Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berkah bumi pasantren

 


Adakah sebuah keindahan yang tersingkap di sini? Ataukah sebuah keajaiban yang mengendap dan mengabulkan semua impian? Adakah semua itu di sini? Di sebuah tempat sederhana, kumuh, dan padat penduduk ini? Mengapa semua orang berbondong-bondong masuk ke tempat ini? Rela berjejal-jejalan tidur dan mengantri dalam segala hal. Aneh. Apakah semua orang sudah kehilangan daya otaknya?

Adalah faiz, seorang remaja tanggung yang mempunyai beribu pertanyaan itu. Jangan tanya tentang alasan ia mondok. Karena alasannya hanyalah satu, menemukan wanita bercadar dan tak suka dengan aturan yang dibuat orang tuanya. Oleh karena itu dia memilih pesantren, yang lebih baik dari pada serumah dengan orang tuanya

Tapi tatkala ia bermukim di pesantren ini, beribu pertanyaan merangsek di pikirannya. Tepat ketika malam mulai menggelarkan tirainya dan bintang menyemai di sana, sebuah pemandangan tak wajar menyentil matanya.

“Dasar kurang kerjaan. Kenapa pula berdesak-desakan demi sisa air minum tuan guru?” cacinya.

Mendengar pernyataan bodoh itu, rival menepuk jidatnya dan langsung tertawa.

“Kau ini santri bukan ha, iz? Sisa air minum itu kan banyak keberkahannya,” tukasnya.

“berkah apaan? Banyak penyakit lah itu.”

“faiz, faiz. Masa kau nggak percaya dengan keberkahan? Santri jenis apa kau ini?”

“Eh, val, ini tahun 2021. Modern sedikit napa? Takhayul kok masih dipercaya.”

“Bodo ah.”

keberkahan adalah hal ter–bullshit kesekian kalinya yang Faiz dengar. Semenjak ia menjejakkan kakinya, Faiz sadar bahwa kehidupan di pesantren benar-benar tak bisa dilogika. Ia masih ingat ketika malam pertama, dimana telinganya mendengar hal tak logis dari tengku, Safruddin, guru malanya: “Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia.”

Faiz pun merenung. Ia tatap halaman pesantren yang lengang. Tidak ada sama sekali yang melangkahkan kakinya di atas batako. Mungkin karena rinai gerimis yang kian manis menghasut para santri, sehingga tidak ada yang mau keluar dan memilih tidur berbantal lengan di kamar. Atau mungkin karena angin lembut yang meniup kanopi halaman sehingga tak ada yang mau bersenda gurau di sana. Entahlah Faiz tak tahu. Ia hanya bingung merenungi perkataan tuan gurunya yang menurutnya hanya pintar bercakap itu.

Malam ini hanya secangkir kopi yang menemaninya. Secangkir kopi yang dinikmati berdua dengan makhluk tak jelas bernama Rival. Secangkir berdua bukan romatis, tapi karena keadaan yang memaksanya melakukan ini. Akhir bulan memang selalu mengenaskan.

“Jadi kita nggak usah cari uang, gitu? Ya nggak mungkin lah,” pungkas Faiz tepat setelah pengajian dengan tengku Safruddin selesai.

“Mungkin aja lah. Liat aja Abu mudi! Beliau nggak pernah terlihat bekerja tapi beliau malah punya mobil BMW,” kilah Rival.

“Eleh, paling itu hanya kebetulan.”

“Eh, Iz, mana mungkin kebetulan terjadi berkali-kali. Kau tahu? Bahkan abu mudi pernah menolak pemberian mobil dari orang.”

Diam. Hanya itu yang dapat Faiz lakukan waktu itu.

Dan sekarang, lagi-lagi Faiz duduk termenung di gazebo halaman. Kakinya menjuntai, sedang pandangannya erat menatap rembulan. Bundaran cahaya di tengah langit kelam itu, menyadarkan Faiz bahwa ia sudah setahun bermukim di pesantren ini. Benak pikirannya selalu turut membisikkan pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Pernah Faiz bertanya pada semua santri tentang apa yang menjadikan mereka betah di sini, tapi jawabannya selalu mainstream. Mereka hanya menjawab karena ngajinya bagus atau karena temannya banyak. Sama sekali tidak ada jawaban yang bisa memuaskan Faiz.

“Abu mudi pasti menyembunyikan sesuatu!” tukasnya.

Malam kian menggelayut. Butiran embun kian menjamah, memeluk setiap makhluk. Kesejukan berbalut kedinginan menidurkan semua orang dalam peluknya. Jenuh pun kian menguap, membuat mata Faiz terpejam. Lelaki itu duduk bersandar tiang mesjid dengan pikiran yang masih mengawang.

Jam terus berputar, menenggelamkan manusia bersama lelahnya. Sayangnya permukaan tiang yang tak rata membuat kepala Faiz tergeser dengan sendirinya. Pemuda itu pun terbangun. Matanya mengerjap. Ia masih mengantuk. Namun sebuah pemandangan yang aneh menyempil di sudut matanya. Abu mudi tengah berjalan sendirian. Faiz pun bangun, ia hendak mengawasi gerak-gerik ulama sepuh itu.

Faiz pun bergegas. Ia bersembunyi di tugu. Kepalanya menyembul, berusaha melihat apa yang dilakukan oleh abu. Sungguh aneh melihat orang yang sesepuh beliau dengan jam segini, masih berkeliaran di area pondok, sendirian pula. Bukan hanya berdiri, tetapi juga tengah merapal sebuh mantra, entah apa itu.

“Oh, jadi yang membuat para santri itu betah karena abu mudi pasang jampi-jampi?”  pikiran Faiz menyimpulkan seenaknya.

Merasa telah menemukan jawaban yang ia cari, Faiz pun meninggalkan orang sepuh yang ia anggap cuma mahir dalam bercakap. Pemuda itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia tak perlu memikirkan jawaban dari pertanyaannya lagi.



***

“Tumben. Biasanya kalau setelah ngaji subuh, kau tidur, eh sekarang malah cengar-cengir kaya keledai mau kawin aja,” timpal Rival dengan mulut yang masih suka menguap.

“Terserah apa kata kau, yang penting aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku,” tandas Faiz tak berselera.

“Pertanyaan yang kau lontarkan kepada santri-santri sepuh itu?”

Faiz hanya mengangguk. Badannya bersimpuh pada tembok dalam.

“Lalu jawabannya apa?”

“Abu mudi menggunakan jampi-jampi,” bisik Faiz.

Mendengar jawaban seperti itu, kantuk yang semula masih menggelayuti Rival, mendadak menghilang. Matanya seketika membelalak. Bunyi kuap mulutnya berubah menjadi raungan kemarahan. Hendak tangannya menampar pipi si Faiz, tapi urung.

“Berani-beraninya kau bilang Abu mudi seperti itu?” nada bicara Rival meningkat.

“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Orang tua itu memutari pesantren sambil membaca mantra.”

Rival tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri lalu mengangkat Faiz dengan cara mencengkram kerahnya. “Bilang sekali lagi, kusobek mulutmu!” raungnya.

Santri-santri yang terkantuk-kantuk mendadak melek. Sontak mereka bangun dan mengerumuni Rival. Beberapa humas langsung keluar dan melerai Faiz serta Rival. Naas, tak hanya pengurus serta santri, sang pengasuh pun turut keluar dari dalam. Teriakan Rival nampaknya membahana di seluruh lingkungan pesantren.

Tak ayal. Seperti mengetahui seluk-beluk perkara, abu mudi pun langsung mendekat. Para santri pun beringsut mengundurkan diri sembari menundukkan kepala, memberikan jalan bagi sang guru. Melihat abu mudi, Rival pun langsung bersimpuh. Emosi yang tadi begitu membara, musnah begitu saja.

Dengan lembut, abu mudi mengangkat tubuh Panji supaya berdiri. Setelah itu beliau membawanya masuk ke dalam seorang diri.

“Biarkan aku berbicara dengan Rival. Kalian bisa istirahat,” tegas beliau ketika ajudannya hendak ikut masuk ke dalam.

Tanpa meminta sebuah alasan, ajudan abu langsung mengangguk dan abu pun menutup pintu.

Rival langsung bersimpuh. Pandangannya sempurna tertunduk. Pemuda itu sama sekali tak berani menatap gurunya yang berada tepat di depannya.

“Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Faiz bicarakan. Kamu tahu kenapa kamu yang saya ajak masuk ke dalam kantor?”

Rival menggeleng, “enggak, Abu,” jawabnya.

“Tidak seharusnya kau lawan ketidaktahuan dengan kekerasan.”

“Tapi, abu, dia sudah menghina abu yang mulia.”

“Bukan menghina, tapi dia tidak tahu apa yang saya sedang ia lakukan. Bukankah kebaikan tak selalu dibalas air susu? Biarkan dia mempelajari lebih dalam lagi. Bukankah Nabi Ibrahim juga perlu waktu untuk menemukan kebenaran ketika berguru dengan nabi khadir?”

benar, abu.”

“Sekarang beristirahatlah! Minta maaflah kepada Faiz!”

Rival pun beringsut mundur, baru setelah sampai di ambang pintu, ia berdiri lalu keluar. Ternyata tepat di daun pintu, Faiz tengah berdiri. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Rival.

“Maafkan aku, iz. Tidak seharusnya aku membentak orang yang sedang belajar.” Rival mengulurkan tangannya.

Faiz pun menerimanya. Tatapannya kosong. Otaknya dipenuhi oleh banyak pikiran. Melalui daun pintu yang terbuka sedikit, ia sempat mendengar semua percakapan Abu mudi dengan Rival tadi. Sontak hal itu membuatnya bingung, tak mengerti. Ada sesuatu yang mengalir jernih di sanubarinya. Entah apa itu.




OLEH :  MHD FIKRI HAIKAL