterkejutan dengan meminta Ahmad Bassam untuk membawa Buthi ke kantornya agar beliau bisa menghubungi ayahnya di Damaskus. 

    Syekh Ahmad Bassam sempat mendengar pembicaraan Buty di telepon. Ketika menelepon Buthi berkata,”Assalamu alaikum, Ayah. Bapak rektor mengundang saya makan malam di rumahnya bersama para dosen lain, apakah saya diizinkan untuk menghadirinya dan akan kembali ke Damaskus Jumat pagi?” tanyanya. “Terima kasih ayah, assalamualaikum.” dengan begitu mengejutkan Buty berkata kepada kerabatnya itu bahwa ayahnya tidak mengizinkan beliau untuk hadir.

    Ketika mengomentari kejadian ini Syekh Ahmad Bassam berkata,”Selamanya tidak akan tergambarkan keterkejutan yang tampak di wajah saya dan pak rektor ketika saya sampaikan kepada beliau pembicaraan Al-Buty melalui telepon. Masuk akalkah ini? Tidak ada bantahan, tidak ada penolakan, dan tidak ada permintaan, bahkan sekadar harapan dan upaya agar sang ayah mengubah keputusannya. Tidak, tidak, dan cukup. Lihatlah, apa yang dikatakan oleh generasi sekarang ketika mendengar cerita ini, adakah sebagian dari mereka yang berupaya untuk menirunya meski hanya sekali?”

    Begitulah akhlak seorang ulama besar kepada orang tuanya. Dalam hal terkecil saja beliau sangat mematuhi dan menghormati ayahnya, Syekh Mulla, hingga akhir hayatnya. Hidup sang Buty mengabdi kepada ayahnya. Baca Juga : bisyr-al-hafi-waliyullah-berjiwa-sosial

Wafat Al-Buty

    Al-Buty wafat pada malam Jumat, 9 Jumadil Awal, 1434 H, atau bertepatan pada 21 Maret 2013 di Mesjid Al-Iman, Damaskus. Beliau wafat dalam peristiwa tragis bom bunuh diri oleh kelompok Islam Radikal di Suriah. Peristiwa ini terjadi ketika beliau sedang menyampaikan pengajian tafsir mingguan di masjid itu. Jumlah korban dalam peristiwa ini mencapai 52 orang meninggal, termasuk cucu beliau yang bernama Ahmad. puluhan orang lainnya mengalami luka-luka.

    Setahun pasca wafatnya baru terungkap kasus itu. Dalang pembunuhan itu adalah kelompok radikalis pendukung pihak oposisi pemerintah Suriah. Motif pembunuhan ini karena Syekh Buty merupakan ulama yang paling keras dalam menolak upaya revolusi di Suriah untuk menggulingkan Basar Al-Asad.

    Beliau dimakamkan bersebelahan dengan makam Sultan Salahuddin Al-Ayyubi di bawah benteng Damaskus. ketika itu di Suriah bergabung puluhan ribu masyarakat turut mengantar jenazahnya ke peristirahatan terakhir. Berbagai kalangan lintas agama di Jazirah Arab pun turut memberi ucapan belasungkawa kepadanya. 

    Sebelum wafat beliau juga sempat berpesan kepada salah satu sahabat dan sekaligus muridnya , Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri agar tidak lupa untuk selalu mendoakannya. Beliau berkata,”Umurku sudah tidak lama lagi, sungguh aku sedang mencium wangi  aroma surga. Wahai saudaraku aljufri, jangan lupa untuk selalu mendoakanku.” (ZA)


Oleh : Rachmad Musyawir