Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri Menulis maka Santri Ada

 



     “Semua penulis akan meninggal, hanya karyanya lah yang akan abadi sepanjang masa. Maka tulis lah yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti.(Ali bin Abi Thalib). Ma'al hibral ilal maqbarah {bersama pena sampai keperistirahatan].(Imam Ahmad Bin Hanbal ). Menulis ya menulis, menulis bukan sekedar berfikir.(Tgk Iqbal A. Jalil)

     " Sabtu 14 Juni 2014 rubrik opini dalam koran serambi adalah Aku menulis maka aku ada. Meminjam judul yang ditulis oleh Eka Aswin Lubis, sosok Eka menggunakan islah yang familiar dari Filsuf Perancis, Descartes. Cugito ergo sum (aku berfikir maka aku ada) dikombinasikan dengan perkataan Pram (Prmodya Ananta Toer) orang boleh pintar setinggi langit, tapi selagi tidak menulis dia akan hilang dari sejarah.

    Maka pena mencoba meng khususnya dalam ranah santri saja. Santri menulis maka Santri ada. Dalam tulisan ini pena mencoba membahas dalam ranah santri khususnya di dayah Mudi yang kita cintai, Tayyib. Semangat menjadi pemain utama daripada cadangan dalam kompetisi nulis menulis. Santri wajib nulis bersamaan dengan wajib belajar. Transformasi ilmu dan kalam seperti moto majalah Umdah sangatlah perlu disadari sejak dini. Artinya harus ada usaha usaha yang menjurus kesana.

Baca Juga : Sehari Di Dayah

    Kadang esok anak anak kita lebih kenal Tere Liye daripada kita sebagai ayahnya. Mengenal Ariel Noah . Bukan tidak mungkin dan jangan salahkan anak itu, bisa jadi salah kita, kita lupa menulis nama kita, sejarah kita untuk mereka baca. Begitulah penulis dia tidak terikat dengan ruang dan waktu. Asma Nadia dengan Assalamualaikum Beijing adalah sosok yang banyak ujian. Geger otak, jantung, tumor adalah daftar sakit membuat Asma Nadia rajin rajin ke rumah sakit.

    Menulis mudah. Anda cukup duduk berpikir dan menulis. Sekalipun berada dalam dayah yakin kita pasti bisa menjadi the next Tere Liye dan Asma Nadia.Amin Sebenarnya tradisi menulis bukanlah hal yang luar biasa bagi kalangan pesantren. Selain full kajian ilmu (membaca kitab kuning) yang membuat mereka mudah menulis, dan karena sebenarnya menulis adalah tradisi Islam. Namun karena keadaan kita yang minim menulis, perkara ini menjadi barang langka dan menjadi hal yang wow. Jadi sebab santri seperti tidak ada salah satunya adalah karena mereka tumpul dalam dunia tulisan.

     Santri harus punya pemantik yang diciptakannya, misalnya dengan menggap bahwa menulis adalah amal yang membuatnya semakin peka dengan keadaan umat Islam, melatih membuka hati, menerawang semesta serta mengsinergiskannya dengan literatur para ulama. Menulis sejatinya membuat santri menjadi guru. Karena dia menulis adalah proyek peradaban, melestarikan ilmu pengetahuan .

    Hebatnya sebuah tulisan dapat menghipnotis dan mempengaruhi pembaca, menggiringnya bernostalgia ke alam pikiran dan imajinasi yang dituangkan oleh penulis. Santri ketika dia menulis maka sebenarnya dia sedang tidak sepakat dengan suara sumbang yang mengatakan bahwa menulis adalah hobi. Bukan sekedar hobi namun tanggung jawab yang harus ditunaikan dan diimplementasikan seperti ucapan. Kalau kamu bukan anak ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah.

    Begitulah kira-kira apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali kepada kita tentang urgensi menulis ilmu. Walaupun tidak semudah membalik telapak tangan, menulis sulit karena santri enggan memulainya. Santri punya pikiran dan hati yang sehat, itu sudah cukup sebagai modalnya. Tulisan adalah suara gambaran dari pada keduanya. Tulisan yang keluar dari hati akan masuk kehati. Itulah mengapa ada tulisan yang radikal sebab dia dimulai dengan hati yang sedang marah. Butuh waktu dan bertamasya dengan proses saja.

Mudi Menulis (Mules)

    Kita mulai sub corat corat oni ini dengan kisah pada masa Rasulullah. Betapa beliau SAW sangat memperhatikan topik ini. Ketika usai perang Badar kaum Muslimin yang keluar sebagai pemenang menawan 70 orang musyrikin. Sebahagian mereka ditebus dengan 400 Dirham. Sadangkan yang mampu menulis Rasulullah SAW meminta agar mereka mengajar menulis pemuda pemuda muslim. Mules sangat tepat istilah ini untuk kita para santri Mudi. Seperti menyantap makanan yang takut mules begitulah kita. Enggan makan. Takut mules, keroncongan. Padahal dorongan menjadi penulis selalu mengaung di Mudi.

Baca Juga : Zaman Boleh Praktis Agama Tidak

    Santri milenial memiliki strategi yang berbeda dalam merespons tanggung jawab keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Majalah Umdah, Mudi Post dan yang terbaru Mading Mabna Lughah bisa menjadi wadah menulis santri. Belum lagi Blog blog yang bak debu jumlahnya. Tak ada tulisan yang sia sia. Anda menulis ada minimal teman sekitar anda akan membacanya. Yang berhadiah juga ada. hhee . Musabaqah Muharram selalu ada perlombaan menulis. Memperingati hari santri dan yang terakhir lomba Essay Kebangsaan akhir tahun 2019 lalu.

    Menulis adalah dakwah yang ideal di zaman milenial ini. Cukup banyak saudara kita diluar sana yang haus pemahaman original dayah. Tanamlah esok akan ada kabar gembira untuk kita baik di dunia dan akhirat. Percayalah. Bila santri menulis, maka akan turun tulisan bak hujan yang mengalir deras. Dalam menulis, Santri leluasa seperti tidak ada tirani pembatas dalam penuangan ide kreatif.

    Terbukti, Islam dalam sejarahnya punya banyak sekali penulis handal pada zaman keemasannya. Semangat literasi sangat menggaung sehingga lahir sosok Ibnu Hazm. Disebutkan dalam satu riwayat ia memiliki 400 jilid kitab dengan jumlah 800.000 halaman. Kitab yang kita pelajari di dayah juga lahir dari tangan tangan produktif. Malam dan siang mereka bersama senjata bernama pena. Di antara nama tokoh yang produktif menulis dengan alah Imam as-Suyuthi. Ibnu Iyas mengatakan d karangan tokoh kelahiran Asyuth, Mesir, itu mencapai 600 karya tulis di berbagai disiplin ilmu. Semoga dengan tulisan singkat ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus menulis.

Terlebih pena sendiri. Amin


Oleh : Rizky AR